Rabu, 08 Januari 2014



PERGUMULAN ISLAM DAN NEGARA PASCA-KEMERDEKAAN REPUBLIK INDONESIA

PERGUMULAN ISLAM DAN NEGARA DI INDONESIA                                  PASCA-KEMERDEKAAN
Oleh: Ahmad Abrar Rangkuti

A.  Pendahuluan
Bangsa Indonesia yang mayoritas penduduknya beragama Islam mengalami persoalan yang serius seperti halnya negara muslim lainnya mengenai hubungan antara Islam dan negara, yaitu ketika memasuki gerbang kemerdekaan  1945. Persoalan tersebut ialah atas dasar apa negara yang baru didirikan? Pada waktu itu bangsa Indonesia terbagi kepada dua golongan: pertama mereka yang mengajukan agar negera Indonesia didasarkan atas kebangsaan tanpa kaitan khas dengan ideologi keagamaan; kedua mereka yang mengajukan agar negara Indonesia didasarkan kepada ideologi keagamaan, khususnya Islam.[1]
Bukti bahwa kedudukan Islam dalam masyarakat masih merupakan masalah tercermin antara lain dalam perdebatan-perdebatan Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (Dokuritsu Zyunbi Coosakai) pada tahun 1945; polemik-polemik dalam permulaan tahun 1950-an yang dilanjutkan dengan perdebatan yang lebih panas dalam pada sidang-sidang Konstituante sejak tahun 1955 sampai 1959. Dan kemudian penerimaan Pancasila sebagai dasar dari partai manapun juga, termasuk partai-partai Islam sebagai salah satu syarat untuk memperoleh pengakuan dari pemerintah. Oleh karena mayoritas penduduk negeri ini terdiri dari orang-orang yang beragama Islam, banyak yang berpendapat bahwa masuknya agama dalam kehidupan kenegaraan berarti masuknya Islam dalam kehidupan tersebut.[2]
Menurut Noer, masalah lain yang dihadapi masyarakat Islam Indonesia adalah bahwa mereka lebih banyak terlibat dalam pertikaian yang  bersifat teoretis dan ideologis, baik dalam berhadapan dengan pihak nasionalis sekuler ataupun antar mereka sendiri, dan anehnya tanpa banyak sangkut pautnya dengan dasar-dasar pokok dari Islam itu sendiri. Di samping itu, bahwa di dalam praktik, hubungan atau persoalan pribadi selalu masuk ke dalam kehidupan sosial dan politik dan sering membawa akibat yang lebih merawankan dibandingkan dengan sebab-sebab perdebatan ideologi.[3]
Untuk pembahasan selanjutnya, makalah ini disusun dengan tema pergumulan Islam dan negara di Indonesia pasca-kemerdekaan. Subbahasan makalah ini meliputi situasi dan sikap negara Indonesia pasca-kemerdekaan, dan situasi serta sikap umat Islam terhadap negara Indonesia pasca kemerdekaan.
Adapun yang dimaksud dengan masa pasca kemerdekaan di Indonesia dalam makalah ini dikategorikan dalam tiga periodesasi kepemimpinan, yaitu: 1) masa Orde Lama (5 Juli 1959 – 11 Maret 1966), 2) masa Orde Baru (11 Maret 1966 – 19  Oktober 1998), dan 3) masa Orde Reformasi (19 Oktober 1999 – sekarang). Sedangkan Islam yang dimaksud dalam pembahasan ini meliputi gagasan dan gerakan sosial-politik Islam yang diwakili oleh tokoh-tokoh Muslim  dan intelektual.

B.  Pembahasan
Hubungan umat Islam dengan pemerintah diwarnai oleh berbagai definisi umat Islam. Untuk memahami makna umat Islam dalam konteks Indonesia, menurut Rahmat paling tidak ada lima cara dalam mendefinisikan umat Islam. Pertama, umat Islam didefinisikan sebagai himpunan orang yang menyatakan dirinya sebagai pemeluk agama Islam. Dengan definisi ini, umat Islam di Indonesia adalah mayoritas penduduk yang sangat hetergogen. Kedua, umat Islam didefiniskan sebagai himpunan orang yang sudah menjalankan ritus-ritus keagamaan seperti salat, zakat, puasa, dan haji. Dengan definisi ini, jumlah umat Islam menurun secara drastis.
Selanjutnya defenisi ketiga, umat Islam adalah himpunan orang yang memiliki pengetahuan yang memadai atau lebih dari itu tentang ajaran Islam. Diduga jumlah mereka sangat kecil, kalau tidak dapat dikatakan minoritas. Keempat, umat Islam adalah himpunan orang yang berusaha mengatur perilakunya di tengah masyarakat sesuai dengan ajaran Islam. Dan kelima, umat Islam adalah himpunan orang yang terlibat secara ideologis dengan ajaran Islam. Mereka memandang Islam sebagai weltauschaung yang harus dijadikan dasar dalam memandang persoalan-persoalan dunia.[4]Pemaknaan umat Islam dalam makalah ini didominasi pada definisi umat Islam sebagai himpunan orang yang terlibat secara ideologis dengan ajaran Islam  dan juga sebagai orang yang memiliki pengetahuan yang memadai atau lebih dari itu tentang ajaran Islam.
Selanjutnya, Menurut Maarif, pada masa pasca-kemerdekaan Indonesia rumusan tujuan dan strategi Islam telah lebih mengkristal dan lebih jelas daripada pada masa pra-kemerdekaan. Tujuan yang dirumuskan adalah menjadikan Islam sebagai dasar filsafat negara, dan bulan-bulan menjelang proklamasi kemerdekaan telah menyaksikan pergumulan Islam dengan Pancasila.[5]

1.   Situasi dan Sikap Negara Indonesia Pasca-Kemerdekaan
a.   Orde Lama
Sekilas tentang masa menjelang kemerdekaan Indonesia, aktor utama sejarah pada masa awal kemerdekaan dikenal dengan dua kelompok, yaitu nasionalis sekuler dan nasionalis muslim. Ismail mendefinisikan kelompok nasionalis sekuler sebagai kelompok para pemimpin politik Indonesia – Muslim, Katolik, Protesetan, Hindu, dan sebagainya – yang sangat teguh menolak agama sebagai dasar negara, meskipun mereka dalam kapasitasnya sebagai pribadi bukanlah sekuleris. Selanjutnya, nasionalis muslim merupakan kelompok pemimpin muslim yang memiliki komitmen yang teguh terhadap keimanan dan meyakini Islam sebagai dasar negara. Kelompok ini meyakini bahwa agama dan negara tidak dapat dipisahkan.[6]
Sebagai perwakilan dari kelompok nasionalis muslim dalam penetapan dasar negara adalah KH. Mas Mansur, Abdul Kahar Muzakkir, Ki Bagus Hadikusumo, KH. Masjkur, KH. A. Wahid Hasjim, Abikusno Tjokrosujoso, H. Agus Salim, Sukiman Wirjosandjojo, KH. A.Sanusi, dan KH. Abdul Halim. Latar belakang pendidikan mereka bervariasi. Misalnya, Agus Salim dan Sukiman dididik di sistem lembaga pendidikan Barat dan tergolong ke dalam kelompok muslim modernis. Sementara itu, Wahid Hasjim dan Masjkur dididik di lembaga pesantren dan tergolong ke dalam kelompok muslim tradisionalis.
Sementara perwakilan dari kelompok nasionalis sekuler adalah Radjiman Wediodiningrat, Soekarno, Mohammad Hatta, Professor Soepomo, Wongsonegoro, Sartono, RP. Soeroso, Dr. Buntaran Martoatmodjo dan Muhammad Yamin. Mereka semua mendapat didikan dari lembaga pendidikan Barat.[7]Dalam perkembangan dan pergumulan Islam dan negara pada era-era selanjutnya, pemaknaan terhadap muslim modernis dan muslim tradisionalis beserta dengan gerakan-gerakannya menjadi kata kunci untuk memahami latar belakang dan tujuan penegakan Islam di Indonesia.
Kesepakatan tentang Piagam Jakarta yang di dalamnya termaktub tujuh kata pada sila pertama, “kewajiban dengan menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” dicapai melalui kesepakatan setelah melalui perdebatan panjang dalam rapat Panitia Sembilan pada tanggal 22 Juni 1945.  Namun kesepakatan itu “mentah” kembali karena ada keberatan dari pihak Kristen di bagian Timur Indonesia. Mereka akan mengundurkan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia yang akan diproklamasikan, apabila tujuh kata dalam Piagam Jakarta tersebut tetap dipertahankan. Latuharhary merupakan wakil kelompok Kristen yang menyatakan keberatannya. Keberatan itu dijawab oleh Agus Salim bahwa penganut agama selain Islam akan dapat menjalankan agamanya sesuai dengan kepercayaan mereka dan tidak perlu merasa khawatir dengan mayoritas Islam. Wongsonegoro dan Husein Djajadiningrat dari pihak Nasionalis Sekuler juga menyatakan keberatan dengan alasan bahwa ketujuh kata dalam Piagam Jakarta itu dapat menimbulkan sikapa fanatisme dan kelihatannya umat Islam akan dipaksa menjalankan agamanya.[8]
Pada tanggal 18 Agustus 1945 pagi, sebelum sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) dimulai, Hatta mengundang tokoh-tokoh Islam yang vokal menyuarakan tujuh kata tersebut untuk meninjau kembali rumusan dalam Piagam Jakarta. Mereka yang diundang adalah KH. Wachid Hasjim, Ki Bagus Hadikusumo, Kasman Singodimedjo, dan Muhammad Hasan dari Sumatera. Dari dialog dengan Hatta ini akhirnya wakil-wakil Islam tersebut menerima saran Hatta. Ini memang sesuatu yang aneh, karena tiba-tiba mereka “menyerah” pada keinginan Hatta. Padahal selama ini mereka dikenal sebagai tokoh yang memiliki integritas tinggi dan memperjuangkan Islam sebagai dasar negara.[9] Dari elaborasi di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa pada awal kemerdekaan Indonesia, umat Islam mengalami kegagalan dalam perjuangan mereka menjadikan Islam integral dalam kehidupan berbangsa.
Pada masa selanjutnya, kekuatan Islam politik formal pada masanya pernah mengalami kejayaan, yakni era demokrasi liberal tahun 1950-an. Namun itupun dapat dikatakan gagal menjalankan pesan-pesan politiknya secara optimal. Masyumi yang muncul pertama kali sebagai satu-satunya kekuatan politik Islam pasca maklumat nomor X, sedianya menjadi partai politik nomor satu dalam pemilu 1955, bila saja PSII dan NU tidak keluar dari barisan politiknya. Akibatnya cukup fatal, suara Masyumi dikalahkan oleh PNI – yang sebenarnya nyaris sejajar. Bila saja NU tidak keluar, pastilah kekuatan politik Islam tidak tertandingi.[10]
          Dalam era demokrasi liberal, Indonesia mengalami gonta-ganti kabinet. Dalam sistem inilah Indonesia menampung banyak partai yang akan ikut serta dalam Pemilu 1955. Dalam sistem ini pula umat Islam mendapat kesempatan lagi untuk memperjuangkan aspirasi mereka yang sebelumnya kandas oleh konsensus politik pada 1945. Pertarungan ideologi di Konstituante benar-benar bebas dan jauh dari tekanan-tekanan. Masing-masing pihak leluasa mengeluarkan pandangan dan pendiriannya. Di pihak Islam, partai-partai yang membela Islam sebagai dasar negara seperti Masyumi, NU, PSII, dan Perti memiliki satu suara. Mereka bisa melupakan perbedaan dan persaingan untuk menghadapi permasalahan krusial ini.
          Pancasila yang diperjuangkan oleh kelompok Nasionalis Sekuler seperti Ruslan Abdulgani, Sutan Takdir Alisjahbana, menurut mereka adalah netral dan tidak memiliki basis moral agama. Sementara itu dari pihak Nasionalis Muslim, misalnya Natsir dan Saifuddin Zuhri bersikap keras dan tegas terhadap Pancasila yang menurutnya ditafsirkan sesuai selera oleh kalangan Nasionalis Sekuler. Misalnya saja Soekarno yang memeras Pancasila menjadi Ekasila, yaitu gotong royong. Karena tidak tercapai kesepakatan dalam sidang Konstituante, Presiden Soekarno mengeluarkan Dekrit Presiden pada 5 Juli 1959. Ide ini sepenuhnya mendapat dukungan dari militer di bawah komando Jenderal A.H. Nasution.[11]
          Keluarnya Dekrit Presiden menandai gagalnya kembali upaya umat Islam untuk melakukan formalisasi ke dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Perjuangan tokoh-tokoh Islam yang dijamin secara konstitusional dalam wadah Konstituante berakhir dengan kekecewaan oleh keputusan sepihak Soekarno yang mengeluarkan dekrit.
          Selain wadah konstitusional, sebagian umat Islam Indonesia ada yang menempuh jalur “senjata”. Di beberapa daerah di Indonesia  muncul gerakan separatisme dengan mengatasnamakan Darul Islam/Tentara Islam Indoenesia (DI/TII). Di Jawa Barat gerakan ini dipimpin oleh Sekarmadji Maridjan Kartosuwirjo. Ia memproklamirkan berdirinya Negara Islam Indonesia pada tanggal 7 Agustus 1949 di desa Cisampang, Jawa Barat. Di Aceh oleh Daud Beureueh (1953), Jawa Tengah oleh Amir Fatah Wijaya Kusuma (1949), Sulawesi Selatan oleh Kahar Muzakkar (1952), dan Kalimantan Selatan oleh Ibnu Hajar juga berdiri DI/TII (1963).
          Pemberontakan DI/TII di Jawa Barat berakhir dengan dijatuhkan hukuman mati kepada Kartosuwirjo.  Di Aceh DI/TII berakhir dengan adanya kompromi politik DI/TII dengan pemerintah dengan pemberian status istimewa untuk Provinsi Aceh. Di Jawa Tengah DI/TII berakhir dengan menyerahnya Amir Fatah. Di Sulawesi Selatan DI/TII berakhir dengan tewas tertembaknya Kahar Muzakkar. Dan di Kalimantan Selatan DI/TII berakhir dengan tertangkapnya Ibnu Hajar.[12]
          Pada era demokrasi terpimpin, yaitu sejak dikeluarkannya dekrit dapat dianggap sebagai masa-masa sulit bagi partai Islam. Partai Masyumi dipaksa membubarkan diri karena dianggap oposisi dan menentang revolusi. Soekarno juga menuduh bahwa Masyumi berada di belakang pemberontakan yang terjadi di daerah seperti Sumatera Barat, Aceh, Sulawesi, dan Kalimantan. Apalagi daerah-daerah yang dituduh memberontak adalah kantong-kantong Masyumi. Tokoh Islam seperti Mohammad Natsir, Hamka, Burhanuddin Harahap, Mohammad Yunan Nasution, Isa Anshari, Prawoto Mangkusaswito, dan Sjafruddin Parwiranegara dibungkam dengan cara dimasukkan ke dalam penjara tanpa proses hukum yang jelas.
          Di sisi lain terdapat tiga partai Islam, yaitu NU, PSII dan Perti yang berusaha menyesuaikan diri dengan demokrasi ala Soekarno tersebut. Mereka bersikap akomodatif sehingga bisa hidup berdampingan dengan Soekarno dan bertahan dalam alam demokrasi terpimpin Soekarno. Tokoh NU yang ikut ambil bagian adalah KH. Idham Chalid, KH. Achmad Sjaikhu, dan KH. Saifuddin Zuhri. KH. Idham Chalid menyatakan bahwa masuk ke dalam sistem demokrasi terpimpin adalah sesuai dengan hukum Allah. Sementara KH. Achmad Sjaikhu berpendapat bahwa masuk ke dalam sistem demokrasi terpimpin adalah ijtihad politik pihak pesantren.[13]
          Namun yang jelas, apapun yang dipilih oleh partai-partai Islam, menolak atau menerima demokrasi terpimpin, kedua-duanya sama-sama hancur. Masyumi lebih dahulu bubar setahun setelah Soekarno mengeluarkan dekritnya. Sementara NU yang sempat menikmati kekeuasaan akhirnya juga ikut terjungkal dari panggung sejarah politik Indonesia modern bersamaan dengan kegagalan pemberontakan PKI 1965. Perjuangan politik Islam di bumi Indonesia ini pun mengalami kegagalan kembali.
          Menurut Iqbal dan Nasution kegagalan ini setidaknya disebabkan oleh tiga faktor utama. Pertama, di kalangan partai Islam sendiri tidak terdapat kata sepakat dalam menghadapi perkembangan politik saat itu. Kedua, dari sudut historis perpecahan ini tidak terlepas dari pertentangan paham antara kelompok modernes dan tradisionalis yang sudah berjalan sejak pertengahan abad ke-19. Dan ketiga, perpecahan di tubuh partai-partai Islam dibaca dengan sangat jeli oleh Soekarno.[14]
b.   Orde Baru
Gagalnya pemberontakan G-30-S/PKI dan jatuhnya kekuasaan Soekarno menandai bangkitnya sebuah era baru yang oleh pendukungnya disebut Orde Baru. Kelahiran Orde Baru ditandai oleh pemberian mandat – yang dikenal dengan Surat Perintah Sebelas Maret 1966 oleh Soekarno kepada Soeharto untuk mengatasi situasi yang diakibatkan timbulnya pemberontakan kaum komunis tersebut.
Pada awalnya, Orde Baru memberikan sebersit harapan di kalangan masyarakat Indonesia, khususnya umat Islam. Hal ini diindikasikan dari kebijakan Orde Baru yang membebaskan para tokoh Masyumi yang sebelumnya dijebloskan Soekarno ke penjara. Namun akhirnya mereka menelan kekecewaan. Pemerintah Orde Baru yang didukung sepenuhnya oleh militer tidak bersedia merehabilitasi Masyumi dan tidak mengizinkan para eksponennya untuk terlibat dalam politik praktis. Pemerintah dan pendukung Orde Baru menganggap bahwa keberadaan Islam politik dapat mengganggu stabilitas kekuasaan mereka.[15]
Pemerintahan Orde Baru membuat kebijakan politik dengan menggabungkan partai-partai yang berbasis Islam ke dalam Partai Persatuan Pembangunan (PPP), sedangkan partai yang berbasis nasionalis dan Kristen bergabung ke dalam Partai Demokrasi Indonesia (PDI). Dengan fusi ini, rezim Orde Baru semakin mudah melakukan kooptasi terhadap partai. Khusus terhadap aspirasi umat Islam, pemerintahan Orde Baru sangat berhati-hati dan  bertidak tegas terhadap hal-hal yang mungkin menggoyang kekuasaannya.
Soeharto sebagai presiden pada masa Orde Baru menegaskan bahwa negara Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila itu bukanlah negara agama, tetapi bukan pula negara sekuler. Tafsir baku tersebut merupakan landasan pengertian tentang Pancasila dalam pemasyarakatan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4/Eka Prasetya Pancakarsa).Pemerintah Orde Baru telah mengambil banyak langkah atau kebijakan untuk melibatkan agama dalam kehidupan dan pembangunan nasional, dan untuk meningkatkan pelayanan bagi umat beragama demi kesempurnaan ibadah mereka. Misalnya, dalam rangka pembangunan hukum nasional telah diundangkan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang kekuasaan kehakiman dalam negara Republik Indonesia, yang menyatakan bahwa kekuasaan kehakiman di Indonesia dilaksanakan oleh badan-badan pengadilan dalam empat lingkungan peradilan, yaitu: 1) Peradilan Umum, 2) Peradilan Agama, 3) Peradilan Militer, dan 4) Peradilan Tata Usaha Negara. Kesemuanya berpuncak pada Mahkamah Agung.
Pada tahun 1975 pemerintah Orde Baru memprakarsai pembentukan Majelis Ulama Indonesia (MUI) dengan dua fungsi, yaitu: 1) penerjemah dari kebijaksanaan-kebijaksanaan pemerintah kepada umat Islam dengan mempergunakan bahasa agama, dan 2) sebagai saluran untuk menyampaikan aspirasi umat Islam kepada pemerintah di samping lembaga-lembaga legislatif. Selanjutnya, pemerintah Orde Baru membentuk Proyek Kompilasi Hukum Islam dengan tujuan menyusun tiga rancangan buku hukum untuk menjadi pegangan hakim-hakim agama. Buku pertama mengenai perkawinan, buku kedua mengenai pembagian warisan, dan buku ketiga mengenai perwakafan dan sebagainya. Proyek tersebut melibatkan para ulama, para ahli hukum Islam, para guru besar ilmu hukum termasuk sejumlah hakim agung, tokoh organisasi kemasyarakatan Islam dan fakultas-fakultas syariah IAIN.[16]
Pemerintah Orde Baru juga mengambil langkah penting untuk pemantapan pendidikan agama dengan mengeluarkan Undang-Undang Nomor 2 tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Undang-undang tersebut antara lain mengakui pendidikan agama sebagai satu subsistem dari sistem pendidikan nasional, dan mengukuhkan pendidikan agama sebagai mata pelajaran wajib di sekolah umum dan dari sekolah dasar hingga perguruan tinggi. Seiring dengan itu, pemerintah telah membenahi IAIN yang merupakan pusat pendidikan tinggi agama Islam. Pada tahun 1985 diterbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 33 yang memberikan status kepada empat belas IAIN, perlakuan dan fasilitas yang sama dengan perguruan tinggi negeri yang dikelola oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Peraturan pemerintah tersebut kemudian dijabarkan dengan Keputusan Presiden Nomor 9 tahun 1987.[17]
Dari aspek praktik pendidikan Daulay dan Pasa menjelaskan bahwa setelah Indonesia merdeka lebih dari setengah abad perjalanan bangsa ini, dirasakan bahwa pendidikan belum merupakan prioritas utama sehingga akibatnya dirasakan beberapa kesenjangan dalam kualitas manusia Indonesia. Pada pemerintahan Orde Baru, pada zaman Presiden Soeharto berkuasa prioritas utama adalah pembangunan ekonomi, dengan titik tumpunya adalah pertumbuhan ekonomi. Dampak negatifnya menimbulkan berbagai hal yang menghantarkan bangsa Indonesia kepada krisis dan moneter.[18] Dengan orientasi pada bidang ekonomi ini selanjutnya mengantarkan kejatuhan rezim Orde Baru. Sepintas lalu, perubahan-perubahan ekonomi Indonesia memberi kesan terjadinya peningkatan kesejahteraan bagi seluruh bangsa Indonesia. Pertumbuhan ekonomi mencapai 7-8 persen per tahun. Namun bila dicermati lebih jauh, banyak masalah yang timbul akibat orientasi pembangunan ekonomi yang bertumpu pada pertumbuhan.[19]
Iqbal menjelaskan bahwa tidak selamanya Orde Baru bersikap “tidak bersahabat” terhadap Islam. Sepanjang kekuasaannya selama 32 tahun, hubungan Islam dengan Orde Baru dapat dibedakan menjadi dua periode, yaitu periode antagonis yang berlangsung hingga tahun 1985, dan periode akomodatif hingga kejatuhan Orde Baru pada tahun 1998.[20]
Pada masa antagonis umat Islam mengalami perlakuan yang tidak bersahabat dari Orde Baru. Misalnya, penolakan rehabilitasi Masyumi, penolakan berdirinya Partai Demokrasi Islam Indonesia, rumusan undang-undang perkawinan, menggantikan pelajaran agama dengan pancasila ke dalam kurikulum pendidikan nasional, larangan berjilbab bagi siswi muslimah di sekolah umum, dan legalisasi perjudian oleh negara. Dalam masa ini Orde Baru melakukan uji coba dengan kebijakan penerapan asas tunggal Pancasila.
Pada masa akomodatif  Orde Baru tampil dalam aspek struktural seperti banyak tokoh cendikiawan muslim yang duduk di lembaga negara. Hal ini tidak terlepas dari usaha Nurcholish Madjid yang mencoba mencairkan hubungan Islam dan negara dengan gagasannya “Islam yes partai Islam no”. Tokoh fenomenal yang tidak kalah penting duduk di lembaga negara  adalah Munawir Sjadzali yang menjabat Menteri Agama selama dua periode (1983-1993). Lahirnya ICMI juga menandai sikap akomodatif Orde Baru terhadap Islam.
Selain itu dalam aspek legislatif  Orde Baru mengesahkan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1989 tentang Pendidikan Nasional yang mewajibkan penyelenggara sekolah memberikan pelajaran agama sesuai dengan agama yang dianut anak didik. Disahkannya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, disusunnya Kompilasi Hukum Islam, diubahnya kebijakan tentang jilbab, SKB Menteri Dalam Negeri dan Menteri Agama tentang pembentukan BAZIS, dan penghapusan Sumbangan Dana Sosial Berhadiah menunjukkan hubungan yang akomodatif  Orde Baru dengan Islam.
Dalam akomodasi infrastruktural, pemerintah Orde Baru menyediakan anggaran belanja negara untuk membiayai proyek-proyek keagamaan. Presiden Soeharto mendirikan Yayasan Amal Bakti Muslim Pancasila (YAMP) yang banyak membangun masjid di berbagai daerah di Indonesia, dan pada tahun 1991 mengizinkan berdirinya Bank Muamalat. Sementara dalam akomodasi kultural Presiden Soeharto juga ikut dalam Takbir Akbar Lebaran di Taman Monas dan membuka kegiatan Festival Istiqlal yang berlangsung dua kali, yakni pada tahun 1991 dan 1994.[21]
Islam pada masa Orde Baru ditandai dengan perubahan besar, baik secara institusional maupun dalam bentuk perubahan pemikiran berbagai ajaran agama ini. Perubahan institusional yang dialami oleh Islam pada masa Orde Baru adalah hancurnya institusi-institusi lama dan munculnya institusi-institusi baru. Perubahan institusi lama adalah terutama fusi partai-partai Islam yang melahirkan Partai Persatuan Pembangunan (PPP) mengganti asasnya Islam dengan Pancasila dalam muktamarnya tahun 1984. Sedangkan pemunculan institusi baru ditandai antara lain dengan terbentuknya Majelis Ulama Indonesia (1975), lahirnya Ikatan Cendikiawan Muslim se-Indonesia (ICMI, 1990) dan Bank Muamalat Indonesia (1991).[22]
Fase-fase sebelum zaman Orde Baru berlangsung singkat, sehingga masa surut politik Islam juga berlangsung tidak terlalu lama. Lain halnya di masa Orde Baru yang telah melebihi umur Orde Lama, masa surut politik Islam jauh melampaui fase-fase sebelumnya. Bahkan pada masa Orde Baru, surut sampai titik yang paling rendah, yaitu lenyapnya institusi politik Islam, yang ditandai dengan penetapan asas tunggal Pancasila bagi PPP.
Menurut Tebba ada tiga faktor yang menyebabkan surutnya partai Islam pada masa Orde Baru. Faktor pertama, besarnya campur tangan pemerintah dalam kehidupan politik atau biasa disebut birokratisasi politik. Faktor kedua, adanya diferensiasi sosial yang menyebabkan perhatian umat terbagi. Faktor ketiga, adalah lembaga konsep politik Islam. Birokratisasi politik sudah terasa sejak awal Orde Baru, misalnya ketika Partai Muslimin Indonesia (Parmusi) lahir pada tahun 1968, sebagian besar pemimpinnya yang terpilih adalah mantan pemimpin Masyumi, tetapi kemudian mereka mengundurkan diri karena tidak diterima oleh pemerintah. Begitu pula halnya rencana mantan Wapres RI Dr. Mohd. Hatta untuk mendirikan Partai Demokrasi Islam Indonesia (PDII) yang gagal karena sebab yang sama. Upaya itu mencapai puncaknya, ketika Pancasila ditetapkan sebagai satu-satunya asas dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara melalui Undang-Undang Nomor 3 tahun 1985 tentang Partai Politik dan Golkar, dan Undang-Undang Nomor 8 tahun 1985 tentang Organisai Kemasyarakatan.[23]
Terkait dengan gagasan Mohd. Hatta mendirikan Partai Demokrasi Islam Indonesia, Saidi menjelaskan bahwa PDII dianggap tidak cukup “appealing” untuk mengimbau massa bekas partai Masyumi, karena itu PDII tidak memperoleh dukungan dan bahkan ditentang oleh kaum muda yang diwakili oleh suara Pengurus Besar HMI.[24]
Faktor lain yang mempengaruhi surutnya partai politik Islam adalah kurang jelasnya konsep politik Islam itu sendiri. Konsep politik Islam yang berkembang selama ini, kurang lengkap. Konsep politik Islam yang menghendaki ditegakkannya khilafah atau imamah, adanya penguasa atau pemerintah yang ditetapkan, misalnya mempunyai visi atau wawasan yang luas, berlaku adil pada rakyat, dan memiliki kemampuan menjalankan tugasnya. Semua syarat itu tidak salah, tetapi tentu tidak memadai. Ada hal-hal yang belum dicakup dalam pemikiran politik Islam, yaitu distribusi kekuasaan seperti yang dikenal dalam konsep politik modern, sistem pengalihan kekuasaan, dan cara pembentukan pemerintahan. Selanjutnya Tebba mengasumsikan bahwa faktor tersebut merupakan salah satu sebab umat Islam dapat menerima Pancasila sebagai  dasar negara, ketika Indonesia diproklamirkan tahun 1945. Umat pun tidak keberatan sewaktu tujuh kata pada sila pertama Pancasila yang disepakati tanggal 22 Juni 1945 dicoret, yaitu dengan menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya.[25]
c.   Orde Reformasi
Pengangkatan Habibie sebagai presiden menandari berawalnya era baru bangsa Indonesia. Untuk menyahuti berbagai aspirasi yang berkembang, Habibie menempuh berbagai kebijakan penting. Presiden Habibie membuka selebar-lebarnya keran demokrasi yang selama ini tersumbat. Ia memberi kesempatan yang luas berdirinya partai-partai dengan beragam ideologi dan membuka kebebasan pers. Habibie juga membebaskan tahanan-tahanan politik selama masa Soeharto dan membatalkan pencekalan  atas tokoh-tokoh vokal selama ini.
Hal lain yang dilakukan Habibie adalah kesediaannya untuk mempercepat pemilihan umum dan memberi kesempatan yang luas kepada rakyat untuk membentuk partai. Hal ini ditandai dengan kenyataan munculnya tidak kurang dari 150 partai politik baru hanya dalam kurun waktu enam bulan. Dari jumlah tersebut, yang memperoleh pengesahan dari Departemen Kehakiman dan mendaftarkan diri ke Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai peserta pemilu ada 48 partai.
Tentang partai-partai Islam dapat dikatakan bahwa sebagian di antaranya merupakan jelmaan dari partai-partai Islam pada era demokrasi liberal dan pemilu 1955. Mereka berusaha mewarisi semangat bahkan mengklaim sebagai penerus perjuangan partai-partai Islam 1955. Tujuan dari itu semua adalah agar mereka memperoleh “justifikasi historis” sebagai kelanjutan partai-partai Islam sebelumnya.[26]
Dalam perkembangan politik selanjutnya, ketika proses pemilihan presiden RI di MPR, partai-partai Islam memiliki satu suara dalam Poros Tengah yang digalang oleh lokomotif  reformasi, Amien Rais untuk memenangkan Abdurrahman Wahid sebagai presiden. Kerjasama ini membuahkan hasil ketika terjadi perseteruan yang semakin memanas antara calon presiden Habibie dari Partai Golkaar dan Megawati Soekarnoputri yang diusung oleh PDI-P. Amien Rais bersama partai-partai Islam lainnya dalam Sidang Umumu MPR 20 Oktober 1999 berhasil mendudukkan Abdurrahman Wahid sebagai Presiden RI dalam masa reformasi mengalahkan Megawati Soekarnoputri. Keberhasilan Poros Tengah mengantar Abdurrahman Wahid menjadi Presiden RI dapat dipandang sebagai kemenangan sementara politik Islam atas kelompok nasionalis sekuler.[27]

2.   Situasi dan Sikap Umat Islam Terhadap Negara Indonesia Pasca Kemerdekaan
a.   Orde Lama
Kekecewaan yang mendalam akibat perubahan tujuh kata dalam Piagam Jakarta akhirnya diterima oleh perwakilan Umat Islam pada saat itu dengan beberapa alasan. Pertama, situasi dan kondisi tanah air yang masih belum stabil di mana tentara Sekutu telah siap siaga untuk kembali menjajah. Kedua, tentara Dai Nippon masih bercokol di Nusantara. Kedua situasi ini mengilhami para wakil-wakil Islam  untuk lebih mengutamakan kepentingan negara dan bangsa daripada kepentingan Islam. Dengan harapan di mana keadaan telah memungkinkan, maka di situlah akan memusyawarahkan kembai keinginan-keinginannya itu.[28]
Menurut Kuntowijoyo umat Islam dengan sukarela memberi konsesi kepada nasionalisme dengan menghapus tujuh kata (“dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”) dari Piagam Jakarta yang kemudian menjadi pembukaan UUD 1945. Penghapusan kata-kata itu menunjukkan kepedulian  umat dengan persatuan dan kesatuan bangsa.[29]
Perjuangan penegakan syariat Islam secara institusional yang gencar dilakukan oleh salah satu tokohnya, yaitu Natsir memiliki makna tersendiri. Noer memberikan tafsiran mengapa Natsir sekeras itu menolak Pancasila sebagai dasar negara dengan tiga penyebab sebagai berikut. Pertama, partai Natsir, Partai Masyumi dalam kampanye menjelang pemilihan umum tahun 1955 memang antara lain mengemukakan bahwa mereka akan memperjuangkan dasar Islam seperti yang diamanatkan oleh dasar partai tersebut dalam Anggaran Dasarnya Pasal III: “Terlaksananya Republik Indonesia menuju keridhaan Ilahi. Dengan negara berdasar Islam, tentulah tujuan ini lebih mudah dicapai”.
Selanjutnya kedua, Natsir memenuhi janji-janji dalam kampanye menjelang pemilihan umum, yaitu bahwa dasar Islam yang hendak ditegakkan dalam hal ini lewat Konstituante. Janji harus dipenuhi, demikian agaknya pendirian beliau dan Konstituante adalah tempat yang sah untuk memperjuangkan ini. Dan ketiga, pidato Natsir di Konstituante merupakan respons terhadap segala macam pikiran yang dikemukakan kalangan lain termasuk di Konstituante, terutama mereka yang memperjuangkan Pancasila.[30]
Islam yang diperjuangkan oleh Natsir dan kawan-kawan adalah Islam yang bukanlah semata-mata yang disebut dengan istilah peribadatan dalam istilah sehari-hari saja, seperti salat dan puasa. Yang dimaksud dengan Islam menurut pengertian adalah segala yang meliputi kaidah-kaidah, hudud-hudud dalam muamalah  dalam masyarakat menurut garis yang telah ditetapkan. Selanjutnya, menurut Natsir negara bukanlah tujuan tetapi alat urusan kenegaraan pada pokok dan pada dasarnya adalah satu bagian yang tidak dapat dipisahkan dari Islam. Sesuatu yang menjadi tujuan adalah kesempurnaan berlakunya undang-undang ilahi, baik yang berkenaan dengan kehidupan dunia yang fana ini, ataupun yang berhubungan dengan kehidupan kelak di alam baka. Pengajuan Islam sebagai dasar negara menurut Natsir adalah karena diyakininya Islam sebagai satu-satunya agama yang memiliki ajaran tentang ketatanegaraan dan masyarakat.[31]
Dari segi latar belakang pemikiran, ketika Natsir bergabung di dalam Jong Islamiaten Bond ia berkenalan dan belajar dengan Agus Salim. Konsep nasionalisme Islam yang berarti melindungi tanah air dan bangsa  dari segala bentuk penindasan berdasarkan cara-cara yang dibenarkan syariat Islam diperoleh Natsir dari Agus Salim. Di sisi lain, Kartosuwirjo yang juga ikut di dalam Jong Islamiaten Bond dipengaruhi oleh konsep pemikiran Tjokroaminoto tentang revolusi. Tjokroaminoto pula yang pertama kali mengajarkan Kartosuwirjo tentang konsep sumpah setia kepada pimpinan organisasi Islam (baiat).[32]
Terkait dengan Darul Islam dan Negara Islam Indonesia, menurut Ali akar penyebab gerakan itu sendiri lebih terpaku pada proses sosialisasi Kartosuwirjo ke dalam pemikiran Islam yang kemudian erat berkait dengan pembentukan struktur faham keislamannya. Mapannya struktur itu diimbangi pula oleh situasi sosial yang terbentuk selama perang kemerdekaan. Di sana sini tumbuh berbagai kelompok/kesatuan bersenjata yang terpencar-pencar, tidak terkonsolidasikan. Bersamaan dengan itu, Republik Indonesia yang telah terbentuk sebelumnya berkeinginan besar memfungsikan dirinya sebagai negara. Keinginan itu mendorongnya untuk meluaskan kekuasaan yang terkontrol di tangannya. Kebijaksanaan ini tentu saja berhadapan dengan satuan-satuan bersenjata geriliyawan yang sebelumnya memang telah tumbuh. Tiga faktor ini bertemu dan meledaklah gerakan DI/TII.[33]
Selanjutnya menurut Noer, persoalan Darul Islam dan Negara Islam Indonesia yang ada di Jawa Barat disebabkan oleh pendekatan yang kurang memperhatikan segi psikologis mereka yang tergabung dalam Hizbullah dan Sabilillah di daerah itu. Ketika TNI Angkatan Darat akhir tahun 1948 kembali hijrah dari Yogyakarta ke Jawa Barat – sebagai akibat persetujuan Renville; Hizbullah dan Sabilillah tidak ikut pindah ke Yogyakarta karena ingin terus mempertahankan Jawa Barat dari pihak Belanda. Saling pengertian menghadapi Belanda kurang terbina. Kemudian setelah kabinet Natsir pada tahun 1950 menjalankan pendekatan persuasif terhadap Kartosuwiryo agar kembali ke pangkuan Republik Indonesia, pertimbangan psikologis tidak atau sangat kurang diperhatikan pihak Angkatan Darat. Padahal, sudah terdapat tanda-tanda bahwa Kartosuwiryo akan kembali ke pangkuan Republik Indonesia.[34]

b.   Orde Baru
Tebba menyatakan bahwa perubahan yang dialami Islam dalam bidang politik dan pemikiran keagamaan pada masa Orde Baru merupakan konsekuensi logis dari proses modernisasi  dan desakan politik pemerintah yang sangat lama berkuasa. Proses modernisasi membawa perubahan institusional dan wawasan umat. Salah satu inti modernisasi adalah rasionalisasi, sehingga umat dapat lebih terdorong untuk bersikap lebih rasional dan realistis. Selain itu, desakan politik pemerintah menyebabkan umat harus ikhlas menerima fusi partai dan penetapan asas tunggal Pancasila. Karena kedua hal ini merupakan bagian dari kebijaksanaan besar pembangunan politik Orde Baru yang tidak dapat ditawar-tawar lagi.[35]
Namun tidak sedikit pula pengamat Islam menilai perubahan Islam di masa Orde Baru  bukan karena faktor modernisasi dan desakan politik Orde Baru, tetapi lebih merupakan kelanjutan dialog internal yang telah berjalan di kalangan umat sejak awal abad ke-20. Dialog internal umat dapat dilihat pada pembentukan ormas-ormas Islam di awal abad ke-20 untuk memberikan pelayanan pendidikan, dakwah, dan kegiatan sosial keagamaan lainnya. Ormas ini lahir dari dialog tentang perlunya umat meningkatkan pengetahuan dan kesejahteraan mereka melalui institusi sosial yang relevan dengan itu.[36]
Namun tidak sedikit pula di kalangan umat, terutama yang telah berpendidikan tinggi tidak menghendaki adanya negara Islam. Misalnya, Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) pada awal 1950-an telah menyatakan sikapnya yang tegas menolak negara Islam, dan menghendaki dibentuknya negara nasional. Di awal dasawarsa 1970-an, mantan Ketua Umum PB HMI dan tokoh intelektual Islam, Nurcholish Madjid, mengumandangkan slogan “Islam yes Partai Islam no!”. Slogan itu terwujud setelah PPP mengganti asasnya Islam dengan Pancasila dalam muktamarnya.[37]
Sejak dijadikannya Pancasila sebagai asas tunggal bagi organisasi kemasyarakatan dan organisasi politik pada masa Orde Baru, umat Islam mengalami perubahan orientasi yang pada masa itu masih tertuju pada kegiatan politik praktis melalui partai Islam. Dengan perubahan orientasi umat Islam timbul kesadaran untuk membangun segala kehidupan yang tidak terbatas pada politik saja. Umat Islam menyadari bahwa kecenderungan kehidupan kepartaian di kalangan umat berbanding terbalik dengan peningkatan atau kemajuan kehidupan umat di bidang-bidang lain, seperti ekonomi, bisnis, pendidikan, penerbitan, dan lain-lain. 
Orientasi umat seperti itu memungkinkan umat menata kehidupan sosial mereka, sehingga bisa tumbuh lebih kuat daripada sebelumnya. Walau dari segi politik umat mengalami penurunan, tetapi di luar politik umat mencapai kemajuan. Di sisi lain, Saidi menandaskan bahwa pada masa Orde Baru terdapat ketidakpercayaan terhadap politik di kalangan umat Islam sehingga dikompensasikan dengan membentuk wadah-wadah kegiatan lain, seperti pada tanggal 8 Mei 1967 berdiri Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII) dengan ketuanya M. Natsir.[38]
Kemajuan ini dapat dilihat pada pengingkatan kegiatan organisasi kemasyarakatan Islam, seperti NU dan Muhammadiyah, yang selain terus mengembangkan kegiatan yang telah lama ditekuni, seperti pendidikan, juga menjajaki kegiatan ekonomi untuk menolong kehidupan ekonomi umat dengan mendirikan Bank Perkreditan Rakyat (BPR). Perkembangan yang lebih mencolok lagi adalah hilangnya sekat-sekat yang tidak lagi membedakan antara ormas Islam dengan lahirnya lembaga-lembaga yang tidak lagi membedakan antara satu kelompok dengan kelompok lain dalam umat. Munculnya Ikatan Cendikiawan Muslim se-Indonesia (ICMI) dan pembentukan Bank Muamalat Indonesia (BMI) merupakan bukti kongkrit dari perkembangan itu.[39]
Setidaknya ada dua hal yang menyebabkan eksperimentasi Islam politik gagal. Pertama, kekuatan eksternal, yakni rezim Orde Baru yang tidak mau melihat kekuatan Islam politik tampil menjadi kekuatan politik yang dominan. Kedua, terpecahnya orientasi politik umat Islam. Di satu pihak, mereka sepakat mendorong bangkitnya partai politik Islam, sementara di pihak lain mereka – dan ini mayoritas – terpaksa mendukung kekuatan politik Orde Baru, yakni Golkar.
c.   Orde Reformasi
Seiring dengan kejatuhan Orde Baru, umat Islam memanfaatkan momentum euforia reformasi untuk menyusun kembali format perjuangan penegakan syariat Islam di jalur politik. Di antaranya adalah mencuatnya kembali cita-cita menjadikan Islam sebagai landasan berbangsa dan bernegara di Indonesia. Hal ini dimungkinkan karena asas tunggal yang diterapkan Soeharto resmi dicabut dan masyarakat berhak membuat partai sesuai ideologi mereka. Keadaan ini dimanfaatkan oleh umat Islam dengan mendirikan partai-partai Islam dengan berbagai orientasi, visi, dan misi perjuangannya.[40]
          Pada garis besarnya, partai-partai politik yang didirikan tokoh-tokoh umat Islam dewasa ini dapat diklasifikasikan ke dalam dua kelompok besar. Pertama, partai yang menjadikan Islam sebagai asas dan program formal. Kedua, partai yang mementingkan pengembangan nilai-nilai Islam daripada simbol-simbol Islam. Kedua kelompok tersebut memiliki perbedaan pendekatan dalam menangkap ajaran Islam sebagaimana keduanya mempunyai perbedaan dalam orientasi dan program. Partai politik yang mempertahankan dengan teguh simbol-simbol Islam dapat dimasukkan ke dalam kategori gerakan revivalisme, sedangkan partai politik yang lebih berorientasi pada nilai-nilai Islam bisa dikategorikan ke dalam gerakan neo-modernisme.[41]
          Untuk menemukan makna agama dalam konteks politik di era reformasi, setidaknya penelusuran terhadap tiga partai Islam, yaitu PPP, PKB, dan PAN dapat dijadikan sebagai gambaran. Bahwa agama Islam yang satu ketika dimaknai dalam konteks politik  di era reformasi memunculkan makna-makna yang beragam. PPP memaknai Islam sebagai alat pemersatu bangsa dan motivator pembangunan, sementara itu PKB lebih memaknai Islam sebagai motivator kebangkitan bangsa. Sedangkan PAN menekankan operasionalisasi nilai-nilai Islam sebagai amanat yang harus diwujudkan dalam konteks nasional.
          Mengenai posisi agama dengan politik, bagi PPP agama terintegrasikan ke dalam politik, di mana antara keduanya tidak ada pemisahan. Secara formal agama dijadikan sebagai asas partai. Di sini politik simbol relatif berlaku. Sementara itu, bagi PKB posisi agama terspesialkan dari politik. Antara keduanya terpisah tetapi masih ada koneksitas; agama tidak masuk ke dalam struktur partai, agama berfungsi sebagai landasan etika politik. Akan tetapi politik simbol sangat dominan; agama menjadi simbol dan identitas politik yang sangat efektif. Sedangkan di PAN posisi agama terpisah dengan politik, tetapi nilai-nilai agama diinternalisasikan ke dalam diri pelaku politik, kemudian diobjektivikasikan ke dalam politik praktis atau program-program partai. Di sini agama sebagai landasan etik berpolitik. Politik simbol tidak berkembang sebagaimana pada PKB dan PPP.[42]
          Bentuk-bentuk perjuangan menegakkan syariat Islam secara umum dapat disederhanakan ke dalam dua kategori. Kategori-kategori ini diterapkan berdasarkan pada gambaran praksis perjuangan penegakan syariat Islam di tanah air. Kategori pertama, perjuangan penegakan syariat Islam dengan menggunakan pendekatan formalistik. Pada pendekatan formalistik ini cenderung menginginkan hasil akhir dalam bentuk pemberlakuan syariat Islam secara formal dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Pendekatan ini memiliki konsep tentang bersatunya antara agama dan negara. Agama dan negara dalam hal ini tidak dapat dipisahkan. Islam dipahami sebagai ideologi tunggal yang paling benar, dan memiliki multifungsi dalam hal pengaturan kehidupan manusia dan masyarakat. Terdapat pemahaman bahwa Islam mengandung ajaran yang mencakup semua sendi kehidupan, baik dalam tatanan sosial, politik, maupun ekonomi.
Kategori kedua, perjuangan penegakan syariat Islam dengan menggunakan pendekatan substansialistik. Dalam pendekatan substansialistik, Islam dipahami sebagai suatu ajaran yang terwujud dalam bentuk etika, moral, dan nilai-nilai kebaikan. Berbeda dengan pendekatan formalistik, pada pendekatan substansialistik tidak mempersoalkan bagaimana bentuk negara maupun sistem politik yang diterapkan, tetapi lebih memusatkan perhatian kepada bagaimana mengisinya dengan etika dan moralitas agama. Bentuk perjuangan dengan pendekatan formalistik mengalami peningkatan, baik secara kuantitas maupun kualitas setelah digulirkannya reformasi di Indonesia.[43]
Bukti yang menunjukkan terjadinya kebangkitan politik Islam dan tumbuhnya kembali gagasan-gagasan tentang formalisasi syariat Islam di Indonesia pada era Reformasi setidaknya dapat dilihat dari empat indikator, yaitu: (1) munculnya ormas Islam pendukung gerakan formalisasi syariat Islam, (2) berdirinya partai-partai Islam, (3) adanya tuntutan pemberlakuan Piagam Jakarta dalam konstitusi, (4) munculnya gerakan penegakan syariat Islam di Daerah. Keempat indikator tersebut telah menunjukkan bahwa telah terjadi fenomena kebangkitan agama (Islam) secara formal maupun simbolik di dalam perpolitikan nasional. Perjuangan politik yang bernuansa agama itu tidak berhenti pada ekspresi secara simbolik, melainkan juga dilakukan secara formal melalui badan legislatif dengan partai politik sebagai sarananya. Misalnya, adalah munculnya beberapa organisasi kemasyarakatan (ormas) Islam lengkap dengan gerakan massanya, seperti Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), Majelis Mujahidin Indonesia (MMI), Front Pembela Islam (FPI), Forum Komunikasi Ahlussunnah Waljamaah (FKASW), Laskar Jihad, dan sebagainya. Mereka pada umumnya memiliki tujuan yang sama, yakni penerapan syariat Islam sebagai hukum positif di Indonesia.[44]
Memperhatikan perbandingan perolehan suara partai Islam dalam pemilu 1955 yaitu 45,13 % dengan pemilu tahun 1999 yaitu 18,6 %, maka dapat disimpulkan bahwa perolehan kursi dan dukungan pemilih terhadap partai partai Islam dalam pemilu demokratis tahun 1999 sangat menurun yaitu kehilangan dukungan sebesar 26,53%. Demikian pula jika dibandingkan perolehan kursi partai-partai Islam dalam pemilu 1955 sebesar 45,13% dengan gabungan partai-partai Islam dan partai-partai yang berbasis massa Islam dalam pemilu tahun 1999 sebesar 37%, juga mengalami penurunan yang signifikan yaitu sekitar 8,13 %. Kemana suara dukungan terhadap partai Islam yang hilang 8,3% tersebut? Diyakini bahwa sebagian suara untuk Islam itu masuk dalam Partai Golkar, Masih kuatnya pengaruh birokrasi yang memberikan dukungan pada Partai Golkar pada pemilu 1999 yang lalu, disamping banyak tokoh-tokoh dari keluarga Masyumi maupun NU yang masuk dalam Partai Golkar karena sistem politik yang dikembangkan oleh Orde Baru yang sangat kuat. Hal ini terlihat pada sikap moderat dari para politisi partai Golkar atas tuntutan dan pandangan yang diajukan oleh partai-partai Islam atau partai yang berbasis massa Islam.[45]

C.  Simpulan
Perjuangan penegakan Islam sebagai dasar negara melalui instrumen lembaga politik  sejak awal kemerdekaan sampai saat ini belum terwujud secara optimal. Perjuangan yang dapat dilakukan sejauh ini adalah memasukkan ajaran-ajaran Islam ke dalam hukum positif  Indonesia, misalnya perkawinan, peradilan agama, kompilasi hukum Islam, perwakafan, haji, zakat, wakaf, dan sebagainya.
Saat ini peluang bagi partai-partai Islam adalah adanya pergeseran pilihan pemilih yang sebelumnya memilih  partai yang tidak berasaskan atau berideologi Islam, serta dari para pemilih pemula. Hal itu hanya bisa dicapai dengan kemampuan konsolidasi internal dari partai-partai Islam agar dapat mengorganisir, memobilasi, merumuskan serta menyuarakan kepentingan-kepentingan ummat Islam dengan lebih baik. Jargon-jargon politik aliran dan ideologi masih layak untuk disuarakan oleh partai-partai Islam disamping menawarkan program-program yang lebih baik dan menyentuh kepentingan rakyat secara luas.





























DAFTAR BACAAN

Abd A’la. “Antara Formalisme dan Pengembangan Nilai-nilai Islam,” dalam Deliar Noer, et.al. (ed.), Mengapa Partai Islam Kalah? Perjalanan Politik Islam dari Pra-Pemilu ’99 sampai Pemilihan Presiden. Jakarta: Alvabet, 1999.

Ali, Fachry. Islam, Pancasila dan Pergulatan Politik. Jakarta: Pustaka Antara, 1984.

Daulay, Haidar Putra dan Pasa, Nurgaya. Pendidikan Islam Dalam Lintasan Sejarah: Kajian dari Zaman Pertumbuhan Sampai Kebangkitan. Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2013.

Gunawan, Hendra. M. Natsir dan Darul Islam: Studi Kasus Aceh dan Sulawesi Selatan Tahun 1953-1958. Jakarta: Media Dakwah, 2000.

Iqbal, Muhammad Iqbal dan Nasution, Amin Husein. Pemikiran Politik Islam dari Masa Klasik hingga Indonesia Kontemporer. Jakarta: Kencana, 2010.

Ismail, Faisal. Islam and Pancasila: Indonesian Politics 1945-1995. Jakarta: Badan Litbang Agama dan Diklat Keagamaan, Departemen Agama, 2001.

Katimin. Politik Islam Indonesia:Membuka Tabir Perjuangan Islam Ideologis dalam Sejarah Politik Nasional. Bandung: Citapustaka Media, 2007.

Kuntowijoyo. “Agama Berdimensi Banyak, Politik Berdimensi Tunggal,” dalam Deliar Noer, et.al. (ed.). Mengapa Partai Islam Kalah? Perjalanan Politik Islam dari Pra-Pemilu ’99 sampai Pemilihan Presiden. Jakarta: Alvabet, 1999.

M. Alfian, M.Alfan. “Eksperimentasi Islam Politik Jilid III,” dalam Deliar Noer, et.al (ed.). Mengapa Partai Islam Kalah? Perjalanan Politik Islam dari Pra-Pemilu ’99 sampai Pemilihan Presiden. Jakarta: Alvabet, 1999. 

Maarif, Ahmad Syafii. “Islam Indonesia: Pergumulan Antara Cita dan Kenyataan,” dalam M. Amien Rais (ed.). Islam di Indonesia: Suatu Ikhtiar Mengaca Diri. Jakarta: Rajawali, 1986.

Moh. Nurhakim. “Pemaknaan Agama dalam Partai Politik dalam Konteks Reformasi Studi Perbandingan PPP, PKB, dan PAN,” dalam Humanity,             vol. I, 2005.

Noer, Deliar. “Islam dan Politik,” dalam Deliar Noer, et.al. (ed.). Mengapa Partai Islam Kalah? Perjalanan Politik Islam dari Pra-Pemilu ’99 sampai Pemilihan Presiden. Jakarta: Alvabet, 1999.

Noer, Deliar. “Pengantar,” dalam Mohammad Natsir, Islam Sebagai Dasar Negara . Jakarta: Media Dakwah, 2000.

Noer, Deliar. Gerakan Moderen Islam di Indonesia 1900-1942, cet. 8. Jakarta: Pustaka LP3ES Indonesia, 1996.

Rakhmat, Jalaluddin. “Islam di Indonesia: Masalah Definisi,” dalam M. Amien Rais (ed.), Islam di Indonesia: Suatu Ikhtiar Mengaca Diri. Jakarta: Rajawali, 1986.

Saidi, Ridwan. “Dinamika Kepemimpinan Islam dalam Era Orde Baru,” dalam M. Amien Rais (ed.), Islam di Indonesia: Suatu Ikhtiar Mengaca Diri. Jakarta: Rajawali, 1986.

Setiawan, Zudi. “Dinamika Pergulatan Politik dan Pemikiran Formalisasi Syariah Pada Era Reformasi,” dalam Spektrum Jurnal Ilmu Politik Hubungan Internasional, vol. 5, 2008.

Sjadzali, Munawir. Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah, dan Pemikiran,               cet. 2. Jakarta: UI Press, 1990.

Tebba, Sudirman. Islam Orde Baru: Perubahan Politik dan Keagamaan. Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 1993.


Sumber internet:






[1]Katimin, Politik Islam Indonesia:Membuka Tabir Perjuangan Islam Ideologis dalam Sejarah Politik Nasional (Bandung: Citapustaka Media, 2007), h. 4.
[2]Deliar Noer, Gerakan Moderen Islam di Indonesia 1900-1942, cet. 8 (Jakarta: Pustaka LP3ES Indonesia, 1996), h. 5.
[3]Ibid., h. 6.
[4]Jalaluddin Rakhmat, “Islam di Indonesia: Masalah Definisi,” dalam M. Amien Rais (ed.), Islam di Indonesia: Suatu Ikhtiar Mengaca Diri (Jakarta: Rajawali, 1986), h. 42.
[5]Ahmad Syafii Maarif, “Islam Indonesia: Pergumulan Antara Cita dan Kenyataan,” dalam M. Amien Rais (ed.), Islam di Indonesia: Suatu Ikhtiar Mengaca Diri (Jakarta: Rajawali, 1986), h. 187.
[6]Faisal Ismail, Islam and Pancasila: Indonesian Politics 1945-1995 (Jakarta: Badan Litbang Agama dan Diklat Keagamaan, Departemen Agama, 2001), h. 7.
[7]Muslim Modernis merupakan kelompok yang telah mengadopsi ide-ide pembaharuan yang dibawa oleh pemikir Islam modern, seperti  Jamaluddin al-Afghani (1839-1897) dan Muhammad Abduh (1849-1905). Kelompok ini tidak mempraktikkan taklid dan ijma’ tetapi mereka lebih menekankan kepada peran ijtihad. Kehadiran kelompok ini tampak pada organisasi Syarikat Islam, Muhammadiyah, Persatuan Islam, dan Masyumi. Sementara kelompok Muslim Tradisionalis adalah kelompok yang mengikuti dan merasa memadai dengan pemikiran dan pendapat yang diformulasikan oleh ulama pada abad pertengahan. Kelompok ini mempraktikkan taklid dan ijma’ daripada ijtihad. Ibid., h. 8-24.
[8]Panitia Sembilan terdiri atas Abikusno Tjokrosujoso, A. Kahar Muzakir, Agus Salim, A. Wachid Hasjim dari golongan Nasionalis Muslim; Soekarno, Mohammad Hatta,  Muhammad Yamin, dan Ahmad Subardjo dari golongan nasionalis netral, serta A.A. Maramis dari golongan Kristen. Lihat Muhammad Iqbal dan Amin Husein Nasution, Pemikiran Politik Islam dari Masa Klasik hingga Indonesia Kontemporer (Jakarta: Kencana, 2010), h. 258.
[9]Ibid., h. 160.
[10]Hasil suara dalam Pemilu 1955 adalah Masyumi 7.789.619 suara (20,9 % atau 57 kursi), NU 6.989.333 suara (18,4 % atau 45 kursi), PSII 1.059.922 suara (2,9 % atau 8 kursi), Perti 465.359 suara (1,3 % atau 4 kursi) dan PPTI 74.913 suara (0,2 % atau 1 kursi), PNI 9.070.218 suara (22,3 % atau 57 kursi) dan PKI memperoleh 6.232.512 suara (16,4 % atau 39 kursi).M.Alfan Alfian M., “Eksperimentasi Islam Politik Jilid III,” dalam Deliar Noer, et.al (ed.), Mengapa Partai Islam Kalah? Perjalanan Politik Islam dari Pra-Pemilu ’99 sampai Pemilihan Presiden (Jakarta: Alvabet, 1999), h. 118. Era Demokrasi Liberal ditandai dengan dikeluarkannya Maklumat Pemerintah (yang kemudian terkenal dengan Maklumat X Bungg Hatta, karena ditanda tangani oleh Bung Hatta) No X pada 16 Oktober 1945 dan Malumat 3 November 1945. Maklumat X berisi tentang perubahan sistem pemerintahan Indonesia dari presidensial ke bentuk parlementer. Adapun Maklumat 3 November 1945 berisi tentang diberinya kesempatan bagi masyarakat Indonesia untuk mendirikan partai-partai guna menyalurkan aspirasi politiknya. Lihat Iqbal dan Nasution, Pemikiran Politik Islam, h. 261.
[11]Iqbal dan Nasution, Pemikiran Politik Islam, h. 264.
[12]Ibid., h. 265-267.
[13]Ibid., h. 270.
[14]Ibid., h. 273-275.
[15]Ibid., h. 276.
[16]Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah, dan Pemikiran, cet. 2 (Jakarta: UI Press, 1990), h. 201.
[17]Ibid., h. 202.
[18]Haidar Putra Daulay dan Nurgaya Pasa, Pendidikan Islam Dalam Lintasan Sejarah: Kajian dari Zaman Pertumbuhan Sampai Kebangkitan (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2013), h. 211.
[19]Iqbal dan Nasution, Pemikiran Politik Islam, h. 287.
[20]Ibid., h. 280.
[21]Ibid., h. 284.
[22]Sudirman Tebba, Islam Orde Baru: Perubahan Politik dan Keagamaan (Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 1993), h. xv.
[23]Ibid., h. 4.
[24]Ridwan Saidi, “Dinamika Kepemimpinan Islam dalam Era Orde Baru,” dalam M. Amien Rais (ed.), Islam di Indonesia: Suatu Ikhtiar Mengaca Diri (Jakarta: Rajawali, 1986), h. 125.
[25]Ibid., h. 5.
[26]Iqbal dan Nasution, Pemikiran Politik Islam, h. 299.
[27]Ibid., h. 301.
[28]Katimin, Politik Islam Indonesia, h. 6.
[29]Kuntowijoyo, “Agama Berdimensi Banyak, Politik Berdimensi Tunggal,” dalam Deliar Noer, et.al. (ed.), Mengapa Partai Islam Kalah? Perjalanan Politik Islam dari Pra-Pemilu ’99 sampai Pemilihan Presiden (Jakarta: Alvabet, 1999), h. 6.
[30]Deliar Noer, “Pengantar,” dalam Mohammad Natsir, Islam Sebagai Dasar Negara (Jakarta: Media Dakwah, 2000), h. xiv.
[31]Ibid., h. 4, 23, 60.
[32]Hendra Gunawan, M. Natsir dan Darul Islam: Studi Kasus Aceh dan Sulawesi Selatan Tahun 1953-1958 (Jakarta: Media Dakwah, 2000), h. 2.
[33]Fachry Ali, Islam, Pancasila dan Pergulatan Politik (Jakarta: Pustaka Antara, 1984),             h. 27.
[34]Deliar Noer, “Islam dan Politik,” dalam Deliar Noer, et.al. (ed.), Mengapa Partai Islam Kalah? Perjalanan Politik Islam dari Pra-Pemilu ’99 sampai Pemilihan Presiden (Jakarta: Alvabet, 1999), h. 10.
[35]Tebba, Islam Orde Baru, h. xvii.
[36]Ibid.
[37]Ibid., h. 23.
[38]Ridwan Saidi, “Dinamika Kepemimpinan Islam dalam Era Orde Baru,” dalam M. Amien Rais (ed.), Islam di Indonesia: Suatu Ikhtiar Mengaca Diri (Jakarta: Rajawali, 1986), h. 134.
[39]Tebba, Islam Orde Baru, h. 27.
[40]Iqbal dan Nasution, Pemikiran Politik Islam, h. 286.
[41]Abd A’la, “Antara Formalisme dan Pengembangan Nilai-nilai Islam,” dalam Deliar Noer, et.al. (ed.), Mengapa Partai Islam Kalah? Perjalanan Politik Islam dari Pra-Pemilu ’99 sampai Pemilihan Presiden (Jakarta: Alvabet, 1999), h. 18-20.

[42]Moh. Nurhakim, “Pemaknaan Agama dalam Partai Politik dalam Konteks Reformasi Studi Perbandingan PPP, PKB, dan PAN,” dalam Humanity, vol. I, h. 61.
[43]Zudi Setiawan, “Dinamika Pergulatan Politik dan Pemikiran Formalisasi Syariah Pada Era Reformasi,” dalam Spektrum Jurnal Ilmu Politik Hubungan Internasional, vol. 5, h. 2.
[44]Ibid., h. 6.