Rabu, 03 Januari 2018

WAWASAN ALQURAN TENTANG PENDIDIKAN RUHANI

WAWASAN ALQURAN TENTANG PENDIDIKAN RUHANI

Oleh: Ahmad Abrar Rangkuti, M.A.[1]

A.    Pendahuluan
Dalam pandangan Islam manusia tersusun dari dua unsur, yaitu jasmani dan ruhani. Jasmani adalah bentuk fisik atau lahiriah manusia – yang sering disebut raga (al-jism). Sedangkan ruhani adalah hakikat dan substansi manusia yang sering disebut jiwa atau ruh (al-nafs dan al-ruh). Jiwalah yang membedakan manusia dengan makhluk lainnya. Dengan jiwa manusia bisa merasa, berpikir, berkemauan, dan berbuat lebih banyak. Tegasnya, jiwa itulah yang menjadi hakikat manusia karena sifatnya yang latif, ruhani, dan rabbani. Keselamatan dan kebahagiaan manusia tergantung pada keadaan jiwanya. [2]
Sebagai sumber ajaran pertama, Alquran mengintroduksi dirinya sebagai pemberi petunjuk kepada jalan yang lebih lurus. Petunjuk-petunjuknya memberi kesejahteraan dan kebahagiaan bagi manusia, baik secara pribadi maupun kelompok, dan karena itu ditemukan petunjuk-petunjuk bagi manusia dalam kedua bentuk tersebut. Tujuan pendidikan menurut Alquran adalah membina manusia secara pribadi dan kelompok sehingga mampu menjalankan fungsinya sebagai hamba Allah swt dan khalifah-Nya. Manusia yang dibina adalah makhluk yang memiliki unsur material (jasmani) dan immaterial (akal dan jiwa). Pembinaan akalnya menghasilkan ilmu. Pembinaan jiwanya menghasilkan kesucian dan etika, sedangkan pembinaan jasmaninya menghasilkan keterampilan.[3]

Ditinjau dari sudut unsurnya, manusia terdiri dari jasmani dan ruhani. Menurut Qomar, keduanya harus dikembangkan melalui saluran pendidikan. Maka pendidikan Islam terbagi atas pendidikan jasmani dan pendidikan ruhani. Pendidikan jasmani lebih menekankan pengembangan jasmani manusia, sehingga terdapat pendidikan olahraga, pendidikan kesehatan, pendidikan keterampilan dan sebagainya. Sedangkan pendidikan ruhani menekankan pada pengembangan unsur-unsur keruhanian, sehingga terdapat pendidikan kecerdasan, pendidikan budi pekerti, pendidikan moral atau akhlak, pendidikan kesenian, dan sebagainya.[4]Klasifikasi pendidikan dalam bentuk lain dinyatakan oleh az-Za’balawi, bahwa teori Islam dalam masalah pendidikan berdiri pada empat pilar, yaitu: 1) pendidikan fisik, 2) pendidikan ruhani, 3) pendidikan jiwa, dan 4) pendidikan akal.[5]
Hemat pemakalah, pendapat yang diajukan Qomar merupakan analisisnya tentang manusia dari sisi makro, yaitu tersusun atas unsur jasmani dan ruhani. Sedangkan  Az-Za’balawi  memisahkan unsur ruhani menjadi bagian tersendiri (jiwa dan akal) yang mendapat perlakuan pendidikan yang berbeda. Dalam makalah ini, pembahasan aspek ruhani manusia meliputi akal, nafs, kalbu, dan ruh. Pemakalah tidak memisahkan keempat aspek tersebut dengan alasan bahwa keempat aspek tersebut bersifat abstrak sebagai lawan dari tubuh (jasmani) yang berifat konkrit.
            Begitu pentingnya aspek ruhani sehingga mendapat porsi pengkajian dalam pendidikan. Makalah membahas pendidikan ruhani dalam bingkai tafsir tematik pendidikan. Adapun sub-sub bahasan meliputi pengertian pendidikan ruhani, term-term pendidikan ruhani, sarana pembinaan pendidikan ruhani, dan diakhir dengan simpulan.

B.     Pembahasan
1.      Pengertian Pendidikan Ruhani      
Para ilmuwan pendidikan Islam bersepakat bahwa tujuan pendidikan Islam tidak hanya pada aspek pemberian informasi dalam benak peserta didik, tetapi juga bertujuan mendidik akhlak, mendidik ruhani, dan membiasakan berperilaku dengan adab yang tinggi guna menghadapi kehidupan.[6]Untuk menunjuk kepada pengertian ruhani (jiwa spiritual), Islam menggunakan empat istilah pokok yaitu: 1) al-qalb, 2) al-ruh, 3) al-nafs, dan 4) al-‘aql.[7]
Mahmud menjelaskan bahwa pendidikan ruhani secara islami adalah pendidikan yang dilaksanakan untuk mengembangkan unsur-unsur keruhanian dan bertujuan untuk mengajarkan ruh bagaimana memperbaiki hubungannya dengan Allah swt melalui jalan menyembah dan merendah kepada-Nya serta taat dan tunduk kepada manhaj-Nya. Inilah pokok yang utama dalam pendidikan ruhani. Kealpaan dalam mendidik ruhani atau kurangnya perhatian dalam bidang ini akan merusak manusia, baik dari sisi ruh, akal, tubuh, maupun bangunan sosial seluruhnya. Hal ini karena ruh merupakan bagian dari manusia yang paling penting.
Selanjutnya, Mahmud menjelaskan unsur-unsur pendidikan ruhani meliputi:
1.      Ruh diberikan wirid, zikir, dan aturan
2.      Ruh dilatih, diajar, dan dibuat senang terhadap apa yang memperkuat hubungannya dengan Allah swt
3.      Menetapi sifat insan beriman, dalam diam, berbicara, berbuat dan dalam meninggalkan sesuatu. [8]
Pendidikan ruhani memberikan pengaruh pada diri seseorang. Secara garis besar, pengaruh pendidikan ruhani berdimensi pada tiga hal, yait: 1) diri sendiri, 2) keluarga dan masyarakat sekitar, dan 3) penerapan ajaran Islam. Di antara pengaruh pendidikan ruhani adalah sebagai berikut.
1.      Membersihkan seseorang dan menjernihkan jiwanya dari sifat keraguan, waswas, dan rasa khawatir. Menanamkan keimanan serta keyakinan pada dirinya, dan menghilangkan rasa cemas serta mendidik jiwa ke arah yang positif dalam menyikapi permasalahan kehidupan sehingga menjadi insan kamil, bertanggung jawab, dan produktif, tidak mengenal skeptisisme, negativisme, dan sikap menyerah.
2.      Membiasakan seseorang mencintai kebaikan dan memprioritaskan kebenaran karena jiwanya telah bertautan dengan Allah swt.  Seseorang yang jiwanya bertautan dengan Allah swt niscaya akan selalu mencintai kebaikan dan memprioritaskan kebenaran.
3.      Menjadikan seseorang berpegang teguh pada metode yang telah dipilih Allah swt sebagai agama untuk seluruh manusia. Berpegang teguh kepada metode merupakan jalan terbaik dalam penyucian jiwa dan pengarahan untuk mencapai keistiqamahan dalam melaksanakan agama serta manhaj yang benar.  Jika seseorang telah berpegang teguh pada manhaj Allah, ia akan mendapatkan hikmah besar berupa kesiapan untuk mewujudkan kehidupan mulia bagi diri sendiri dan orang-orang sekelilingnya.
4.      Pendidikan ruhani mendorong manusia untuk saling mencintai dan berkasih sayang dengan sesamanya. Pendidikan ruhani juga memberi motivasi untuk selalu mencintai kebaikan dan berkhidmat demi kepentingan umum. Bahkan, mampu mewujudkan persaudaraan Islam dan kerja sama dalam kebaikan dan ketakwaan. Hal ini merupakan dasar interaksi sosial yang dibangun oleh Islam agar tercipta kehidupan manusia yang mapan sekaligus membendung tindak kriminalitas dan perilaku kemaksiatan.
5.      Pendidikan ruhani merupakan sarana bagi seseorang untuk memperoleh taufik dalam segala perilaku dan perkataannya. Hal ini karena jiwa telah memiliki kesiapan menerima dan melaksanakan segala perintah Allah sehingga Ia mencintainya.
6.      Pendidikan ruhani mengajar seseorang agar tidak melakukan kesalahan dan tidak melanggar ketentuan Islam, baik berupa hukum, syarat, maupun etika. Adalah benar bahwa setiap anak Adam pasti melakukan kesalahan dan mustahil baginya terhindar dari kesalahan. Akan tetapi, jiwa yang telah terdidik dengan tarbiyah islamiyah dapat mengarahkan seseorang agar sedikit berbuat kesalahan, banyak berintrospeksi, menyesal, dan taubat.
7.      Pendidikan ruhani membiasakan ruhani seseorang untuk mencintai kebaikan dan membenci keburukan, sehingga selalu siap melakukan amar makruf nahi munkar. Pengejawentahan sikap ini merupakan kewajiban agama bagi orang yang mampu melaksanakannya, lebih dari itu merupakan tugas yang diprioritaskan demi kebaikan masyarakat secara menyeluruh.[9]

2.      Term-Term Pendidikan Ruhani
Dari penelusuran terhadap beberapa sumber referensi, pemakalah menemukan empat term yang lazim digunakan untuk mengarah kepada pendidikan ruhani. Term-term tersebut adalah kalbu, ruh, akal, dan nafs. Dari keempat term tersebut, pemakalah cenderung memahaminya sebagai instrumen-instrumen pendidikan ruhani yang selanjutnya memerlukan sarana pendidikan.

a)      Kalbu
Terma qalbdengan derivasinya terulang dalam Alquran sebanyak 158 kali.[10]Kata kalbu (qalb) dalam Lisan al-‘Arab berasal dari kata qalaba, yaqlibu, qalban yang berarti berubahnya sesuatu dari arahnya (tahwil al-sya’i ‘an wajhihi).[11]Dalam Mu’jam Maqayis al-Lugah, qalb memiliki dua makna, yaitu: 1) menunjukkan kemurnian dan kemuliaan (yadullu ‘ala khalisin syai’in wa syarifihi), dan 2) berbaliknya sesuatu dari satu arah ke arah lain (raddu syai’in min jihatin ila jihatiin).[12]
Selanjutnya, Shihab mengatakan bahwa kataqalb  terambil dari akar kata yang bermakna membalik karena sering kali ia berbolak-balik, sekali senang, sekali susah, sekali setuju dan sekali menolak. Qalb sangat berpotensi untuk tidak konsisten. Alquran pun menggambarkan demikian, ada yang baik dan ada pula yang sebaliknya.[13] Sedangkan Al-Maraghi memaknai qalb sebagai lubb yang dengannya orang memiliki kesadaran, sampai padanya pendengaran, yaitu mendengarkan wahyu yang dibacakan kepadanya.[14]
Kaitannya dalam konteks pendidikan, Alquran memaknai qalb sebagai wadah bagi fitrah dan tempat  muculnya  (tajalli)  ruh. Qalb berkaitan erat dengan kalbu zahir (sanubari) di mana berbagai keadaan qalb seperti rasa takut (khauf), lelah, ketenangan, yang semuanya itu memberi pengaruh terhadap bentuk kalbu zahir. Dengan demikian, qalb merupakan sumber kebaikan (khair), kejahatan (syarr), emosi, perasaan, kecenderungan fitrah, niat, kehendah, dan lain-lain.Qalb juga merupakan pusat hubungan manusia dengan Allah swt, sebagaimana yang dinyatakan dalam surat Al-Anfal ayat 24.[15]

     Sesungguhnya yang demikian itu benar-benar terdapat peringatan bagi orang-orang yang memiliki kalbu, atau yang mencurahkan pendengaran lagi menjadi saksi (QS. Qaf [50]: 37)

Kemudian Kami iringi di belakang mereka dengan rasul-rasul Kami dan Kami iringi (pula) dengan Isa putra Maryam; dan Kami berikan kepadanya Injil dan Kami jadikan dalam hati orang- orang yang mengikutinya rasa santun dan kasih sayang. Dan mereka mengada-adakan rahbaniyyah padahal kami tidak mewajibkannya kepada mereka tetapi (mereka sendirilah yang mengada-adakannya) untuk mencari keridhaan Allah, lalu mereka tidak memeliharanya dengan pemeliharaan yang semestinya. Maka Kami berikankepada orang-orang yang beriman di antara mereka pahalanya dan banyak di antara mereka orang-orang fasik.(QS. Al-Hadid [57]: 27)


     Akan Kami masukkan ke dalam hati orang-orang kafir rasa takut, disebabkan mereka mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah sendiri tidak menurunkan keterangan tentang itu. Tempat kembal imereka ialah neraka; dan itulah seburuk-buruk tempa ttinggal orang-orang yang zalim.(QS. Ali Imran [3]: 151).

Dan ketahuilah olehmu bahwa di kalanganmu ada Rasulullah. Kalau ia menuruti kemauanmu dalam beberapa urusan benar-benarlah kamu mendapat kesusahan, tetapi Allah menjadikan kamu 'cinta' kepada keimanan dan menjadikan keimanan itu indah di dalam hatimu serta menjadikan kamu benci kepada kekafiran, kefasikan, dan kedurhakaan. Mereka itulah orang-orang yang mengikuti jalan yang lurus(QS Al-Hujarat [49]: 7).

            Dari ayat di atas terlihat bahwa kalbu adalah wadah dari pengajaran, kasih sayang, takut, dan keimanan. Dari isi kalbu yang dijelaskan oleh ayat-ayat di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa kalbu mampu menampung hal-hal yang disadari oleh pemiliknya. Ini merupakan salah satu perbedaan antara kalbu dan nafs. Membersihkan kalbu adalah salah satu cara untuk memperoleh pengetahuan.[16]
            Al-Maragi memaknai surat Qaf ayat 37 bahwasanya kemampuan untuk mentadabur segala hakikat dan menyadari apa saja yang keluar sebagai bentuk perkataan merupakan fungsi qalb. Kemampuan mentadabur ini diikuti dengan merujuk atas dalil-dalil. Selanjutnya, ia menyatakan bahwaayat ini menunjukkan kedustaan orang-orang Yahudi yang mengatakan bahwa  Allah menciptakan langit dan bumi dalam enam hari, memulai ciptaan-Nya pada hari Ahad dan berakhir pada hari Jum’at. Sedangkan pada hari Sabtu, Allah beristirahat, dan selanjutnya berada di atas ‘Arsy.  Mereka disebut oleh Alquran sebagai kaum yang tidak memiliki fungsi qalb yang benar.[17]
           
b)     Ruh
Term ruh terulang dalam Alquran sebanyak 23 kali.[18]Kata ruh berasal dari kata rawiha, yarwahu, rauhan, yang menunjukkan makna suatu kapasitas, bentangan, dan kemantapan, selain itu menunjukkan kepada makna angin yang berhembus; bisa juga menunjukkan kepada malaikat Jibril.[19]Kata ruh dikaitkan dengan manusia juga dalam konteks yang bermacam-macam, ada yang hanya dianugerahkan Allah kepada manusia pilihan-Nya (QS. Al-Mukmin [40]: 15) yang dipahami oleh sementara pakar sebagai wahyu yang dibawa malaikat Jibril, ada juga yang dianugerahkannya kepada orang-orang Mukmin (QS. Al-Mujadilah [58]: 22) dan di sini dipahami sebagai dukungan dan peneguhan hati atau kekuatan batin; dan ada juga yang dianugerahkan kepada seluruh manusia.
            Menurut Farhadian, ruh merupakan sesuatu yang menunjukkan hakikat insaniah manusia, sedangkan jasad merupakan sarana yang dengannya ruh melaksanakan aktivitas di dunia. Selanjutnya dikatakannya bahwa aspek jasmani dan ruhani harus dikembangkan secara  bersama-sama, tidak menitikberatkan pada satu aspek saja.[20]
Alquran berbicara mengenai ruh di beberapa ayat, antara lain pada surat Al-Isra’ ayat 85, Al-Hijr ayat 29,
Dan mereka bertanya kepadamu tentang roh. Katakanlah: "Roh itu termasuk urusanTuhan-ku, dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit." (QS. Al-Isra [17]: 85).

Maka apabila Aku telah menyempurnakan kejadiannya, dan telah meniup kan kedalamnya ruh (ciptaan)-Ku, maka tunduklah kamu kepadanya dengan bersujud (QS. Al-Hijr [15]: 29)

Al-Maragi menyatakan  bahwa surat al-Isra ayat 85 menyanggah pendapat orang-orang Yahudi yang mengklaim diri mereka memiliki ilmu yang banyak dikarenakan Taurat dianugerahkan kepada mereka.Selain itu, Al-Maragi menyatakan bahwa maknaruh yang dimaksud  pada surat ini memiliki tiga pendapat. Pertama, maknanya adalah Alquran, pendapat ini sesuai dengan kandungansurat asy-Syura ayat 52 dan surat an-Nahl ayat 2. Kedua, maknanya adalah Jibril a.s., pendapat ini sesuai dengan kandungan surat Maryam ayat 16 dan surat al-Isra ayat 85. Ketiga, maknanya adalah ruh yang dengannya hidup jasad manusia.
Ia juga menambahkan bahwa para ulama memberikan defenisi tentang hakikat ruh dalam dua pendapat. Pertama, pendapat yang menyatakan bahwa ruh sebagai jism ruhani yang hidup dan bergerak yang berasal dari alam yang tinggi yang tabiatnya berbeda dengan jism inderawi. Kedua, pendapat yang menyatakan bahwa ruh tidak memiliki jism dan tidak bersifat jasmani, keterkaitannya dengan badan teraktualisasi dalam bentuk tingkah laku yang terukur.  Pendapat kedua ini merupakan pendapat imam Al-Gazali dan Abu al-Qasim al-Ragib al-Asfahani.[21]
Dalam konteks pendidikan ruhani, potensi ruh yang dimiliki manusia mampu menembus dimensi alam malakut dan mencapai nilai moral yang tinggi. Ini merupakan suatu bentuk kemenangan bagi manusia. Untuk mencapai keadaan itu, manusia selalu menghadapi konflik dengan dimensi jasmani yang tercipta dari tanah (turab). Manusia akan mencapai kemenangan itu bila potensi ruh mengalahkan dorongan hawa nafsu yang memiliki kecenderungan terhadap kenikmatan materi dunia.
Kemampuan manusia meraih kemenagan itu didukung oleh kemampuannya mengenal Allah  melakukan proses penyucian, memiliki sikap hidup yang takwa, dan melakukan amal salih. Dengan demikian manusia bahkan mampu meraih pertolongan (‘inayah) dan hidayah Allah  serta berada semakin dekat dengan Allah hingga pada derajat yang paling tinggi (a’la ‘illiyin).[22]

c)      Akal
Terma akal (‘aql) dan derivasinya terulang dalam Alquran sebanyak 48 kali.[23] Kata ‘aql berasal dari kata ‘aqala, ya’qilu, ‘aqlan, yang bermakna besarnya penghalang terhadap sesuatu (‘uzmuhu ‘ala hubsatin fi sya’in).[24]Kata‘aql (akal) tidak ditemukan dalam Alquran, yang ada adalah bentuk kata kerja – masa kini, dan lampau. Kata tersebut dari segi bahasa pada mulanya berarti tali pengikat, dan penghalang. Alquran menggunakannya bagi “sesuatu yang mengikat atau menghalangi seseorang terjerumus dalam kesalahan atau dosa”. Alquran tidak menjelaskan secara eksplisit tentang apa itu ‘aql. Namun, dari konteks ayat yang menggunakan akar kata ‘aql dapat dipahami bahwa ‘aql antara lain adalah:[25]
1.      Daya untuk memahami dan menggambarkan sesuatu, seperti firman-Nya dalam QS. Al-‘Ankabut (29): 43.
Demikian itulah perumpamaan-perumpamaan yang Kami berikan kepada manusia, tetapi tidak ada yang memahaminya kecuali orang-orang yang alim (berpengetahuan)(QS. Al-‘Ankabut [29]: 43).
Daya dalam manusia dalam hal ini berbeda-beda. Ini diisyaratkan Alquran antara lain dalam ayat-ayat yang berbicara tentang kejadian langit dan bumi, silih bergantinya malam dan siang, dan lain-lain. Ada yang dinyatakan sebagai bukti-bukti keesaan Allah swt bagi orang-orang yang berakal (QS. Al-Baqarah [2]: 164), dan ada juga bagi ulul al-bab yang juga dengan makna yang sama, tetapi mengandung pengertian lebih tajam dari sekedar memiliki pengetahuan. Keanekaragaman akal dalam konteks menarik makna dan menyimpulkan terlihat juga dari penggunaan istilah-istilah seperti nazara, tafakkur, tadabbur dan sebagainya yang semuanya mengandung makna mengantar kepada pengertian dan kemampuan pemahaman.[26]
2.      Dorongan moral, seperti firman-Nya,

Katakanlah: "Marilah kubacakan apa yang diharamkan atas kamu oleh Tuhanmu yaitu: janganlah kamu mempersekutukan sesuatu dengan Dia, berbuat baiklah terhadap kedua orang ibu bapa, dan janganlah kamu membunuh anak-anak kamu karena takut kemiskinan, Kami akan memberi rezki kepadamu dan kepada mereka, dan janganlah kamu mendekati perbuatan-perbuatan yang keji, baik yang nampak di antaranya maupun yang tersembunyi, dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) melainkan dengan sesuatu (sebab) yang benar. Demikian itu diwasiatkan Tuhan kepadamu semoga kamu memiliki dorongan moral untuk meninggalkannya (QS. Al-An’am [6]: 151).

3.      Dorongan untuk mengambil pelajaran dan kesimpulan serta hikmah
Untuk maksud ini biasanya digunakan kata rusyd. Daya ini menggabungkan kedua daya di atas, sehingga ia mengandung daya memahami, menganalisis, dan menyimpulkan, serta dorongan moral yang disertai dengan kematangan berpikir. Seseorang yang memiliki dorongan moral, boleh jadi tidak memiliki daya pikir yang kuat, dan boleh jadi juga seseorang yang memiliki daya pikir yang kuat tidak memiliki dorongan moral, tetapi seseorang yang memiliki rusyd, ia telah menggabungkan kedua keistimewaan tersebut. Dari sini dapat dipahami mengapa penghuni neraka di hari kemudia berkata,

Dan merekaberkata: "Seandainya kami mendengar dan berakal maka pasti kami tidak termasuk penghuni neraka.”(QS. Al-Mulk [67]: 10).

Ketika menjelaskan surat Al-‘Ankabut ayat 43, al-Maraghi[27] menyatakan bahwa ayat ini menjelaskan tentang suatu perumpamaan bagi manusia yang tidak memiliki kemampuan memahami dan menjelaskan perintah Allah. Diriwayatkan dari Jabir bahwasanya Nabi saw. setelah membaca ayat ini beliau bersabda:
اَلْعَالِمُ مَنْ عَقَلَ عَنِ اللهِ تَعَالَى فَعَمِلَ بِطَاعَتِهِ وَ اِجْتَنَبَ سُخْطَهُ
Selanjutnya dalam menjelaskan surat al-Mulk ayat 10, al-Maragi menyatakan bahwa makna ayat tersebut merupakan gambaran bentuk penyesalan bagi orang-orang yang tidak mendayagunakan potensi akalnya untuk memahami kebenaran yang datangnya dari Allah swt.  Mereka tertipu dengan kenikmatan dunia, dan dikarenakan itulah mereka berhak mendapat murka dan siksa yang pedih dari Allah swt.[28]
Dalam konteks pendidikan ruhani, akal memiliki kedudukan yang penting dalam nafs sekaligus sebagai bentuk keistimewaan manusia dari seluruh ciptaan-Nya. Alquran mendorong manusia untuk melakukan aktivitas berpikir, bernalar, dan bertadabur dan mendayagunakan potensi akal yang luar biasa. Dengan potensi akal manusia bisa memperoleh pengetahuan dan petunjuk, mengenali baik dan buruk, dan sekaligus sebagai penimbang (mizan), juga sebagai pembuat keputusan yang kelak dipertanggungjawabkan di hadapan Allah ataupun manusia. Alquran memberikan bahwa bila manusia meninggalkan aktivitas berfikir dan bernalar secara benar, setan akan hadir untuk menyesatkan manusia.
Bukankah Aku telah memerintahkan kepadamu hai Bani Adam supaya kamu tidak menyembah syaitan? Sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagi kamu" Dan hendaklah kamu menyembah-Ku. Inilah jalan yang lurus. Sesungguhnya syaitan itu telah menyesatkan sebahagian besar di antaramu, Maka apakah kamu tidak memikirkan?(QS. Yasin  : 60-62).

d)     Nafs
Secara bahasa kata nafs bermakna keluarnya udara dari tenggorokan;tiap sesuatu yang terlepas dari kesulitan; dan darah. Seorang wanita melahirkan yang mengeluarkan darah disebut dengan nifas, jamaknya adalah nufasa’.[29]Kata nafs dalam Alquran mempunyai aneka makna, sekali diartikan sebagai totalitas manusia, seperti antara lain maksud surat al-Maidah ayat 32, di kali lain kata ini menunjuk kepada apa yang terdapat dalam diri manusia yang menghasilkan tingkah laku seperti maksud kandungan firman Allah pada surat al-Ra’d ayat 11. Secara umum dapat dikatakan bahwa nafs dalam konteks pembicaraan tentang manusia menunjuk kepada sisi dalam manusia yang berpotensi baik dan buruk.[30]
            Dalam pandangan Alquran, nafs diciptakan Allah dalam keadaan sempurna untuk berfungsi menampung serta mendorong manusia berbuat kebaikan dan keburukan, dan karena itu sisi dalam manusia inilah yang oleh Alquran dianjurkan untuk diberi perhatian lebih besar.
            Demi nafs serta penyempurnaan ciptaan, Allah mengilhamkan kepadanya kefasikan dan ketakwaan (QS. Al-Syams [91]: 7-8).
            Mengilhamkan berarti memberi potensi agar manusia melalui nafs dapat menangkap makna baik dan buruk, serta dapat mendorongnya melakukan kebaikan dan keburukan. Walaupun Alquran menegaskan bahwa nafs berpotensi positif dan negatif, namun diperoleh isyarat bahwa pada hakikatnya potensi positif manusia lebih kuat daripada potensi negatifnya, hanya saja daya tarik keburukan lebih kuat daripada daya tarik kebaikan. Karena itu manusia dituntut agar memelihara kesucian nafs, dan tidak mengotorinya.[31]
            Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang menyucikannya dan merugilah orang-orang yang mengotorinya (QS. Al-Syams [91]: 9-10).
Kecenderungan nafs kepada kebaikan lebih kuat dipahami dari isyarat beberapa ayat, antara lain firman-Nya pada surat Al-Baqarah: 286 dan surat Al-Fathir: 6-7.
Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya. (Mereka berdoa): "Ya Tuhan kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami tersalah. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau bebankan kepada kami beban yang berat sebagaimana Engkau bebankan kepada orang-orang sebelum kami. YaTuhan kami, janganlah Engkau pikulkan kepada kami apa yang tak sanggup kami memikulnya. Berimaaflah kami; ampunilah kami; dan rahmatilah kami. Engkaulah Penolong kami, maka tolonglah kami terhadap kaum yang kafir."(QS. Al-Baqarah [2]: 286).

Shihab menyatakan bahwa kata kasabat yang dalam ayat di atas menunjuk kepada usaha baik sehingga memperoleh ganjaran, adalah patron yang digunakan bahasa Arab untuk menggambarkan pekerjaan yang dilakukan dengan mudah, sedangkan iktasabat adalah patron yang digunakan untuk menunjuk kepada hal-hal yang sulit lagi berat.[32]
Al-Husain al-‘Ukbari menyatakan bahwa dalam memaknai term kasabat dan iktasabat terdapat dua pendapat. Pendapat pertama menyatakan kedua term tersebut memiliki makna yang sama, sebagaimana term kasaba terdapat pada QS. Az-Zumar ayat 24. Pendapat kedua menyatakan bahwa term kasabat dan iktasabat memiliki perbedaan. Term iktasabat berwazan ifta’ala yang menunjukkan kepada makna sulit atau beratnya melakukan sesuatu (yadullu ‘ala syiddah al-kaffalah), dan melakukan kejahatan merupakan hal yang berat dalam hal ini.[33]
Lebih lanjut, al-Maragi menjelaskan bahwa kejelekan (syarr) sesungguhnya bukan merupakan tabiat dasar nafs, dan hal itu tidak sesuai dengan fitrahnya. Ia memberi alasan melalui sebuah gambaran, seorang anak kecil yang tumbuh dan dibesarkan dengan nilai-nilai kejujuran (sidq) tidak akan pernah berbuat dusta (kizb) hingga anak tersebut mendengar atau menerima nilai-nilai  kedustaan dari manusia sekelilingnya. Anak tersebut dengan sendirinya akan mempelajari kedustaan dan ia juga merasakan nilai-nilai kedustaan itu. Alasan lain yang dikemukakannya adalah bahwa setiap kebaikan itu bernilai sama bagi diri sendiri dan orang lain; hendaklah mencintai saudara sebagaimana mencintai diri sendiri. Hal ini sebagaimana dalam hadis Nabi saw.[34]
لاَ يُؤْمِنُ اَحَدُكُمْ حَتَّى يُحِبَّ لِأَخِيْهِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ
Ayat lain yang sejalan dengan pernyataan bahwa kecenderungan nafs kepada kebaikan lebih kuat dapat dipahami dari ayat berikut:
Wahai manusia! Apa yang meperdayakanmu (berbuat dosa) terhadap Tuhanmu yang yang telah menciptakan engkau, menyempurnakan  kejadianmu, dan menjadikan engkau “adil” (seimbang atau cenderung kepada keadilan) (QS. Al-Infitar [82]: 6-7).      
            Menurut Shihab, kata “menjadikan engkau adil” dipahami oleh sementara pakar sebagai kecenderungan berbuat adil. Pendapat ini cukup beralasan, karena dengan pemahaman semacam itu, menjadi amat lurus kecaman Allah terhadap manusia yang mendurhakainya.[35]
            Di sisi lain, ditemukan pula isyarat bahwa nafs  merupakan wadah. Firman Allah dalam surat Al-Ra’d: 13, mengisyaratkan bahwa nafs  menampung paling tidak gagasan dan kemauan. Suatu kaum tidak dapat berubah keadaan lahiriahnya, sebelum mereka mengubah lebih dulu apa yang ada dalam wadah nafs-nya. Yang terdapat dalam wadah nafs bukan hanya gagasan dan kemauan yang disadari manusia, tetapi juga menampung sekian banyak hal lainnya, bahkan boleh jadi ada hal-hal yang sudah hilang dari ingatan pemiliknya.
            Apa yang ada dalam nafs dapat juga muncul dalam mimpi, yang oleh Alquran pada garis besarnya dibagi dalam dua bagian pokok, yaitu: 1) ru’ya dan 2) adgasu ahlam. Yang pertama dipahami sebagai gambaran atau simbol dari peristiwa  yang telah, sedang, atau akan dialami, dan yang belum atau tidak terlintas dalam benak yang memimpikannya. Yang kedua lahir dari keresahan atau perhatian manusia terhadap sesuatu hal yang telah berada di bawah sadarnya.[36]
            Dalam konteks pendidikan ruhani, terma nafs bermakna eksistensi manusia yang merupakan gabungan antara ruh dan jasad. Kesempurnaan nafs tergantung kepada pemenuhan kebutuhan jasad. Sedangkan kesempurnaan ruh adalah ketika terjadinya perubahan dari nafs al-ammarah ke nafs al-lawwamah hingga akhirnya menuju nafs al-mutma’innah.

3        Sarana-Sarana Pendidikan Ruhani
            Menurut Hasan Mi’an[37]di antara sarana-sarana pendidikan ruhani adalah pelaksanaan qiyam al-lail, mengingat Allah, dan berpuasa.
1.      Pelaksanaan Qiyam al-Lail
Hai orang yang berselimut (Muhammad). Bangunlah (untuk sembahyang) di malam hari, kecuali sedikit (dar ipadanya). (Yaitu) seperduanya atau kurangilah dari seperdua itu sedikit. Atau lebih dari seperduaitu. Dan bacalah Al Quran itu dengan perlahan-lahan (QS. Al-Muzzamil [73]: 1-4).

            Melakukan qiyam al-lail merupakan bentuk mujahadah nafs. Hal ini karena pelaksanaan qiyam al-lail merupakan sesuatu yang berat dengan pertimbangan lelahnya bekerja di siang hari, nikmatnya tidur, adanya perasaan sendirian bangun tengah malam. Pengaruh pendidikan yang dihasilkan dari qiyam al-lail adalah terbinanya kehendak (iradah), tumbuhnya kesabaran, dan  terbentuknya kepribadian islami.[38]
2.      Mengingat Allah
(Yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka manjadi tenteram dengan mengingat Allah.Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hatimenjadi tenteram (QS. Ar- Ra’d [13]: 28).
           
            Al-Maragi menjelaskan bahwa ketenangan (tatma’innu) bermakna kekhusyukan dan keteguhan. Dengan ketenangan dan keteguhan ini mengantarkan kalbu orang mukmin memiliki rasa takut (khasyah) kepada Allah. Selanjutnya ia menegaskan bahwa kalbu orang kafir dipenuhi oleh hawa nafs yang cenderung menjadi tenang karena hal-hal yang duniawi dan juga kenikmatannya.[39]
3.      Berpuasa
Dan adapun orang-orang yang takut kepada kebesaran Tuhannya dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya. Maka sesungguhnya syurgalah tempat tinggal(nya) (QS. An-Nazi’at [79]: 40-41).

Al-Maragi menjelaskan makna naha an-nafs ‘an al-hawa sebagai usaha memerintahkan dan menahan nafs dari kecenderungan hawanya yang disebut dengan syahwat. Selanjutnya ia menegaskan bahwa hanya para nabi dan beberapa dari golongan siddiqin yang dapat terhindar dari kecenderungan hawa.[40]
Secara khusus, pendidikan ruhani yang dapat dilakukan untuk aspek nafs antara lain sebagai berikut.
1.      Mengendalikan syahwat makan sebagai kebutuhan pokok.
a)      Mengkonsumsi makanan yang halal dan baik.[41]
b)      Makan dan minum secara tidak berlebihan.[42]
c)      Tidak mengkonsumsi makanan yang diharamkan Allah.[43]
2.      Mengendalikan naluri seksual
a)      Menikah sebagai jalan yang sah.[44]
b)      Tidak menikah dengan wanita musyrik.[45]
c)      Memperlakukan isteri secara pantas.[46]

C.    Simpulan
Aspek-aspek ruhani manusia tidak bisa dipisahkan pemenuhan kebutuhannya karena aspek-aspek tersebut menjadi satu totalitas, yang disebut dimensi ruhani. Ruh berhubungan dengan nafsdemi kesempurnaan ruh, dan nafs berhubungan dengan jasad demi kekuatan nafs. Adapun akal menempati bagian terpenting dalam nafs, sedangkan qalb merupakan wadah bagi tampilnya ruh. Kesemua aspek ruhani di atas memerlukan pendidikan yang khas yang tidak kalah pentingnya dengan pendidikan jasmani.
Jasmani dan ruhani manusia memiliki keterkaitan yang erat. Keduanya memerlukan pendidikan yang khas. Titik temu kedua pendidikan itu berada pada cara pemenuhan kebutuhan pendidikan. Pendidikan jasmani menekankan kepada perlunya aktivitas fisik. Kemampuan aktivitas fisik manusia salah satunya misalnya dimanfaatkan untuk pemenuhan kebutuhan primernya, yaitu kebutuhan akan makanan. Dari aspek pendidikan ruhani, sumber makanan yang tidak halal mempengaruhi tumbuh-kembangnya dimensi ruhani manusia ke arah yang tidak baik.
Selain itu, titik temu antara  pendidikan jasmani dan ruhani adalah pada tampilan aktivitas fisik manusia dalam kehidupan. Perilaku lahiriah manusia dipengaruhi oleh potensi-potensi ruhani manusia.  Dengan demikian tidak dibenarkan adanya pengabaian atau lebih menitikberatkan pada satu aspek unsur manusia saja (jasmani atau rohani) dalam pendidikan. Pendidikan ruhani dapat dilakukan melalui proses pembiasaan dan penyucian.


DAFTAR PUSTAKA

Al- Abrasyi, Muhammad Atiyah.At-Tarbiyah al-Islamiyah wa Falasafatuha. Kairo: Darul Fikri, 1969.

Farhadian, Muhammad Rida.Asas al-Tarbiyah wa al-Ta’lim fi al-Qur’an wa al-Hadis. Qum: Maktabah I’lam al-Islami, 1995.

Ibn Manzur, Muhammad ibn Mukarram ibn Ali ibn Ahmad.Lisan al-‘Arab, CD Room Maktabah Syamilah.

Ibn Zakariya, Abu al-Husain Ahmad ibn Faris.Mu’jam Maqayis al-Lugah. Beirut: Darul Fikri, 1979.

Mahmud, Ali Abdul Halim.Pendidikan Ruhani. Terj. Abdul  Hayyie al-Kattani dkk. Jakarta: Gema Insani Press, 2000.

Al-Maragi, Ahmad Mustafa.Tafsir al-Maragi. Mesir: Maktabah al-Babi al-Halabi, 1946.

Mi’an, Hasan. Nazarat Haula al-I’dad al-Ruhi. Makkah al-Mukarramah: Maktab al-Kutub, 1984. 

Moh. Sholeh.Bertobat Sambil Berobat: Rahasia Ibadah untuk Mencegah dan Menyembuhkan Berbagai Penyakit. Jakarta: Mizan, 2008.

Al-Muqaddas, Faidullah Husna.Fath al-Rahman li al-Talib al-Qur’an. Indonesia: Maktabah Dahlan, ttp.

Qomar, Mujamil.Epistemologi Pendidikan Islam: dari Metode Rasional hingga Metode Kritik. Jakarta: Erlangga, 2006.

Shihab, M. Quraish.Membumikan Alquran: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat. Bandung: Mizan, 1994.

Shihab, M.Quraish.Wawasan Alquran: Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai Persoalan Umat. cet. XIV. Bandung: Mizan, 2003.

Al-‘Ukbari, Abi al-Baqa ‘Abdullah ibn al-Husain.At-Tibyan fi I’rab al-Quran,. Beirut: Darul Jail, 1987.

Az- Za’balawi, M. Sayyid Muhammad.Pendidikan Remaja antara Islam dan Ilmu Jiwa. Terj. Abdul  Hayyie al-Kattani dkk. Jakarta: Gema Insani, 2007.




Lampiran:


Tentang Qalb

1.      QS. Al-Anfal ayat 24


Tentang Ruh

1.      QS. Al-Mukmin ayat 15

2.      QS. Al-Mujadilah ayat 22







3.      QS. Asy-Syura ayat 52

4.      QS. An-Nahl ayat 2

Tentang Akal

1.      QS. Al-Baqarah ayat 164

Tentang Nafs

1.      QS. Al-Maidah ayat 32

2.      QS. Al-Ra’d ayat 11


3.      QS. Al-Fatir ayat 6-7

4.      QS. Az-Zumar ayat 24


Tentang Sarana Pendidikan Ruhani

1.      QS. Al-Maidah ayat 88

2.      QS. Al-A’raf ayat 31


3.      QS. Al-Baqarah ayat 183


4.      QS. Al-Maidah ayat 3


5.      QS. Al-Baqarah ayat 221


6.      QS. Al-Baqarah ayat 223







[1]Guru Pendidikan Agama Islam SMP Negeri 3 Lubuk Pakam – MTs Alwashliyah Pulau Gambar - Sekretaris MUI Kecamatan Galang – Sekretaris PC Alwashliyah Kecamatan Galang
[2]Moh. Sholeh, Bertobat Sambil Berobat: Rahasia Ibadah untuk Mencegah dan Menyembuhkan Berbagai Penyakit (Jakarta: Mizan, 2008), h. 37.
[3]Quraish Shihab, Membumikan Alquran: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat (Bandung: Mizan, 1994), h. 172-173.
[4]Mujamil Qomar, Epistemologi Pendidikan Islam: dari Metode Rasional hingga Metode Kritik (Jakarta: Erlangga, 2006), h. 261.
[5]M. Sayyid Muhammad az-Za’balawi, Pendidikan Remaja antara Islam dan Ilmu Jiwa. Terj. Abdul  Hayyie al-Kattani dkk. (Jakarta: Gema Insani, 2007), h. xv.
[6]Muhammad Atiyah Al-Abrasyi, At-Tarbiyah al-Islamiyah wa Falasafatuha (Kairo: Darul Fikri, 1969) h. 22.
[7]Sholeh, Bertobat Sambil Berobat, h.34.Lihat, Muhammad Rida Farhadian, Asas al-Tarbiyah wa al-Ta’lim fi al-Qur’an wa al-Hadis (Qum: Maktabah I’lam al-Islami, 1995), h. 17-50. Lihat pula, M.Quraish Shihab, Wawasan Alquran: Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai Persoalan Umat, cet. XIV, (Bandung: Mizan, 2003), h. 277-295.
[8]Ali Abdul Halim Mahmud, Pendidikan Ruhani (Jakarta: Gema Insani Press, 2000), h. 74.
[9]Mahmud, Pendidikan Ruhani, h. 201-203.
[10]Faidullah Husna al-Muqaddas, Fath al-Rahman li al-Talib al-Qur’an (Indonesia: Maktabah Dahlan, ttp), h. 367-369.
[11]Muhammad ibnMukarramibn Ali ibn Ahmad ibnManzur, Lisan al-‘Arab, CD Room Maktabah Syamilah.
[12]Abu al-Husain Ahmad ibn Faris ibn Zakariya, Mu’jam Maqayis al-Lugah (Beirut: Darul Fikri, 1979) jilid 3, h. 351.
[13]Shihab, Wawasan Alquran, h. 288.
[14]Ahmad Mustafa al-Maragi, Tafsir al-Maragi (Mesir: Maktabah al-Babi al-Halabi, 1946), jilid. 26, h. 168.
[15]Farhadian, Asas al-Tarbiyah wa al-Ta’lim, h. 50.
[16]Shihab, Wawasan Alquran, h. 291.
[17]Farhadian, Asas al-Tarbiyah wa al-Ta’lim, h. 50.
[18]Shihab, Wawasan Alquran, h. 292.
[19]Ibn Faris ibn Zakariya, Mu’jam Maqayis al-Lugah, jilid 2, h. 337.
[20]Farhadian, Asas al-Tarbiyah wa al-Ta’lim, h. 21.
[21]Al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi, jilid 15, h. 89.
[22]Farhadian, Asas al-Tarbiyah wa al-Ta’lim, h. 24.
[23]Al-Muqaddas, Fath al-Rahman, h. 207.
[24]Ibn Faris ibn Zakariya, Mu’jam Maqayis al-Lugah, jilid 4, h. 56.
[25]Shihab, Wawasan Alquran, h. 294-295.
[26]Ibid.
[27]Al-Maragi, Tafsir al-Maragi, jilid 20, h. 144-145
[28]Ibid. jilid 29, h. 11.
[29]Ibn Faris ibn Zakariya, Mu’jam Maqayis al-Lugah, jilid 5, h. 351.
[30]Shihab, Wawasan Alquran, h. 286.
[31]Ibid.
[32]Ibid., h. 287.
[33]Abi al-Baqa ‘Abdullah ibn al-Husain al’Ukbari, At-Tibyan fi I’rab al-Quran, (Beirut: Darul Jail, 1987), jilid 1, h.234.
[34]Al-Maragi, Tafsir al-Maragi, jilid 3, h. 86.
[35]Shihab, Wawasan Alquran, h. 287.
[36]Ibid., h. 288.
[37]Hasan Mi’an, Nazarat Haula al-I’dad al-Ruhi (Makkah al-Mukarramah: Maktab al-Kutub, 1984), h. 286-287.
[38]Ibid., h. 290.
[39]Ibid., jilid 13, h. 100-101.
[40]Al-Maragi, Tafsir al-Maragi, jilid. 30, h. 34.
[41]QS. Al-Ma’idah: 88.
[42]QS. Al-A’raf: 31.
[43]QS. Al-Baqarah: 183.
[44]QS. Al-Ma’idah: 3.
[45]QS. Al-Baqarah: 221.
[46]QS. Al-Baqarah: 223. 

1 komentar: