Minggu, 11 November 2012

SEJARAH ISLAM NUSANTARA

 


MASUK DAN BERKEMBANGNYA ISLAM DI INDONESIA
(Analisis tentang Teori-Teori yang Ada) 


Oleh: Ahmad Abrar Rangkuti, M.A.
Dosen Pembimbing: Prof. Dr. Haidar Putra Daulay, M.A.


A.    Pendahuluan

            Berbicara tentang pendidikan Islam di Indonesia sangatlah erat hubungannya dengan kedatangan Islam itu sendiri ke Indonesia. Dalam konteks ini Mahmud Yunus mengatakan bahwa sejarah pendidikan Islam sama tuanya dengan masuknya agama tersebut ke Indonesia.[1] Kendatipun pendidikan Islam dimulai sejak pertama Islam itu sendiri menancapkan dirinya di kepulauan Nusantara, namun secara pasti tidak dapat diketahui bagaimana cara pendidikan pada masa permulaan Islam di Indonesia, seperti tentang buku yang dipakai, pengelola dan sistem pendidikan. Ini disebabkan karena bahan-bahan yang terbatas. Yang dapat dipastikan, pendidikan Islam pada waktu itu telah ada, tetapi dalam bentuk yang sangat sederhana.
            Perjalanan sejarah pendidikan Islam di Indonesia hingga saat sekarang ini telah melalui tiga periodesasi. Pertama, periode awal sejak kedatangan Islam ke Indonesia sampai masuknya ide-ide pembaruan pemikiran Islam awal abad kedua puluh. Periode kedua, periode ini telah dimasuki oleh ide-ide pembaruan pemikiran Islam pada awal abad kedua puluh. Ketiga, pendidikan Islam telah terintegrasi ke dalam sistem pendidikan nasional sejak lahirnya Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1989 dilanjutkan pula dengan Undang-Undang No. 20 Tahun 2003.[2] 
            Pembahasan pada makalah ini berada pada perjalanan masuk dan berkembangnya Islam di Indonesia. Hal ini berarti pembahasan berada pada periode pertama dari perjalanan sejarah pendidikan Islam di Indonesia. Makalah ini akan membahas proses masuk dan berkembangnya Islam di Indonesia, dan analisis teori-teori tentang masuknya Islam di Indonesia.
B.     Pembahasan
1.      Teori-Teori Masuknya Islam di Indonesia dan Analisisnya
            Sejauh menyangkut kedatangan Islam di Nusantara, terdapat diskusi dan perdebatan panjang di antara para ahli mengenai tiga masalah pokok: tempat asal kedatangan Islam, para pembawanya, dan waktu kedatangannya. Berbagai teori dan pembahasan yang berusah menjawab ketiga masalah pokok ini jelas belum tuntas, tidak hanya kurangnya data yang dapat mendukung suatu teori tertentu, tetapi juga karena sifat sepihak dari berbagai teori yang ada.
            Para ahli sejarah berbeda pendapat tentang di mana dan kapan masuknya Islam ke Indonesia. Tentang masanya, ada yang mengatakan pada abad pertama Hijriah, kedua Hijriah, dan sebagainya. Mengenai di mana, para ahli sepakat yaitu di pesisir Sumatera bagian Utara, hanya perbedaannya, ada yang mengatakan di Perlak atau Pase; ada yang mengatakan di Aceh Besar atau di Jaya dan ada pula yang mengatakan di Barus.[3]
            Terdapat kecenderungan kuat, suatu teori tertentu menekankan hanya aspek-aspek khusus dari ketiga masalah pokok, sementara mengabaikan aspek-aspek lainnya. Karena itu kebanyakan teori yang ada dalam segi-segi tertentu gagal menjelaskan kedatangan Islam, konversi agama yang terjadi, dan proses-proses Islamisasi yang terlibat di dalamnya.[4]
            Melacak sejarah masuknya Islam ke Indonesia bukanlah urusan yang mudah. Tidak banyak jejak yang bisa dilacak. Ada beberapa teori yang hingga kini masih sering dibahas, baik oleh sarjana-sarjana Barat maupun kalangan intelektual Islam sendiri. Ada tiga teori yang menjelaskan kedatangan Islam ke Indonesia.
             
            Pada umumnya teori-teori itu dikaitkan dengan jalur pelayaran dan perdagangan antara Dunia Arab dengan Asia Timur. Pulau Sumatera misalnya, karena letak geografisnya, sejak awal abad pertama Masehi telah menjadi tumpuan perdagangan antarbangsa dan pedagang-pedagang yang datang ke Sumatera.[5]  Pada awalnya para pedagang yang datang ke Nusantara merangkap tugas sebagai mubaligh. Tapi karena berdagang bukan merupakan tugas pokok mereka, lalu kemudian datanglah ornag-orang dari Hadramawt, Yaman, sebagai ustad, yang menetap di Nusantara. Berdagang bukanlah pekerjaan terus menerus pada masa itu.[6]
a)      Teori Anak Benua India
            Sejumlah sarjana, kebanyakan asal Belanda, memegang teori bahwa asal mula Islam di Nusantara adalah Anak Benua India, bukannya Persia atau Arab. Teori ini salah satunya diusung oleh Snouck Hurgronje yang mengatakan Islam masuk ke Indonesia dari wilayah-wilayah anak benua India. Dalam L’arabie et les Indes Neerlandaises, Snouck mengatakan teori tersebut didasarkan pada pengamatan tidak terlihatnya peran dan nilai-nilai Arab yang ada dalam Islam pada masa-masa awal, yakni pada abad ke-12 atau 13. Snouck juga mengatakan teorinya didukung dengan hubungan yang sudah terjalin lama antara wilayah Nusantara dengan daratan India.[7]
            Sebetulnya, teori ini dimunculkan pertama kali oleh Pijnappel, seorang sarjana dari Universitas Leiden. Dia mengatakan bahwa asal mula Islam di Nusantara adalah dari wilayah Gujarat dan Malabar. Menurut dia, adalah orang-orang Arab bermazhab Syafi’i yang bermigrasi dan menetap di wilayah India tersebut yang kemudian membawa Islam ke Nusantara.[8]
            Namun, nama Snouck Hurgronje yang paling besar memasarkan teori Gujarat ini. Salah satu alasannya adalah karena Snouck dipandang sebagai sosok yang mendalami Islam. Teori ini diikuti dan dikembangkan oleh banyak sarjana Barat lainnya.[9]
            Alasan lain adalah bahwa Snouck Hurgronje yang berhujjah bahwa begitu Islam berpijak kokoh di beberapa kota pelabuhan Anak Benua India, Muslim Deccan–banyak di antara mereka tinggal di sana sebagai pedagang perantara dalam perdagangan Timur Tengah dan Nusantara–datang ke dunia Melayu–Indonesia sebagai para penyebar Islam pertama. Baru kemudian mereka disusul orang-orang Arab–kebanyakan keturunan Nabi Muhammad saw. karena menggunakan gelar sayyid  atau syarif–yang menyelesaikan penyebaran Islam di Nusantara. Orang-orang Arab ini muncul di Nusantara baik sebagai “pendeta” (priests) maupun sebagai “pendeta-penguasa” (priest-princes) atau sultan. Snouck Hurgronje tidak menyebut secara eksplisit dari wilayah mana di India Selatan yang dia pandang sebagai asal Islam di Nusantara. Tetapi ia menyebut abad ke-12 sebagai periode paling mungkin dari permulaan penyebaran Islam di Nusantara. [10]
            Moquette, seorang sarjana Belanda lainnya, berkesimpulan bahwa tempat asal Islam di Nusantara adalah Gujarat. Ia mendasarkan kesimpulan ini setelah mengamati bentuk batu nisan di Pasai, kawasan utara Sumatera, khususnya yang bertanggal 17 Zulhijjah 831 H/27 September 1428. Batu nisan yang kelihatannya mirip dengan batu nisan lain ditemukan di makam Maulana Malik Ibrahim (w. 822/1419) di Gresik, Jawa Timur ternyata sama bentuknya dengan batu nisan yang terdapat di Cambay, Gujarat. Berdasarkan contoh-contoh batu nisan ini ia berkesimpulan bahwa batu nisan di Gujarat bukan hanya dihasilkan untuk pasar lokal, tetapi juga untuk diimpor ke kawasan lain, termasuk Sumatera dan Jawa. Selanjutnya dengan mengimpor batu nisan dari Gujarat, orang-orang Nusantara juga mengambil Islam dari sana.[11]
           Analisa teori Islam berasal dari India dipahami bahwa para pedagang yang berasal dari Arab berhenti di India. India sebagai jalur perdagangan yang menghubungkan Arab dan Nusantara merupakan jalur yang logis dilalui sebagai lintasan perdagangan. Pada awalnya orang-orang Arab yang singgah di India bertujuan untuk mempersiapkan perbekalan untuk melakukan perjalanan ke tujuan berikutnya. Akan tetapi, mereka menetap di India untuk beberapa waktu yang relatif lama. Selain karena menetap, di India dikenal sebagai tempat yang memiliki barang dagang untuk dibawa ke berbagai tempat.
            Orang-orang Arab di India melakukan pengislaman hingga akhirnya Islam menjadi kuat di India. Dan orang-orang India yang telah diislamkan oleh orang-orang Arab inilah yang kemudian datang ke Nusantara untuk berdagang dan menyebarkan misi atau dakwah Islam. Bukan orang-orang Arab yang sudah menetap di India yang datang ke Nusantara membawa misi atau dakwah Islam.
b)      Teori Benggali
            Kesimpulan-kesimpulan Moquette tersebut di atas ditentang keras oleh Fatimi yang berargumen bahwa keliru mengaitkan seluruh batu nisan di Pasai, termasuk batu nisan Malik as-Saleh, dengan batu nisan di Gujarat. Menurut penelitiannya, bentuk dan gaya batu nisan Malik as-Saleh berbeda sepenuhnya dengan batu nisan yang terdapat di Gujarat dan batu-batu nisan lain yang ditemukan di Nusantara. Fatimi berpendapat, bentuk dan gaya batu nisan itu justru mirip dengan batu nisan yang terdapat di Bengal. Karena itu, seluruh batu nisan itu pastilah didatangkan  dari daerah ini. Ini menjadi alasan utamanya untuk menyimpulkan bahwa Islam datang ke Nusantara adalah dari wilayah Bengal. Dalam kaitannya dengan “teori batu nisan” ini, Fatimi mengritik para ahli yang kelihatannya mengabaikan batu nisan Siti Fatimah (bertanggal 475/1082) yang ditemukan di Leran, Jawa Timur.[12]
            Teori bahwa Islam berasal dari Benggali tentu saja bisa dipersoalkan lebih lanjut termasuk, misalnya, berkenaan dengan adanya perbedaan mazhab yang dianut kaum Muslim Nusantara (mazhab Syafi’i) dan mazhab yang dianut oleh kaum Muslim Benggali (mazhab Hanafi). Tetapi terlepas dari masalah ini, teori Fatimi yang dikemukakannya dengan begitu bersemangat gagal meruntuhkan teori Moquette, karena sejumlah sarjan lain telah mengambil alih kesimpulannya; dan yang paling terkenal di antara mereka ini adalah R.A. Kern, R.O. Winstedt, G.H. Bousquet, B.H.M. Vlekke, J. Gonda, B.J.O Schrieke, dan D.G.E. Hall.[13]
            Para sarjana di atas memberikan argumen tambahan untuk mendukung kesimpulan Moquette. Winstedt misalnya mengemukakan tentang penemuan batu nisan yang mirip bentuk dan gayanya di Bruas, pusat sebuah kerajaan kuno Melayu di Perak, Semenanjung Malaya. Ia berhujjah, karena seluruh batu nisan di Bruas, Pasai, dan Gresik didatangkan dari Gujarat, maka Islam juga pastilah diimpor dari sana. Ia juga mencatat, Sejarah Melayu mengandung beberapa bukti yang membenarkan hal ini; antara lain disebutkan kebiasaan di beberapa wilayah di Nusantara mengimpor batu nisan di Gujarat. Schrieke juga menyokong teori ini dengan menekankan peran penting yang dimainkan para pedagang Muslim di Gujarat dalam perdagangan di Nusantara dan kemungkinan andil besar mereka dalam penyebaran Islam.
            Jika dianalisis, teori Islam berasal dari Benggali merupakan suatu teori yang tidak logis. Hal ini didasarkan dari jalur pelayaran yang tidak mainstream ditempuh oleh para pedagang. Selain itu juga, daerah Benggali dikenal sebagai daerah  yang tidak banyak barang dagang di sana.
c)      Teori Arab
            Dalam kaitan ini, menarik disinggung bahwa kitab ‘Ajaib al-Hind, salah satu sumber Timur Tengah (aslinya berbahasa Persia) paling awal tentang Nusantara, mengisyaratkan tentang eksistensi komunitas Muslim lokal di wilayah kerajaan Hindu-Budha Zabaj (Sriwijaya). Kitab yang ditulis oleh Buzurg bin Shahriyar ar-Ramahurmuzi  sekitar tahun 390/1000 ini meriwayatkan tentang kunjungan para pedagang Muslim ke kerajaan Zabaj. Para pedagang Muslim ini menyaksikan kebiasaan di kerajaan itu, bahwa setiap orang Muslim—baik pendatang maupun penduduk lokal—yang ingin menghadap raja harus “bersila” (برسيلا). Kata “bersila” yang digunakan kitab ‘Ajaib al-Hind pastilah salah satu di antara sedikit kata Melayu yang pernah digunakan dalam teks Timur Tengah. Terlepas dari soal bahasa ini, kewajiban bersila yang disebutkan juga berlaku bagi penduduk Muslim lokal, mengisyaratkan telah terdapatnya sejumlah penganut Islam dari kalangan penduduk asli kerajaan Zabaj. Sayang teks ini tidak memberi informasi tentang apakah penduduk asli ini diislamkan oleh para pedagang Arab tersebut. Yang jelas, kebiasaan bersila tersebut kemudian dihapuskan oleh raja Sriwijaya setelah pedagang Oman memprotes bahwa tradisi itu tidak sesuai dengan kerajaan Islam.[14]
            Teori bahwa Islam juga dibawa langsung dari Arabia dipegang pula oleh Crawfurd, walaupun ia menyarankan bahwa interaksi penduduk Nusantara dengan kaum Muslim yang berasal dari pantai timur India juga merupakan faktor penting dalam penyebaran Islam di Nusantara. Sementara itu, Keijer memandang Islam di Nusantara berasal dari Mesir atas dasar petimbangan kesamaan kepemelukan penduduk Muslim di kedua wilayah kepada mazhab Syafi’i. Teori Arab ini juga dipegang oleh Niemann dan de Hollander dengan sedikit revisi; mereka memandang bukan Mesir sebagai sumber Islam di Nusantara, melainkan Hadhramawt. Sebagian ahli Indonesia setuju dengan “teori Arab” ini. Dalam seminar yang diselenggarakan pada 1969 dan 1978 tentang kedatangan Islam ke Indonesia mereka menyimpulkan, Islam datang langsung dari Arabia, tidak dari India, tidak pada abad ke-12 atau ke-13 melainkan dalam abad pertama Hijriah atau abad ke-7 Masehi.[15]
            Seminar Sejarah Masuknya Islam ke Indonesia yang berlangsung di Medan mulai tanggal 17 s/d 20 Maret 1963, antara lain menyimpulkan:
a.       Bahwa menurut sumber-sumber yang kita ketahui, Islam untuk pertama kalinya masuk ke Indonesia pada abad pertama Hijriah (abad ketujuh – kedelapan Masehi) dan langsung dari Arab.
b.      Bahwa daerah yang pertama didatangi oleh Islam adalah pesisir Sumatera dan bahwa setelah terbentuknya masyarakat Islam, maka Raja Islam yang pertama berada di Aceh.
c.       Bahwa dalam proses pengislaman selanjutnya, orang-orang Indonesia ikut aktif mengambil bagian.
d.      Bahwa mubaligh-mubaligh Islam yang lama itu selain sebagai penyiar agama, juga sebagai saudagar.
e.       Bahwa penyiaran itu di Indonesia dilakukan dengan cara damai.
f.       Bahwa kedatangan Islam itu ke Indonesia membawa kecerdasan dan peradaban yang tinggi dalam membentuk kepribadian bangsa Indonesia.[16]
           
            Seminar Medan tersebut dilanjutkan dengan seminar di Banda Aceh tahun 1978, menegaskan bahwa kerajaan Islam pertama adalah Perlak, Lamuri, Pasai. Munculnya tesis baru ini, yakni Islam telah masuk ke Indonesia pada abad pertama Hijriah sekitar abad ke-7 dan 8 Masehi merupakan pembetulan dari pendapat yang berkembang sebelumnya  yang dipelopori oleh para orientalis tentang masuknya Islam ke Indonesia.[17]
            Gerini, seorang sejarawan, menyatakan bahwa orang Islam yang pertama kali mengunjungi Indonesia amat boleh jadi adalah saudagar Arab dalam abad    ke-7 yang singgah di Sumatera ketika mengadakan perjalanan menuju Cina. Juned Parinduri berpendapat bahwa di Barus Tapanuli didapatkan sebuah makam yang berangka tahun Haa-Miim yang berarti tahun 48 H atau 670 M, dengan demikian agama Islam sudah masuk di Barus Tapanuli Sumatera Utara pada tahun 670 M.[18] Pendapat Juned Parinduri ini masih membutuhkan interpretasi lebih lanjut mengenai pembacaan Haa-Miim yang diterjemahkan menjadi tahun 48 H. Sampai saat ini belum ditemukan dasar yang kuat dari alasan penterjemahan Haa-Miim menjadi tahun 48 H.
            Salah satu pembela  tergigih “teori Arab”, Naqiub al-Attas, berpendapat bahwa batu-batu nisan itu dibawa dari India semata-mata karena jaraknya yang paling dekat dibandingkan dengan Arabia. Ia memandang bukti paling penting yang perlu dikaji ketika membahas kedatangan Islam ke Nusantara adalah karakteristik internal Islam di Dunia Melayu-Indonesia itu sendiri. Ia mengajukan apa yang disebutnya “teori umum tentang Islamisasi Nusantara”, yang harus didasarkan pada sejarah literatur Islam Melayu-Indonesia dan sejarah pandangan-dunia Melayu seperti terlihat dalam perubahan konsep-konsep dan istilah-istilah kunci dalam literatur Melayu-Indonesia pada abad ke-10-11/16-17.[19]
            Setelah mempertimbangkan perubahan-perubahan utama dalam pandangan dunia rakyat di Nusantara yang disebabkan kedatangan Islam, al-Attas menyimpulkan, sebelum abad ke-17 seluruh literatur keagamaan Islam yang relevan tidak mencatat satu pengarang Muslim India, atau karya yang berasal dari India. Pengarang-pengarang yang dipandang kebanyakan sarjana Barat sebagai berasal dari “India” atau menghasilkan “karya Muslim India” terbukti berasal dari Arab atau Persia, dan bahkan apa yang disebut sebagai berasal dari Persia pada akhirnya berasal dari Arab, baik secara etnis maupun kultural. Nama-nama dan gelar-gelar para pembawa pertama Islam ke Nusantara menunjukkan bahwa mereka adalah orang-orang Arab atau Arab-Persia.[20]
            Argumen Naquib al-Attas ini selaras dengan apa yang diceritakan oleh historiografi lokal tentang Islamisasi di dunia Nusantara. Mempertimbangkan riwayat-riwayat yang dikemukakan historiografi Nusantara ini, diambil empat tema pokok. Pertama, Islam dibawa langsung dari Arabia. Kedua, Islam diperkenalkan oleh para guru dan penyiar “profesional” – yakni mereka yang memang khusus bermaksud menyebarkan Islam. Ketiga, yang mula-mula masuk Islam adalah para penguasa. Keempat, kebanyakan para penyebar Islam “profesional” ini datang ke Nusantara pada abad ke-12 dan ke-13. Mempertimbangkan tema terakhir ini, mungkin benar bahwa Islam sudah diperkenalkan ke dan ada di Nusantara pada abad-abad pertama Hijriah, sebagaimana dikemukakan Arnold[21] dan dipegangi banyak sarjana Indonesia-Malaysia, tetapi hanyalah setelah abad ke-12 pengaruh Islam kelihatan lebih nyata. Karena itu, proses Islamisasi nampaknya mengalami akselerasi antara abad ke-12 dan ke-16.[22]

d)     Teori Persia
            Tanah Persia disebut-sebut sebagai tempat awal Islam datang di Nusantara. Teori ini berdasarkan kesamaan budaya yang dimiliki oleh beberapa kelompok masyarakat Islam dengan penduduk Persia. Misalnya saja tentang peringatan 10 Muharram yang dijadikan sebagai hari peringatan wafatnya Hasan dan Husein, cucu Rasulullah. Selain itu, di beberapa tempat di Sumatera Barat ada pula tradisi Tabut, yang berarti keranda, juga untuk memperingati Hasan dan Husein. Ada pula pendukung lain dari teori ini yakni beberapa serapa bahasa yang diyakini datang dari Iran. Misalnya jabar dari zabar, jer dari ze-er dan beberapa yang lainnya. Teori ini meyakini Islam masuk ke wilayah Nusantara pada abad ke-13. Adapun wilayah pertama yang dijamah adalah Samudera Pasai.[23]
            Teori Parsi merupakan teori yang logis dari segi jalur, tetapi yang perlu digarisbawahi adalah adakah kontak dagang Nusantara dengan orang Parsi. Kemungkinannya adalah adanya ornag-orang Syiah yang lari hingga ke Nusantara dikarenakan adanya pertentangan di negeri mereka.  Tetapi interpretasi ini masih butuh argumen yang kuat.  Mazhab Syiah tidak berkembang di Nusantara. kecuali di Pariaman, Bengkulu.




2.      Proses Masuk dan Berkembangnya Islam di Indonesia
            Masuknya Islam ke Indonesia agak unik bila dibandingkan dengan masuknya Islam ke daerah-daerah lain. Keunikan terlihat pada proses masuknya Islam ke Indonesia yang relatif berbeda dengan daerah lain. Islam masuk ke Indonesia secara damai dibawa oleh para pedagang dan mubaligh. Sedangkan Islam yang masuk ke daerah lain pada umumnya banyak lewat penaklukan, seperti masuknya Islam ke Irak, Iran (Parsi), Mesir, Afrika Utara sampai ke Andalusia.[24]
            Muhammad Naimar, ilmuwan asal India mengatakan dalam salah satu ceramahnya bahwa bukti-bukti tangan pertama tentang bagaimana sesungguhnya Islam di pulau-pulau ini tidak mungkin diperoleh, tetapi bukti-bukti yang berasal dari luar cukup menunjukkan bahwa pengislaman di daerah ini telah terjadi sejak waktu permulaan Islam, malahan mungkin ketika Nabi saw. masih hidup, sebagaimana halnya di India Selatan.[25]
            Dari sekian perkiraan mengenai waktu masuknya Islam ke Indonesia, kebanyakan menetapkan bahwa kontak Indonesia dengan Islam sudah terjadi sejak abad ke-7 Masehi. Ada yang mengatakan bahwa Islam pertama kali masuk ke Indonesia di Jawa, dan ada yang mengatakan di Barus. Ada yang berpendapat bahwa Islam masuk ke Indonesia melalui pesisir Sumatera. Para saudagar muslim asal Arab, Persia, dan India ada yang sampai di kepulauan Indonesia untuk berdagang sejak abad ke-7 Masehi yang berlayar ke Asia Timur melalui Selat Malaka[26] singgah di pantai Sumatera Utara untuk mempersiapkan air minum, makanan, dan perbekalan lainnya. Mereka yang singgah di pesisir Sumatera Utara membentuk masyarakat muslim dan mereka menyebarkan Islam sambil berdagang. Pada perkembangan berikutnya terjalinlah hubungan perkawinan dengan penduduk pribumi atau menyebarkan Islam sambil berdagang.[27]
            Untuk selanjutnya kontak Islam juga terjadi di berbagai pulau di Indonesia. Islam mulai menyentuh daerah-daerah lainnya seiring dengan tujuan perdagangan atau semata-mata karena pengajaran agama Islam. Pengenalan Islam di berbagai daerah Indonesia tidak terjadi dalam waktu serentak dan berdekatan tetapi dalam waktu yang berbeda-beda dan mencapai masa yang panjang.[28] Keadaan ini terjadi karena keadaan politik dan sosial budaya daerah-daerah ketika didatangi Islam juga berlainan.[29]   
            Kontak Islam dengan Aceh pada abad ke-7 Masehi begitu pula dengan Palembang. Di Jawa Islam hadir sekitar abad ke-11 Masehi. Itu pun baru dikenal di daerah Jawa bagian utara Jawa Timur, yang selanjutnya disebarkan ke Jawa Barat sekitar abad ke-16 Masehi, yaitu berkaitan dengan pengiriman tentara kerajaan Demak ke Cirebon, Jayakarta, dan beberapa wilayah kerajaan Pajajaran yang berkaitan dengan perluasan wilayah perdangangan dan perluasan pengaruh kekuasaan.[30]
            Menurut beberapa sumber sejarah dijelaskan bahwa Selat Malaka sebagai rute perdagangan yang telah lama dikenal, sebagai salah satu jalur perdagangan dari dunia Timur ke dunia Barat di samping jalan darat. Pada sekitar abad ke-7 dan ke-8 saat Kerajaan Sriwijaya mengembangkan kekuasaannya, selat Malaka sudah mulai dilalui oleh pedagang-pedagang Muslim dalam pelayarannya ke negeri-negeri di Asia Tenggara dan Asia Timur. Berdasarkan berita Cina zaman Tang, pada abad-abad tersebut diduga bahwa masyarakat Muslim telah ada, baik di Kanfu (Kanton) maupun di Sumatera.
            Di saat Umar bin Khattab memegang pemerintahan sebagai khalifah kedua, Islam sudah mampu menembus dan masuk secara potensial di Syam Palestina, Mesir dan Irak. Pada zaman Usman bin Affan, Islam telah menyebar lebih jauh lagi, bahkan hanya dalam waktu kurang dari 30 tahun atau tepatnya tahun 29 Hijriah, Islam sudah sampai di Tiongkok Cina, yaitu dengan adanya utusan Arab ke Cina pada tahun 651 M. Jelasnya bahwa dalam kurun waktu kurang dari satu abad dari kelahirannya, Islam telah tersebar jauh sampai ke Tiongkok, ke Afrika bagian Utara, ke Asia Kecil, dan ke Asia bagian Utara.[31]
            Kenyataan tersebut apalagi kita hubungkan dengan sejarah masuknya Islam di Tiongkok-Cina yaitu pada masa khalifah Usman bin Affan yang pada waktu itu di Cina sedang berkuasa Dinasti Tang dan pedagang Islam bangsa Cina sendiri sudah dominan di daerah Kanton pada abad ke-2 Hijriah atau 8 Masehi serta para ulama Islam bangsa Tiongkok pada waktu itu sudah ada yang menjadi khatib dan Imam Jumat, maka tidak mustahil jika pada abad ke-7 sudah ada orang Islam yang masuk ke Indonesia, mengingat letak geografis Indonesia sangat strategis, berada di tengah perjalanan antara Timur Tengah dengan Tiongkok sudah berjalan ramai sejak berabad-abad sebelum datangnya agama Islam.[32]
            Mengenai siapa yang memperkenalkan Islam di Indonesia terdapat dua pendapat. Ada yang mengatakan bahwa Islam dibawa ke Indonesia oleh para pedagang, dan ada yang mengatakan bahwa kekuasaan (konversi) keraton sangat berpengaruh bagi pengislaman di Indonesia. Masuknya Islam penguasa akan diikuti oleh rakyatnya secara cepat. Dapat dikatakan bahwa Islam pada mulanya diperkenalkan oleh para pedagang muslim yang melakukan kontak dagang dengan penduduk setempat untuk memluk Islam. Pada masa awal, saudagar-saudagar muslim dikenal cukup mendominasi perdagangan di Indonesia. Saudagar muslim itu mampu memperkenalkan nilai-nilai Islam terutama ketentuan-ketentuan hukum Islam mengenai perdagangan yang memberikan keuntungan ekonomi secara maksimal, sekaligus mereka membatasi adanya pilihan terhadap agama-agama lain.  Ada yang mengatakan bahwa ulama memiliki peranan yang dasar bagi penyebaran Islam di Indonesia. Para pedagang muslim datang ke Indonesia untuk berdagang dan mengumpulkan kekayaan, setelah mereka menetap maka datanglah guru-guru (ulama) yang bertujuan menyebarkan dan mengajarkan Islam.[33]
            Kehadiran pedagang-pedagang muslim melahirkan fenomena kota-kota perdagangan sebagai pusat ekonomi, yang pada akhirnya mendukung kegiatan perdagangan yang maju memungkinkan terselenggaranya pengajaran Islam dan pembangunan lembaga-lembaga pendidikan Islam sehingga menciptakan kehidupan agama yang dinamis. Dengan adanya dinamika umat Islam di perkotaan akhirnya mampu memperkuat penetrasi Islam sampai ke pelosok tanah air.[34]
            Sejalan dengan penjelasan di atas  bahwa di Medan pada tahun 1963, dan di Kuala Simpang Aceh pada tahun 1980, telah dilaksanakan seminar tentang masuknya Islam ke Indonesia. Kedua seminar tersebut sepakat menyatakan bahwa Islam telah masuk ke Indonesia pada abad pertama Hijriah langsung dari Arab. Ini adalah inti pokok dari hasil seminar Medan yang terpenting. Daerah yang pertama kali dimasuki oleh Islam adalah pesisir Sumatera, sedangkan kerajaan Islam yang pertama berdiri adalah di Aceh. Penyiaran Islam dilakukan secara damai oleh pedagang. Kedatangan Islam ke Indonesia adalah membawa kecerdasan dan peradaban yang tinggi. Seminar Medan tersebut dilanjutkan dengan seminar di Banda Aceh tahun 1978, menegaskan bahwa kerajaan Islam pertama adalah Perlak, Lamuri, Pasai.[35]
            Munculnya tesis baru ini, yakni Islam telah masuk ke Indonesia pada abad pertama Hijriah sekitab abad ke-7 dan 8 Masehi adalah merupakan pembetulan dari pendapat yang berkembang sebelumnya yang dipelopori oleh para orientalis tentang masuknya Islam ke Indonesia. Satu hal yang dapat dikemukakan bahwa masuknya Islam ke Indonesia tidak bersamaan, ada daerah-daerah yang sejak dini telah dimasuki oleh Islam, disamping ada daerah yang terbelakang dimasuki Islam. Berkenaan dengan ini telah disepakati bahwa Islam pertama kali masuk ke Indonesia adalah di Sumatera. Sedangkan Islam masuk ke Jawa diduga kuat berdasarkan batu nisan kubur Fatimah binti Maimun di Leran (Gresik) yang berangka tahun 475 H (1082 M).  Situasi politik mempercepat penyebaran Islam di Jawa, pada saat melemahnya Majapahit karena perpecahan. Bupati-bupati pesisir merasa bebas dari pengaruh kekuasaan Raja Majapahit. Melalui bupati-bupati pesisir yang memeluk Islam, agama menjadi kekuatan baru dalam proses perkembangan masyarakat.[36]
            Kedatangan Islam di belahan Indonesia bagian Timur ke Maluku juga tidak dapat dipisahkan dari kegiatan perdagangan. Islam masuk ke daerah ini diperkirakan pada abad ke-14 Masehi. Di Kalimantan khususnya di daerah Banjarmasin proses Islamisasi di daerah ini terjadi kira-kira tahun 1550. Adapun di Sulawesi terutama di bagian selatan telah didatangi oleh pedagang Muslim pada abad ke-15 M. Menurut Tome Pires pada abad ke-16 di daerah Gowa telah terdapat pedagang Muslim dan orang Portugis, yang telah melakukan hubungan dagang dengan Gowa.[37]
            Terbentuknya masyarakat Muslim di suatu tempat adalah melalui proses yang panjang, yang dimulai dari terbentuknya pribadi-pribadi Muslim sebagai hasil dari upaya para da’i. Masyarakat Muslim tersebut selanjutnya menumbuhkan kerajaan Islam. Tercatatlah sejumlah kerajaan Islam di Nusantara, seperti Kerajaan Perlak, Pasai, Aceh Darussalam, Banten, Demak, Mataram, dan lain sebagainya.
            Dengan terbentuknya komunitas Muslim pada beberapa daerah di Indonesia ini, mendorong untuk membentuk kerajaan Islam. Berdirilah Kerajaan Islam, Pasai, Perlak di Aceh. Di Jawa berdiri  Kerajaan Demak, Pajang, Mataram. Di Sulawesi berdiri Kerajaan Gowa, Tallo dan Bone. Sedangkan di Maluku berdiri Kerajaan Ternate dan Tidore. Dengan berdirinya kerajaan Islam di Nusantara ini, maka fase perkembangan Islam berikutnya adalah fase perkembangan Islam dan politik. Pengertiannya, perkembangan Islam di Indonesia tidak bisa dilepaskan dari perkembangan politik.[38]
            Hasjmy, sebagaimana dikutip oleh Daulay, menjelaskan bahwa kerajaan Islam tertua adalah Perlak yang berdiri pada 1 Muharram 225 (840 M) dengan rajanya yang pertama adalah Sultan Alaiddin Saiyid Maulana Abdul Aziz Syah. Hasjmy melandasi pendapatnya itu berdasarkan naskah-naskah kuno, yakni kitab Idharul Haqq karangan Abu Ishak Makarani al-Fasy, dan kitab Tazkirah Jumu Sulthan as-Salathin karangan Syekh Syamsul Bahri al-Asyi dan kitab silsilah raja-raja Perlak dan Pasai.[39]
            Di bagian lain, yakni di Malaka, muncul pula kekuasaan kerajaan Islam Malaka. Malaka pada masa itu tidak hanya sebagai pusat perdagangan Muslim dan pusat kekuatan politik di Selat Malaka, tetapi juga sebagai pusat penyiaran Islam. Para mubaligh berdatangan ke Malaka dan dari Malaka pula tersebar Mubaligh ke berbagai penjuru di Nusantara ini.
            Tumbuhnya pusat-pusat Islam di Nusantara ini jelas sangat berpengaruh sekali bagi proses Islamisasi di Indonesia. Kekuatan politik[40] digabungkan dengan semangat para mubaligh untuk mengajarkan Islam merupakan dua sayap kembar yang mempercepat tersebarnya Islam ke berbagai wilayah di Indonesia.[41]
            Penyebaran Islam melalui metode kekuasaan mempunyai peranan penting bagi perluasan Islam di Indonesia. Beralihnya agama penguasa menjadi muslim akan diikuti oleh rakyat dan pendukungnya secara cepat. Islamnya penguasa dapat mempengaruhi  penguasa-penguasa lainnya untuk memeluk Islam sehingga Islam berkembang dengan cepat. Setelah berdirinya kerajaan Islam, biasanya sang penguasa mempelopori berbagai kegiatan keagamaan, mulai dari dakwah Islam, pembangunan masjid, sampai penyelengaraan pendidikan Islam. Perhatian raja-raja muslim terhadap pendidikan Islam menjadikan pendidikan Islam berkembang maju yang dapat menawarkan pelayanan pengajaran bagi keagamaan maupun kemajuan intelektual Islam di Indonesia.[42]
            Ulama-ulama yang dipilih oleh penguasa sebagai pengajar dan pemuka agama berhasil mendidik murid-muridnya yang datang dari berbagai daerah  di Indonesia. Murid-murid tersebut terus menyebarkan  Islam dan mengajarkan ilmu mereka setelah pulang ke daerah masing-masing. Jadi kegiatan perluasan Islam sejak awal telah memiliki hubungan timbal balik dengan lembaga-lembaga pendidikan Islam. Dapat dikatakan bahwa jalan yang ditempuh oleh pedagang muslim dalam menyebarkan Islam di Indonesia antara lain melalui jalur atau saluran perdagangan, perkawinan, tasawuf, pendidikan, kesenian, dan politik.
            Sampai berdirinya kerajaan-kerajaan Islam itu, perkembangan agama Islam di Indonesia dapat dibagi menjadi tiga fase. Fase pertama, singgahnya pedagang-pedagang Islam di pelabuhan-pelabuhan Nusantara. Sumbernya adalah berita luar negeri, terutama Cina. Fase kedua, adanya komunitas-komunitas Islam di beberapa daerah kepulauan Indonesia. Sumbernya di samping berita-berita asing, juga makam-makam Islam. Fase ketiga, berdirinya kerajaan-kerajaan Islam.[43]
            Kegiatan yang dilakukan oleh para pedagang dan/atau mubligh dalam menyebarkan Islam di Nusantara dapat disebut sebagai kegiatan melaksanakan tugas-tugas kependidikan. Dikatakan demikian karena kegiatan yang dilakukan oleh para pedagangdan/atau mubaligh memenuhi lima unsur dasar hakikat pendidikan, yaitu: (1) pemberi; (2) penerima; (3) tujuan baik; (4) cara atau jalan yang baik; dan (5) konteks yang positif.
            Pola pendidikan yang berlangsung pada awal datangnya Islam ke Indonesia adalah informal. Hal ini terjadi karena pedagang muslim/mubaligh awal datang menyebarkan Islam pada waktu tertentu saja, yaitu ketika datang ke Nusantara untuk melakukan transaksi perdagangan. Akan tetapi ketika mubaligh tetap, yaitu ulama Arab melakukan dakwah intensif kemudian menetap dan mendirikan rumah ibadah, pola pendidikan yang terjadi adalah nonformal.[44]
            Perkembangan Islam di Indonesia dapat dilihat dari jalur yang ditempuh, kemudian pendekatan (politik, sosial, dll). Jalur itu adalah suatu upaya yang dilakukan para mubaligh. Para ulama mengajar di tempat utamanya, yaitu kota-kota pantai, baru kemudian ke desa. Dari jalur yang ditempuh tersebut, dapat dipahami bahwa keberadaan dan perkembangan Islam di daerah pantai berbeda dengan yang ada di pedalaman. Islam pantai lebih puritan dibandingkan dengan Islam di desa. Kita bisa mengamati di Jawa misalnya,  Islam di Jawa bercampur dengan kejawen, walaupun muhammadiyah lahir di Jawa tapi sampai sekarang masih ada tradisi yang bercampur kejawen. Di Jawa saat ini misalnya, masih dapat dijumpai ada tradisi rebutan nasi untuk mendapat berkah.
            Jalur intensif yang digunakan dalam perkembangan Islam di Nusantara adalah pendidikan. Dari jalur ini baru ditemukan argumen bahwa Islam berasal dari Arab. Banyak guru-guru yang datang untuk mengajar ke Nusantara berasal dari jazirah Arab. Mereka datang dari Hadramawt, Yaman, tidak ada dari India.  Selain itu, perkawinan merupakan upaya mempercepat islamisasi di Nusantara. Para mubaligh yang datang dengan keturunannya membentuk komunitas. Akan tetapi, jalur yang paling intensif adalah lewat pendidikan dan dakwah.  
            Pendekatan adalah melakukan suatu kegiatan dimana dakwah, yaitu proses islamisasi mendapat dukungan kuat. Pendekatan yang digunakan dalam proses perkembangan Islam di Nusantara ada dua.
1.      Pendekatan Politik
      Pendekatan dengan jalur politik yang dilakukan misalnya dengan berdirinya kerajaan Islam. Ada dua teori tentng berdirinya kerajaan Islam. Ada teori buttom–up (terbentuk masyarakat muslim terlebih dahulu, kemudian membentuk kerajaan), atau teori top-down (rajanya sudah ada, kemudian diislamkan, sedangkat rakyat mengikut menjadi pemeluk Islam juga). Hal ini terjadi pada beberapa kerajaan, seperti Kerajaan Malaka, dan beberapa tempat lainny. Proses terbentuknya kerajaan Islam di Nusantara lebih banyak terjadi melalui buttom-up.[45] 
      Islam berkembang dengan besar, ketika Islam berada di bawah kekuasaan. Hal tersebut dikarenakan sifat masyarakat Nusantara  adalah fathernalistik (mengikut apa yang dilakukan oleh raja atau penguasa).
2.      Pendekatan Sosial
      Pendekatan Sosial perlu dikaji, yaitu peran mubaligh dalam menghadapi masyarakat, memberikan bantuan, perlindungan, dan sebagainya. Masyarakat Nusantara awal belum kenal kemajuan zaman, sementara masyarakat yang datang, pedagang, sudah kenal modernitas, atau berbudaya dan berperadaban tinggi. Pedagang menunjukkan sikap yang tidak pernah dilihat masyarakat sekitar, misalnya bersih (ada wuduk dalam ajaran Islam), kaya (karena pedagang). Kekayaan merupakan hal yang paling diminati penduduk lokal Nusantara.
      Selain itu, sesuatu yang menjadi penguat bagi perkembangan Islam di Nusantara adalah bahwa dalam agama Hindu mengenal sistem kelas dalam masyarakat. Islam tidak mengenal adanya sistem kelas dalam masyarakat. Hal ini menjadi sebuah peluang bagi Islam untuk masuk dan diterima oleh masyarakat lokal dengan mengajarkan adanya persamaan dan persaudaraan, bukan kasta atau kelas.[46]




C.    Penutup
            Dari uraian di atas pemakalah menyimpulkan bahwa proses masuknya Islam ke Nusantara telah terjadi pada abad ke-1 H/7 M. Hal ini dikarenakan adanya bukti yang menunjukkan bahwa telah terjadi kontak dagang antara penduduk Nusantara dengan para pedagang/saudagar Arab. Selat Malaka sebagai jalur perdagangan internasional juga merupakan penunjuk adanya kontak dagang yang pernah terjadi di Nusantara.
            Dari segi jalur penyebaran Islam, tampak bahwa Islam berasal dari Arab. Banyak guru-guru yang datang dari Jazirah Arab untuk mengajar dan membentuk keturunan di Nusantara.
            Selanjutnya, apa yang diklaim oleh sarjana Barat mengenai adanya literatur yang berasal dari India ternyata literatur tersebut adalah berasal dari Arab atau Persia. Tambah lagi, adalah sangat mungkin Islam sudah diperkenalkan sejak masa kekhalifahan Islam. Dengan demikian, Islam di Nusantara telah dikenal pada abad ke-7 dan dibawa oleh orang-orang Arab yang berdagang sekaligus berperan sebagai mubaligh.
            Pada awalnya, motif masuk dan berkembangnya Islam di Nusantara adalah melalui jalur perdagangan. Pada masa selanjutnya Islam berkembang di Nusantara dengan dukungan kekuatan politik kerajaan. Hal ini bermakna bahwa kerajaan-kerajaan Islam di Nusantara berperan dalam penyebarluasan ajaran Islam. Hal ini dibuktikan dengan adanya ulama-ulama yang diperintahkan oleh raja untuk mengajar murid-murid yang datang dari berbagai daerah.
             









DAFTAR PUSTAKA


Azra, Azyumardi. Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII. Bandung: Mizan, 1998.

Daulay, Haidar Putra. Sejarah Pertumbuhan dan Pembaruan Pendidikan Islam di Indonesia. Jakarta: Kencana, 2007.

Departemen Agama. Rekonstruksi Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia. Jakarta: Direktorat Jenderal Kelembagaan Agama Islam, 2005.

Hasjmy, A. Sejarah Kebudayaan Islam di Indonesia. Jakarta: Bulan Bintang, 1990.

Majalah Sabili. Sejarah Emas Muslim Indonesia. Jakarta: PT. Dian Rakyat, Edisi Khusus No. 9 Tahun X 2003.

Mansur. Peradaban Islam dalam Lintasan Sejarah. Yogyakarta: Global Pustaka Utama, 2004.

Yatim, Badri. Sejarah Peradaban Islam. Jakarta: Rajawali Press, 2001.
Yunus, Mahmud. Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia. Jakarta: Hidakarya Agung, 1985. 

  

               
           





                [1]Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia (Jakarta: Hidakarya Agung, 1985), h. 6. 
                [2]Pada periode pertama  ditandai dengan pendidikan Islam yang terkonsentrasi di pesantren, dayah, surau atau masjid dengan titik fokus adalah ilmu-ilmu agama yang bersumber dari kitab-kitab klasik. Periode kedua ditandai dengan lahirnya madrasah. Sebagian lembaga-lembaga pendidikan  Islam yang telah memasukkan mata pelajaran umum ke dalam program kurikulum mereka, dan juga telah mengadopsi sistem pendidikan modern, seperti metode, manajerial, klasikal, dan lain sebagainya. Lihat Haidar Putra Daulay, Sejarah Pertumbuhan dan Pembaruan Pendidikan Islam di Indonesia (Jakarta: Kencana, 2007), h. 7.
                [3]A. Hasjmy, Sejarah Kebudayaan Islam di Indonesia (Jakarta: Bulan Bintang, 1990), h. 3.
                [4]Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII (Bandung: Mizan, 1998), h. 24.
                [5] Departemen Agama, Rekonstruksi Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia (Jakarta: Direktorat Jenderal Kelembagaan Agama Islam, 2005), h.41.
                [6]Penjelasan Prof. Dr. Haidar Putra Daulay, M.A  dalam seminar kelas mata kuliah Pendidikan Islam di Indonesia.
                [7]Majalah Sabili, Sejarah Emas Muslim Indonesia (Jakarta: PT. Dian Rakyat, Edisi Khusus No. 9 Tahun X 2003), h. 9.
                [8]Azra, Jaringan Ulama, h. 24.
                [9]Majalah Sabili, Sejarah Emas, h. 9.
                [10]Azra, Jaringan Ulama, h. 24.
                [11]Ibid.
                [12]Ibid., h. 25.
                [13]Ibid.
                [14]Ibid., h. 27.
                [15]Ibid., h. 28.
                [16]A. Hasjmy, Sejarah Kebudayaan, h. 3.
                [17] Daulay, Sejarah Pertumbuhan dan Pembaruan, h. 12.
                [18] Hasbullah, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 1995), h. 5.
                [19]Azra, Jaringan  Ulama, h. 28.
                [20]Ibid.
                [21]Thomas W. Arnold dalam bukunya The Preaching of Islam menyatakan bahwa pada abad ke-7 Masehi di pantai Barat pulau Sumatera sudah didapati suatu kelompok perkampungan orang-orang Arab.  Hasbullah, Sejarah Pendidikan Islam, h. 5.
                [22]Azra, Jaringan Ulama, h. 31.
                [23]Sabili, Sejarah Emas Muslim, h.10.
                [24]Azra, Jaringan Ulama, h. 11.
                [25] Hasbullah, Sejarah Pendidikan Islam, h. 4.
                [26]Malaka, jauh sebelum ditaklukkan Portugis (1511), merupakan pusat utama lalu lintas perdagangan dan pelayaran. Melalui Malaka, hasil hutan dan seluruh rempah-rempah dari  seluruh pelosok Nusantara dibawa ke Cina dan India, terutama Gujarat, yang melakukan hubungan dangan langsung dengan Malaka pada waktu itu. Lihat  Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam (Jakarta: Rajawali Press, 2001), h. 192.
                [27]Departemen Agama, Rekonstruksi Sejarah, h. 41.
                [28]Ibid., h. 42.
                [29]Yatim, Sejarah Peradaban Islam, h. 194.
                [30]Departemen Agama, Rekonstruksi Sejarah., h. 42.
                [31]Hasbullah, Sejarah Pendidikan Islam., h. 5.
                [32]Ibid., h. 6.
                [33]Departemen Agama, Rekonstruksi Sejarah, h. 42.
                [34]Ibid., h. 43
                [35]Daulay, Sejarah Pertumbuhan dan Pembaruan ., h. 12.
                [36]Ibid.
                [37]Ibid., h. 13.
                [38]Ibid.
                [39]Ibid., h. 14.
                [40]Di Maluku, Sulawesi Selatan, rakyat masuk Islam setelah rajanya masuk Islam, maka kerajaan Islam berusaha menguasai kerajaan non-Islam, sehingga secara politis banyak menarik penduduk kerajaan non-Islam untuk masuk Islam.  Lihat Departemen Agama, Rekonstruksi Sejarah, h. 45.
                [41]Ibid.
            [42]Mansur, Peradaban Islam dalam Lintasan Sejarah (Yogyakarta: Global Pustaka Utama, 2004), h. 112.
                [43]Yatim, Sejarah Peradaban Islam, h. 193.
                [44]Penjelasan Prof. Dr. Haidar Putra Daulay, dalam kuliah perdana mata kuliah Pendidikan Islam di Indonesia, pada 9 Maret 2011.  Lebih lanjut beliau mengatakan bahwa dalam konteks pendidikan, adanya hubungan yang intensif yang membawa nilai dapat disebut sebagai pola pendidikan informal. Sedangkan pendidikan nonformal adalah proses pendidikan yang tidak diatur sedemikian rigitnya seperti pengaturan lama belajar, tingkatan, umur, sertifikat, materi pelajaran, dll. Lihat Daulay, Sejarah Pertumbuhan , h. 15. 
                [45]Daulay, Sejarah Pertumbuhan, h. 20.
                [46]Penjelasan Prof. Dr. Haidar Putra Daulay, M.A  dalam seminar kelas mata kuliah Pendidikan Islam di Indonesia.