WAWASAN ALQURAN TENTANG PENDIDIKAN RUHANI
Oleh: Ahmad Abrar Rangkuti, M.A.[1]
A. Pendahuluan
Dalam pandangan Islam manusia tersusun dari
dua unsur, yaitu jasmani dan ruhani. Jasmani adalah bentuk fisik atau lahiriah
manusia – yang sering disebut raga (al-jism). Sedangkan ruhani adalah
hakikat dan substansi manusia yang sering disebut jiwa atau ruh (al-nafs dan
al-ruh). Jiwalah yang membedakan manusia dengan makhluk lainnya. Dengan
jiwa manusia bisa merasa, berpikir, berkemauan, dan berbuat lebih banyak.
Tegasnya, jiwa itulah yang menjadi hakikat manusia karena sifatnya yang latif,
ruhani, dan rabbani. Keselamatan dan kebahagiaan manusia tergantung
pada keadaan jiwanya. [2]
Sebagai sumber ajaran pertama, Alquran
mengintroduksi dirinya sebagai pemberi petunjuk kepada jalan yang lebih lurus.
Petunjuk-petunjuknya memberi kesejahteraan dan kebahagiaan bagi manusia, baik
secara pribadi maupun kelompok, dan karena itu ditemukan petunjuk-petunjuk bagi
manusia dalam kedua bentuk tersebut. Tujuan pendidikan menurut Alquran adalah
membina manusia secara pribadi dan kelompok sehingga mampu menjalankan
fungsinya sebagai hamba Allah swt dan khalifah-Nya. Manusia yang dibina adalah
makhluk yang memiliki unsur material (jasmani) dan immaterial (akal dan jiwa).
Pembinaan akalnya menghasilkan ilmu. Pembinaan jiwanya menghasilkan kesucian
dan etika, sedangkan pembinaan jasmaninya menghasilkan keterampilan.[3]
Ditinjau dari sudut unsurnya, manusia terdiri
dari jasmani dan ruhani. Menurut Qomar, keduanya harus dikembangkan melalui
saluran pendidikan. Maka pendidikan Islam terbagi atas pendidikan jasmani dan
pendidikan ruhani. Pendidikan jasmani lebih menekankan pengembangan jasmani
manusia, sehingga terdapat pendidikan olahraga, pendidikan kesehatan,
pendidikan keterampilan dan sebagainya. Sedangkan pendidikan ruhani menekankan
pada pengembangan unsur-unsur keruhanian, sehingga terdapat pendidikan
kecerdasan, pendidikan budi pekerti, pendidikan moral atau akhlak, pendidikan
kesenian, dan sebagainya.[4]Klasifikasi
pendidikan dalam bentuk lain dinyatakan oleh az-Za’balawi, bahwa teori Islam
dalam masalah pendidikan berdiri pada empat pilar, yaitu: 1) pendidikan fisik,
2) pendidikan ruhani, 3) pendidikan jiwa, dan 4) pendidikan akal.[5]
Hemat pemakalah, pendapat yang diajukan Qomar
merupakan analisisnya tentang manusia dari sisi makro, yaitu tersusun atas
unsur jasmani dan ruhani. Sedangkan
Az-Za’balawi memisahkan unsur
ruhani menjadi bagian tersendiri (jiwa dan akal) yang mendapat perlakuan
pendidikan yang berbeda. Dalam makalah ini, pembahasan aspek ruhani manusia
meliputi akal, nafs, kalbu, dan ruh. Pemakalah tidak memisahkan keempat
aspek tersebut dengan alasan bahwa keempat aspek tersebut bersifat abstrak
sebagai lawan dari tubuh (jasmani) yang berifat konkrit.
Begitu
pentingnya aspek ruhani sehingga mendapat porsi pengkajian dalam pendidikan.
Makalah membahas pendidikan ruhani dalam bingkai tafsir tematik pendidikan.
Adapun sub-sub bahasan meliputi pengertian pendidikan ruhani, term-term
pendidikan ruhani, sarana pembinaan pendidikan ruhani, dan diakhir dengan
simpulan.
B. Pembahasan
1. Pengertian Pendidikan Ruhani
Para ilmuwan pendidikan Islam bersepakat bahwa
tujuan pendidikan Islam tidak hanya pada aspek pemberian informasi dalam benak
peserta didik, tetapi juga bertujuan mendidik akhlak, mendidik ruhani, dan
membiasakan berperilaku dengan adab yang tinggi guna menghadapi kehidupan.[6]Untuk
menunjuk kepada pengertian ruhani (jiwa spiritual), Islam menggunakan empat
istilah pokok yaitu: 1) al-qalb, 2) al-ruh, 3) al-nafs,
dan 4) al-‘aql.[7]
Mahmud menjelaskan bahwa pendidikan ruhani
secara islami adalah pendidikan yang dilaksanakan untuk mengembangkan
unsur-unsur keruhanian dan bertujuan untuk mengajarkan ruh bagaimana
memperbaiki hubungannya dengan Allah swt melalui jalan menyembah dan merendah
kepada-Nya serta taat dan tunduk kepada manhaj-Nya. Inilah pokok yang utama
dalam pendidikan ruhani. Kealpaan dalam mendidik ruhani atau kurangnya
perhatian dalam bidang ini akan merusak manusia, baik dari sisi ruh, akal,
tubuh, maupun bangunan sosial seluruhnya. Hal ini karena ruh merupakan bagian
dari manusia yang paling penting.
Selanjutnya, Mahmud menjelaskan unsur-unsur
pendidikan ruhani meliputi:
1.
Ruh diberikan wirid, zikir, dan aturan
2. Ruh dilatih, diajar, dan dibuat senang terhadap apa yang memperkuat
hubungannya dengan Allah swt
3.
Menetapi sifat insan beriman, dalam diam,
berbicara, berbuat dan dalam meninggalkan sesuatu. [8]
Pendidikan ruhani memberikan pengaruh pada
diri seseorang. Secara garis besar, pengaruh pendidikan ruhani berdimensi pada
tiga hal, yait: 1) diri sendiri, 2) keluarga dan masyarakat sekitar, dan 3)
penerapan ajaran Islam. Di antara pengaruh pendidikan ruhani adalah sebagai
berikut.
1.
Membersihkan seseorang dan menjernihkan
jiwanya dari sifat keraguan, waswas, dan rasa khawatir. Menanamkan keimanan
serta keyakinan pada dirinya, dan menghilangkan rasa cemas serta mendidik jiwa
ke arah yang positif dalam menyikapi permasalahan kehidupan sehingga menjadi
insan kamil, bertanggung jawab, dan produktif, tidak mengenal skeptisisme,
negativisme, dan sikap menyerah.
2. Membiasakan seseorang mencintai kebaikan dan memprioritaskan kebenaran
karena jiwanya telah bertautan dengan Allah swt. Seseorang yang jiwanya bertautan dengan Allah
swt niscaya akan selalu mencintai kebaikan dan memprioritaskan kebenaran.
3. Menjadikan seseorang berpegang teguh pada metode yang telah dipilih Allah
swt sebagai agama untuk seluruh manusia. Berpegang teguh kepada metode
merupakan jalan terbaik dalam penyucian jiwa dan pengarahan untuk mencapai
keistiqamahan dalam melaksanakan agama serta manhaj yang benar. Jika seseorang telah berpegang teguh pada
manhaj Allah, ia akan mendapatkan hikmah besar berupa kesiapan untuk mewujudkan
kehidupan mulia bagi diri sendiri dan orang-orang sekelilingnya.
4. Pendidikan ruhani mendorong manusia untuk saling mencintai dan berkasih
sayang dengan sesamanya. Pendidikan ruhani juga memberi motivasi untuk selalu
mencintai kebaikan dan berkhidmat demi kepentingan umum. Bahkan, mampu
mewujudkan persaudaraan Islam dan kerja sama dalam kebaikan dan ketakwaan. Hal
ini merupakan dasar interaksi sosial yang dibangun oleh Islam agar tercipta
kehidupan manusia yang mapan sekaligus membendung tindak kriminalitas dan
perilaku kemaksiatan.
5. Pendidikan ruhani merupakan sarana bagi seseorang untuk memperoleh taufik
dalam segala perilaku dan perkataannya. Hal ini karena jiwa telah memiliki
kesiapan menerima dan melaksanakan segala perintah Allah sehingga Ia
mencintainya.
6. Pendidikan ruhani mengajar seseorang agar tidak melakukan kesalahan dan
tidak melanggar ketentuan Islam, baik berupa hukum, syarat, maupun etika.
Adalah benar bahwa setiap anak Adam pasti melakukan kesalahan dan mustahil
baginya terhindar dari kesalahan. Akan tetapi, jiwa yang telah terdidik dengan
tarbiyah islamiyah dapat mengarahkan seseorang agar sedikit berbuat kesalahan,
banyak berintrospeksi, menyesal, dan taubat.
7. Pendidikan ruhani membiasakan ruhani seseorang untuk mencintai kebaikan dan
membenci keburukan, sehingga selalu siap melakukan amar makruf nahi munkar.
Pengejawentahan sikap ini merupakan kewajiban agama bagi orang yang mampu
melaksanakannya, lebih dari itu merupakan tugas yang diprioritaskan demi
kebaikan masyarakat secara menyeluruh.[9]
2. Term-Term Pendidikan Ruhani
Dari penelusuran terhadap beberapa sumber
referensi, pemakalah menemukan empat term yang lazim digunakan untuk mengarah
kepada pendidikan ruhani. Term-term tersebut adalah kalbu, ruh, akal, dan nafs.
Dari keempat term tersebut, pemakalah cenderung memahaminya sebagai
instrumen-instrumen pendidikan ruhani yang selanjutnya memerlukan sarana
pendidikan.
a) Kalbu
Terma qalbdengan derivasinya terulang
dalam Alquran sebanyak 158 kali.[10]Kata
kalbu (qalb) dalam Lisan al-‘Arab berasal dari kata qalaba,
yaqlibu, qalban yang berarti berubahnya sesuatu dari arahnya (tahwil
al-sya’i ‘an wajhihi).[11]Dalam
Mu’jam Maqayis al-Lugah, qalb memiliki dua makna, yaitu: 1)
menunjukkan kemurnian dan kemuliaan (yadullu ‘ala khalisin syai’in wa
syarifihi), dan 2) berbaliknya sesuatu dari satu arah ke arah lain (raddu
syai’in min jihatin ila jihatiin).[12]
Selanjutnya, Shihab mengatakan bahwa kataqalb
terambil dari akar kata yang
bermakna membalik karena sering kali ia berbolak-balik, sekali senang, sekali
susah, sekali setuju dan sekali menolak. Qalb sangat berpotensi untuk
tidak konsisten. Alquran pun menggambarkan demikian, ada yang baik dan ada pula
yang sebaliknya.[13]
Sedangkan Al-Maraghi memaknai qalb sebagai lubb yang dengannya
orang memiliki kesadaran, sampai padanya pendengaran, yaitu mendengarkan wahyu
yang dibacakan kepadanya.[14]
Kaitannya dalam konteks pendidikan, Alquran
memaknai qalb sebagai wadah bagi fitrah dan tempat muculnya
(tajalli) ruh. Qalb berkaitan
erat dengan kalbu zahir (sanubari) di mana berbagai keadaan qalb seperti
rasa takut (khauf), lelah, ketenangan, yang semuanya itu memberi
pengaruh terhadap bentuk kalbu zahir. Dengan demikian, qalb merupakan
sumber kebaikan (khair), kejahatan (syarr), emosi, perasaan,
kecenderungan fitrah, niat, kehendah, dan lain-lain.Qalb juga merupakan
pusat hubungan manusia dengan Allah swt, sebagaimana yang dinyatakan dalam
surat Al-Anfal ayat 24.[15]
Sesungguhnya
yang demikian itu benar-benar terdapat peringatan bagi orang-orang yang
memiliki kalbu, atau yang mencurahkan pendengaran lagi menjadi saksi (QS. Qaf [50]: 37)
Kemudian Kami iringi di belakang mereka dengan
rasul-rasul Kami dan Kami iringi (pula) dengan Isa putra Maryam; dan Kami
berikan kepadanya Injil dan Kami jadikan dalam hati orang- orang yang
mengikutinya rasa santun dan kasih sayang. Dan mereka mengada-adakan
rahbaniyyah padahal kami tidak mewajibkannya kepada mereka tetapi (mereka
sendirilah yang mengada-adakannya) untuk mencari keridhaan Allah, lalu mereka
tidak memeliharanya dengan pemeliharaan yang semestinya. Maka Kami berikankepada orang-orang yang beriman di antara mereka pahalanya
dan banyak di antara mereka orang-orang fasik.(QS. Al-Hadid [57]: 27)
Akan Kami
masukkan ke dalam hati orang-orang kafir rasa takut, disebabkan mereka
mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah sendiri tidak menurunkan
keterangan tentang itu. Tempat kembal imereka ialah neraka; dan itulah seburuk-buruk tempa ttinggal orang-orang yang zalim.(QS. Ali Imran [3]: 151).
Dan ketahuilah olehmu bahwa di kalanganmu ada
Rasulullah. Kalau ia menuruti kemauanmu dalam beberapa urusan benar-benarlah kamu mendapat kesusahan, tetapi Allah menjadikan kamu 'cinta' kepada keimanan dan menjadikan keimanan itu indah di dalam hatimu serta menjadikan kamu benci kepada kekafiran, kefasikan, dan kedurhakaan. Mereka
itulah orang-orang yang mengikuti jalan yang lurus(QS Al-Hujarat [49]: 7).
Dari
ayat di atas terlihat bahwa kalbu adalah wadah dari pengajaran, kasih sayang,
takut, dan keimanan. Dari isi kalbu yang dijelaskan oleh ayat-ayat di atas dapat
ditarik kesimpulan bahwa kalbu mampu menampung hal-hal yang disadari oleh
pemiliknya. Ini merupakan salah satu perbedaan antara kalbu dan nafs.
Membersihkan kalbu adalah salah satu cara untuk memperoleh pengetahuan.[16]
Al-Maragi
memaknai surat Qaf ayat 37 bahwasanya kemampuan untuk mentadabur segala hakikat
dan menyadari apa saja yang keluar sebagai bentuk perkataan merupakan fungsi qalb.
Kemampuan mentadabur ini diikuti dengan merujuk atas dalil-dalil. Selanjutnya,
ia menyatakan bahwaayat ini menunjukkan kedustaan orang-orang Yahudi yang
mengatakan bahwa Allah menciptakan
langit dan bumi dalam enam hari, memulai ciptaan-Nya pada hari Ahad dan
berakhir pada hari Jum’at. Sedangkan pada hari Sabtu, Allah beristirahat, dan
selanjutnya berada di atas ‘Arsy. Mereka
disebut oleh Alquran sebagai kaum yang tidak memiliki fungsi qalb yang
benar.[17]
b) Ruh
Term ruh terulang dalam Alquran sebanyak 23
kali.[18]Kata
ruh berasal dari kata rawiha, yarwahu, rauhan, yang menunjukkan makna
suatu kapasitas, bentangan, dan kemantapan, selain itu menunjukkan kepada makna
angin yang berhembus; bisa juga menunjukkan kepada malaikat Jibril.[19]Kata
ruh dikaitkan dengan manusia juga dalam konteks yang bermacam-macam, ada yang
hanya dianugerahkan Allah kepada manusia pilihan-Nya (QS. Al-Mukmin [40]: 15)
yang dipahami oleh sementara pakar sebagai wahyu yang dibawa malaikat Jibril,
ada juga yang dianugerahkannya kepada orang-orang Mukmin (QS. Al-Mujadilah
[58]: 22) dan di sini dipahami sebagai dukungan dan peneguhan hati atau
kekuatan batin; dan ada juga yang dianugerahkan kepada seluruh manusia.
Menurut
Farhadian, ruh merupakan sesuatu yang menunjukkan hakikat insaniah manusia,
sedangkan jasad merupakan sarana yang dengannya ruh melaksanakan aktivitas di
dunia. Selanjutnya dikatakannya bahwa aspek jasmani dan ruhani harus
dikembangkan secara bersama-sama, tidak
menitikberatkan pada satu aspek saja.[20]
Alquran berbicara mengenai ruh di beberapa
ayat, antara lain pada surat Al-Isra’ ayat 85, Al-Hijr ayat 29,
Dan mereka bertanya kepadamu tentang roh. Katakanlah: "Roh itu termasuk urusanTuhan-ku, dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit." (QS. Al-Isra [17]: 85).
Maka apabila Aku telah menyempurnakan
kejadiannya, dan telah meniup kan kedalamnya ruh (ciptaan)-Ku, maka tunduklah
kamu kepadanya dengan bersujud (QS. Al-Hijr [15]: 29)
Al-Maragi menyatakan bahwa surat al-Isra ayat 85 menyanggah
pendapat orang-orang Yahudi yang mengklaim diri mereka memiliki ilmu yang
banyak dikarenakan Taurat dianugerahkan kepada mereka.Selain itu, Al-Maragi
menyatakan bahwa maknaruh yang dimaksud
pada surat ini memiliki tiga pendapat. Pertama, maknanya adalah Alquran,
pendapat ini sesuai dengan kandungansurat asy-Syura ayat 52 dan surat an-Nahl
ayat 2. Kedua, maknanya adalah Jibril a.s., pendapat ini sesuai dengan
kandungan surat Maryam ayat 16 dan surat al-Isra ayat 85. Ketiga, maknanya
adalah ruh yang dengannya hidup jasad manusia.
Ia juga menambahkan bahwa para ulama
memberikan defenisi tentang hakikat ruh dalam dua pendapat. Pertama, pendapat
yang menyatakan bahwa ruh sebagai jism ruhani yang hidup dan bergerak
yang berasal dari alam yang tinggi yang tabiatnya berbeda dengan jism inderawi.
Kedua, pendapat yang menyatakan bahwa ruh tidak memiliki jism dan tidak
bersifat jasmani, keterkaitannya dengan badan teraktualisasi dalam bentuk
tingkah laku yang terukur. Pendapat
kedua ini merupakan pendapat imam Al-Gazali dan Abu al-Qasim al-Ragib
al-Asfahani.[21]
Dalam konteks pendidikan ruhani, potensi ruh
yang dimiliki manusia mampu menembus dimensi alam malakut dan mencapai nilai
moral yang tinggi. Ini merupakan suatu bentuk kemenangan bagi manusia. Untuk
mencapai keadaan itu, manusia selalu menghadapi konflik dengan dimensi jasmani
yang tercipta dari tanah (turab). Manusia akan mencapai kemenangan itu
bila potensi ruh mengalahkan dorongan hawa nafsu yang memiliki kecenderungan
terhadap kenikmatan materi dunia.
Kemampuan manusia meraih kemenagan itu
didukung oleh kemampuannya mengenal Allah
melakukan proses penyucian, memiliki sikap hidup yang takwa, dan
melakukan amal salih. Dengan demikian manusia bahkan mampu meraih pertolongan (‘inayah)
dan hidayah Allah serta berada semakin
dekat dengan Allah hingga pada derajat yang paling tinggi (a’la ‘illiyin).[22]
c) Akal
Terma akal (‘aql) dan derivasinya
terulang dalam Alquran sebanyak 48 kali.[23]
Kata ‘aql berasal dari kata ‘aqala, ya’qilu, ‘aqlan, yang
bermakna besarnya penghalang terhadap sesuatu (‘uzmuhu ‘ala hubsatin fi
sya’in).[24]Kata‘aql
(akal) tidak ditemukan dalam Alquran, yang ada adalah bentuk kata kerja – masa
kini, dan lampau. Kata tersebut dari segi bahasa pada mulanya berarti tali
pengikat, dan penghalang. Alquran menggunakannya bagi “sesuatu yang mengikat
atau menghalangi seseorang terjerumus dalam kesalahan atau dosa”. Alquran tidak
menjelaskan secara eksplisit tentang apa itu ‘aql. Namun, dari konteks
ayat yang menggunakan akar kata ‘aql dapat dipahami bahwa ‘aql
antara lain adalah:[25]
1.
Daya untuk memahami dan menggambarkan sesuatu,
seperti firman-Nya dalam QS. Al-‘Ankabut (29): 43.
Demikian itulah perumpamaan-perumpamaan yang
Kami berikan kepada manusia, tetapi tidak ada yang memahaminya kecuali
orang-orang yang alim (berpengetahuan)(QS. Al-‘Ankabut [29]: 43).
Daya dalam manusia dalam hal ini berbeda-beda.
Ini diisyaratkan Alquran antara lain dalam ayat-ayat yang berbicara tentang
kejadian langit dan bumi, silih bergantinya malam dan siang, dan lain-lain. Ada
yang dinyatakan sebagai bukti-bukti keesaan Allah swt bagi orang-orang yang
berakal (QS. Al-Baqarah [2]: 164), dan ada juga bagi ulul al-bab yang
juga dengan makna yang sama, tetapi mengandung pengertian lebih tajam dari
sekedar memiliki pengetahuan. Keanekaragaman akal dalam konteks menarik makna
dan menyimpulkan terlihat juga dari penggunaan istilah-istilah seperti nazara,
tafakkur, tadabbur dan sebagainya yang semuanya mengandung makna mengantar
kepada pengertian dan kemampuan pemahaman.[26]
2.
Dorongan moral, seperti firman-Nya,
Katakanlah: "Marilah kubacakan apa yang
diharamkan atas kamu oleh Tuhanmu yaitu: janganlah kamu mempersekutukan sesuatu
dengan Dia, berbuat baiklah terhadap kedua orang ibu bapa, dan janganlah kamu
membunuh anak-anak kamu karena takut kemiskinan, Kami akan memberi rezki
kepadamu dan kepada mereka, dan janganlah kamu mendekati perbuatan-perbuatan
yang keji, baik yang nampak di antaranya maupun yang tersembunyi, dan janganlah
kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) melainkan dengan sesuatu
(sebab) yang benar. Demikian itu diwasiatkan Tuhan kepadamu semoga kamu memiliki dorongan
moral untuk meninggalkannya (QS. Al-An’am [6]: 151).
3.
Dorongan untuk mengambil pelajaran dan
kesimpulan serta hikmah
Untuk maksud ini biasanya digunakan kata rusyd.
Daya ini menggabungkan kedua daya di atas, sehingga ia mengandung daya
memahami, menganalisis, dan menyimpulkan, serta dorongan moral yang disertai
dengan kematangan berpikir. Seseorang yang memiliki dorongan moral, boleh jadi
tidak memiliki daya pikir yang kuat, dan boleh jadi juga seseorang yang
memiliki daya pikir yang kuat tidak memiliki dorongan moral, tetapi seseorang
yang memiliki rusyd, ia telah menggabungkan kedua keistimewaan tersebut.
Dari sini dapat dipahami mengapa penghuni neraka di hari kemudia berkata,
Dan
merekaberkata: "Seandainya kami mendengar dan berakal maka pasti kami tidak termasuk
penghuni neraka.”(QS. Al-Mulk
[67]: 10).
Ketika menjelaskan surat Al-‘Ankabut ayat 43,
al-Maraghi[27]
menyatakan bahwa ayat ini menjelaskan tentang suatu perumpamaan bagi manusia
yang tidak memiliki kemampuan memahami dan menjelaskan perintah Allah.
Diriwayatkan dari Jabir bahwasanya Nabi saw. setelah membaca ayat ini beliau
bersabda:
اَلْعَالِمُ مَنْ عَقَلَ عَنِ اللهِ تَعَالَى فَعَمِلَ
بِطَاعَتِهِ وَ اِجْتَنَبَ سُخْطَهُ
Selanjutnya dalam menjelaskan surat
al-Mulk ayat 10, al-Maragi menyatakan bahwa makna ayat tersebut merupakan
gambaran bentuk penyesalan bagi orang-orang yang tidak mendayagunakan potensi
akalnya untuk memahami kebenaran yang datangnya dari Allah swt. Mereka tertipu dengan kenikmatan dunia, dan
dikarenakan itulah mereka berhak mendapat murka dan siksa yang pedih dari Allah
swt.[28]
Dalam konteks pendidikan ruhani,
akal memiliki kedudukan yang penting dalam nafs sekaligus sebagai bentuk
keistimewaan manusia dari seluruh ciptaan-Nya. Alquran mendorong manusia untuk
melakukan aktivitas berpikir, bernalar, dan bertadabur dan mendayagunakan
potensi akal yang luar biasa. Dengan potensi akal manusia bisa memperoleh
pengetahuan dan petunjuk, mengenali baik dan buruk, dan sekaligus sebagai
penimbang (mizan), juga sebagai pembuat keputusan yang kelak
dipertanggungjawabkan di hadapan Allah ataupun manusia. Alquran memberikan
bahwa bila manusia meninggalkan aktivitas berfikir dan bernalar secara benar,
setan akan hadir untuk menyesatkan manusia.
Bukankah Aku telah memerintahkan kepadamu hai
Bani Adam supaya kamu tidak menyembah syaitan? Sesungguhnya syaitan itu adalah
musuh yang nyata bagi kamu" Dan hendaklah kamu menyembah-Ku. Inilah jalan
yang lurus. Sesungguhnya syaitan itu telah menyesatkan sebahagian besar di
antaramu, Maka apakah kamu tidak memikirkan?(QS. Yasin
: 60-62).
d) Nafs
Secara bahasa kata nafs bermakna
keluarnya udara dari tenggorokan;tiap sesuatu yang terlepas dari kesulitan; dan
darah. Seorang wanita melahirkan yang mengeluarkan darah disebut dengan nifas,
jamaknya adalah nufasa’.[29]Kata
nafs dalam Alquran mempunyai aneka makna, sekali diartikan sebagai
totalitas manusia, seperti antara lain maksud surat al-Maidah ayat 32, di kali
lain kata ini menunjuk kepada apa yang terdapat dalam diri manusia yang
menghasilkan tingkah laku seperti maksud kandungan firman Allah pada surat
al-Ra’d ayat 11. Secara umum dapat dikatakan bahwa nafs dalam konteks
pembicaraan tentang manusia menunjuk kepada sisi dalam manusia yang berpotensi
baik dan buruk.[30]
Dalam
pandangan Alquran, nafs diciptakan Allah dalam keadaan sempurna untuk
berfungsi menampung serta mendorong manusia berbuat kebaikan dan keburukan, dan
karena itu sisi dalam manusia inilah yang oleh Alquran dianjurkan untuk diberi
perhatian lebih besar.
Demi
nafs serta penyempurnaan ciptaan, Allah mengilhamkan kepadanya kefasikan dan
ketakwaan (QS. Al-Syams [91]: 7-8).
Mengilhamkan
berarti memberi potensi agar manusia melalui nafs dapat menangkap makna
baik dan buruk, serta dapat mendorongnya melakukan kebaikan dan keburukan.
Walaupun Alquran menegaskan bahwa nafs berpotensi positif dan negatif,
namun diperoleh isyarat bahwa pada hakikatnya potensi positif manusia lebih
kuat daripada potensi negatifnya, hanya saja daya tarik keburukan lebih kuat
daripada daya tarik kebaikan. Karena itu manusia dituntut agar memelihara
kesucian nafs, dan tidak mengotorinya.[31]
Sesungguhnya
beruntunglah orang-orang yang menyucikannya dan merugilah orang-orang yang
mengotorinya (QS. Al-Syams [91]: 9-10).
Kecenderungan nafs kepada kebaikan
lebih kuat dipahami dari isyarat beberapa ayat, antara lain firman-Nya pada
surat Al-Baqarah: 286 dan surat Al-Fathir: 6-7.
Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya. (Mereka berdoa): "Ya Tuhan
kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami tersalah. Ya Tuhan
kami, janganlah Engkau bebankan kepada kami beban yang berat sebagaimana Engkau
bebankan kepada orang-orang sebelum kami. YaTuhan kami, janganlah Engkau pikulkan
kepada kami apa yang tak sanggup kami memikulnya. Berimaaflah kami; ampunilah
kami; dan rahmatilah kami. Engkaulah Penolong kami, maka tolonglah kami
terhadap kaum yang kafir."(QS. Al-Baqarah [2]: 286).
Shihab menyatakan bahwa kata kasabat
yang dalam ayat di atas menunjuk kepada usaha baik sehingga memperoleh
ganjaran, adalah patron yang digunakan bahasa Arab untuk menggambarkan
pekerjaan yang dilakukan dengan mudah, sedangkan iktasabat adalah patron
yang digunakan untuk menunjuk kepada hal-hal yang sulit lagi berat.[32]
Al-Husain al-‘Ukbari menyatakan bahwa dalam
memaknai term kasabat dan iktasabat terdapat dua pendapat.
Pendapat pertama menyatakan kedua term tersebut memiliki makna yang sama,
sebagaimana term kasaba terdapat pada QS. Az-Zumar ayat 24. Pendapat
kedua menyatakan bahwa term kasabat dan iktasabat memiliki
perbedaan. Term iktasabat berwazan ifta’ala yang menunjukkan
kepada makna sulit atau beratnya melakukan sesuatu (yadullu ‘ala syiddah
al-kaffalah), dan melakukan kejahatan merupakan hal yang berat dalam hal
ini.[33]
Lebih lanjut, al-Maragi menjelaskan bahwa
kejelekan (syarr) sesungguhnya bukan merupakan tabiat dasar nafs,
dan hal itu tidak sesuai dengan fitrahnya. Ia memberi alasan melalui sebuah
gambaran, seorang anak kecil yang tumbuh dan dibesarkan dengan nilai-nilai
kejujuran (sidq) tidak akan pernah berbuat dusta (kizb) hingga
anak tersebut mendengar atau menerima nilai-nilai kedustaan dari manusia sekelilingnya. Anak
tersebut dengan sendirinya akan mempelajari kedustaan dan ia juga merasakan
nilai-nilai kedustaan itu. Alasan lain yang dikemukakannya adalah bahwa setiap
kebaikan itu bernilai sama bagi diri sendiri dan orang lain; hendaklah
mencintai saudara sebagaimana mencintai diri sendiri. Hal ini sebagaimana dalam
hadis Nabi saw.[34]
لاَ يُؤْمِنُ اَحَدُكُمْ حَتَّى يُحِبَّ لِأَخِيْهِ مَا
يُحِبُّ لِنَفْسِهِ
Ayat lain yang sejalan dengan
pernyataan bahwa kecenderungan nafs kepada kebaikan lebih kuat dapat
dipahami dari ayat berikut:
Wahai manusia! Apa yang meperdayakanmu (berbuat
dosa) terhadap Tuhanmu yang yang telah menciptakan engkau, menyempurnakan kejadianmu, dan menjadikan engkau “adil”
(seimbang atau cenderung kepada keadilan) (QS. Al-Infitar [82]: 6-7).
Menurut
Shihab, kata “menjadikan engkau adil” dipahami oleh sementara pakar sebagai
kecenderungan berbuat adil. Pendapat ini cukup beralasan, karena dengan
pemahaman semacam itu, menjadi amat lurus kecaman Allah terhadap manusia yang
mendurhakainya.[35]
Di sisi
lain, ditemukan pula isyarat bahwa nafs merupakan wadah. Firman Allah dalam surat
Al-Ra’d: 13, mengisyaratkan bahwa nafs menampung paling tidak gagasan dan kemauan.
Suatu kaum tidak dapat berubah keadaan lahiriahnya, sebelum mereka mengubah
lebih dulu apa yang ada dalam wadah nafs-nya. Yang terdapat dalam wadah nafs
bukan hanya gagasan dan kemauan yang disadari manusia, tetapi juga menampung
sekian banyak hal lainnya, bahkan boleh jadi ada hal-hal yang sudah hilang dari
ingatan pemiliknya.
Apa yang
ada dalam nafs dapat juga muncul dalam mimpi, yang oleh Alquran pada
garis besarnya dibagi dalam dua bagian pokok, yaitu: 1) ru’ya dan 2) adgasu
ahlam. Yang pertama dipahami sebagai gambaran atau simbol dari
peristiwa yang telah, sedang, atau akan
dialami, dan yang belum atau tidak terlintas dalam benak yang memimpikannya.
Yang kedua lahir dari keresahan atau perhatian manusia terhadap sesuatu hal
yang telah berada di bawah sadarnya.[36]
Dalam
konteks pendidikan ruhani, terma nafs bermakna eksistensi manusia yang
merupakan gabungan antara ruh dan jasad. Kesempurnaan nafs tergantung
kepada pemenuhan kebutuhan jasad. Sedangkan kesempurnaan ruh adalah ketika
terjadinya perubahan dari nafs al-ammarah ke nafs al-lawwamah
hingga akhirnya menuju nafs al-mutma’innah.
3
Sarana-Sarana Pendidikan Ruhani
Menurut
Hasan Mi’an[37]di
antara sarana-sarana pendidikan ruhani adalah pelaksanaan qiyam al-lail,
mengingat Allah, dan berpuasa.
1.
Pelaksanaan Qiyam al-Lail
Hai orang yang berselimut (Muhammad). Bangunlah
(untuk sembahyang) di malam hari, kecuali sedikit (dar ipadanya). (Yaitu) seperduanya atau kurangilah dari
seperdua itu sedikit. Atau lebih dari seperduaitu. Dan bacalah Al Quran itu dengan perlahan-lahan (QS. Al-Muzzamil [73]: 1-4).
Melakukan
qiyam al-lail merupakan bentuk mujahadah nafs. Hal ini karena
pelaksanaan qiyam al-lail merupakan sesuatu yang berat dengan
pertimbangan lelahnya bekerja di siang hari, nikmatnya tidur, adanya perasaan
sendirian bangun tengah malam. Pengaruh pendidikan yang dihasilkan dari qiyam
al-lail adalah terbinanya kehendak (iradah), tumbuhnya kesabaran,
dan terbentuknya kepribadian islami.[38]
2.
Mengingat Allah
(Yaitu)
orang-orang yang beriman dan hati mereka manjadi tenteram dengan mengingat
Allah.Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hatimenjadi tenteram (QS. Ar- Ra’d [13]: 28).
Al-Maragi
menjelaskan bahwa ketenangan (tatma’innu) bermakna kekhusyukan dan
keteguhan. Dengan ketenangan dan keteguhan ini mengantarkan kalbu orang mukmin
memiliki rasa takut (khasyah) kepada Allah. Selanjutnya ia menegaskan
bahwa kalbu orang kafir dipenuhi oleh hawa nafs yang cenderung menjadi
tenang karena hal-hal yang duniawi dan juga kenikmatannya.[39]
3.
Berpuasa
Dan adapun orang-orang yang takut kepada
kebesaran Tuhannya dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya. Maka
sesungguhnya syurgalah tempat tinggal(nya) (QS. An-Nazi’at [79]: 40-41).
Al-Maragi menjelaskan makna naha an-nafs
‘an al-hawa sebagai usaha memerintahkan dan menahan nafs dari
kecenderungan hawanya yang disebut dengan syahwat. Selanjutnya ia menegaskan
bahwa hanya para nabi dan beberapa dari golongan siddiqin yang dapat
terhindar dari kecenderungan hawa.[40]
Secara khusus, pendidikan ruhani yang dapat
dilakukan untuk aspek nafs antara lain sebagai berikut.
1.
Mengendalikan syahwat makan sebagai kebutuhan
pokok.
a) Mengkonsumsi makanan yang halal dan baik.[41]
b) Makan dan minum secara tidak berlebihan.[42]
c) Tidak mengkonsumsi makanan yang diharamkan Allah.[43]
2. Mengendalikan naluri seksual
a) Menikah sebagai jalan yang sah.[44]
b) Tidak menikah dengan wanita musyrik.[45]
c) Memperlakukan isteri secara pantas.[46]
C. Simpulan
Aspek-aspek ruhani manusia tidak bisa
dipisahkan pemenuhan kebutuhannya karena aspek-aspek tersebut menjadi satu
totalitas, yang disebut dimensi ruhani. Ruh berhubungan dengan nafsdemi
kesempurnaan ruh, dan nafs berhubungan dengan jasad demi kekuatan nafs.
Adapun akal menempati bagian terpenting dalam nafs, sedangkan qalb
merupakan wadah bagi tampilnya ruh. Kesemua aspek ruhani di atas memerlukan
pendidikan yang khas yang tidak kalah pentingnya dengan pendidikan jasmani.
Jasmani dan ruhani manusia memiliki
keterkaitan yang erat. Keduanya memerlukan pendidikan yang khas. Titik temu
kedua pendidikan itu berada pada cara pemenuhan kebutuhan pendidikan.
Pendidikan jasmani menekankan kepada perlunya aktivitas fisik. Kemampuan
aktivitas fisik manusia salah satunya misalnya dimanfaatkan untuk pemenuhan
kebutuhan primernya, yaitu kebutuhan akan makanan. Dari aspek pendidikan
ruhani, sumber makanan yang tidak halal mempengaruhi tumbuh-kembangnya dimensi
ruhani manusia ke arah yang tidak baik.
Selain itu, titik temu antara pendidikan jasmani dan ruhani adalah pada
tampilan aktivitas fisik manusia dalam kehidupan. Perilaku lahiriah manusia
dipengaruhi oleh potensi-potensi ruhani manusia. Dengan demikian tidak dibenarkan adanya
pengabaian atau lebih menitikberatkan pada satu aspek unsur manusia saja
(jasmani atau rohani) dalam pendidikan. Pendidikan ruhani dapat dilakukan
melalui proses pembiasaan dan penyucian.
DAFTAR PUSTAKA
Al- Abrasyi, Muhammad Atiyah.At-Tarbiyah al-Islamiyah
wa Falasafatuha. Kairo: Darul Fikri, 1969.
Farhadian, Muhammad Rida.Asas al-Tarbiyah wa al-Ta’lim
fi al-Qur’an wa al-Hadis. Qum: Maktabah I’lam al-Islami, 1995.
Ibn Manzur, Muhammad
ibn Mukarram ibn Ali ibn Ahmad.Lisan
al-‘Arab, CD Room Maktabah Syamilah.
Ibn Zakariya, Abu al-Husain Ahmad ibn Faris.Mu’jam
Maqayis al-Lugah. Beirut: Darul Fikri, 1979.
Mahmud, Ali Abdul Halim.Pendidikan Ruhani. Terj.
Abdul Hayyie al-Kattani dkk. Jakarta: Gema
Insani Press, 2000.
Al-Maragi, Ahmad Mustafa.Tafsir al-Maragi. Mesir:
Maktabah al-Babi al-Halabi, 1946.
Mi’an, Hasan. Nazarat Haula al-I’dad al-Ruhi. Makkah
al-Mukarramah: Maktab al-Kutub, 1984.
Moh. Sholeh.Bertobat Sambil Berobat: Rahasia Ibadah
untuk Mencegah dan Menyembuhkan Berbagai Penyakit. Jakarta: Mizan, 2008.
Al-Muqaddas, Faidullah Husna.Fath al-Rahman li
al-Talib al-Qur’an. Indonesia: Maktabah Dahlan, ttp.
Qomar, Mujamil.Epistemologi Pendidikan Islam: dari
Metode Rasional hingga Metode Kritik. Jakarta: Erlangga, 2006.
Shihab, M. Quraish.Membumikan Alquran: Fungsi dan
Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat. Bandung: Mizan, 1994.
Shihab, M.Quraish.Wawasan Alquran: Tafsir Maudhu’i
atas Pelbagai Persoalan Umat. cet. XIV. Bandung: Mizan, 2003.
Al-‘Ukbari, Abi al-Baqa ‘Abdullah ibn al-Husain.At-Tibyan
fi I’rab al-Quran,. Beirut: Darul Jail, 1987.
Az- Za’balawi, M. Sayyid Muhammad.Pendidikan Remaja
antara Islam dan Ilmu Jiwa. Terj. Abdul
Hayyie al-Kattani dkk. Jakarta: Gema Insani, 2007.
Lampiran:
Tentang Qalb
1.
QS. Al-Anfal ayat 24
Tentang Ruh
1.
QS. Al-Mukmin ayat 15
2.
QS. Al-Mujadilah ayat 22
3.
QS. Asy-Syura ayat 52
4.
QS. An-Nahl ayat 2
Tentang Akal
1.
QS. Al-Baqarah ayat 164
Tentang Nafs
1.
QS. Al-Maidah ayat 32
2.
QS. Al-Ra’d ayat 11
3.
QS. Al-Fatir ayat 6-7
4.
QS. Az-Zumar ayat 24
Tentang Sarana
Pendidikan Ruhani
1.
QS. Al-Maidah ayat 88
2.
QS. Al-A’raf ayat 31
3.
QS. Al-Baqarah ayat 183
4.
QS. Al-Maidah ayat 3
5.
QS. Al-Baqarah ayat 221
6.
QS. Al-Baqarah ayat 223
[1]Guru
Pendidikan Agama Islam SMP Negeri 3 Lubuk Pakam – MTs Alwashliyah Pulau Gambar
- Sekretaris MUI Kecamatan Galang – Sekretaris PC Alwashliyah Kecamatan Galang
[2]Moh. Sholeh, Bertobat Sambil Berobat: Rahasia Ibadah untuk Mencegah dan
Menyembuhkan Berbagai Penyakit (Jakarta: Mizan, 2008), h. 37.
[3]Quraish Shihab, Membumikan Alquran: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan
Masyarakat (Bandung: Mizan, 1994), h. 172-173.
[4]Mujamil Qomar, Epistemologi Pendidikan Islam: dari Metode Rasional
hingga Metode Kritik (Jakarta: Erlangga, 2006), h. 261.
[5]M. Sayyid Muhammad az-Za’balawi, Pendidikan Remaja antara Islam dan Ilmu
Jiwa. Terj. Abdul Hayyie al-Kattani
dkk. (Jakarta: Gema Insani, 2007), h. xv.
[6]Muhammad Atiyah Al-Abrasyi, At-Tarbiyah al-Islamiyah wa Falasafatuha
(Kairo: Darul Fikri, 1969) h. 22.
[7]Sholeh, Bertobat Sambil Berobat, h.34.Lihat, Muhammad Rida
Farhadian, Asas al-Tarbiyah wa al-Ta’lim fi al-Qur’an wa al-Hadis (Qum:
Maktabah I’lam al-Islami, 1995), h. 17-50. Lihat pula, M.Quraish Shihab, Wawasan
Alquran: Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai Persoalan Umat, cet. XIV, (Bandung:
Mizan, 2003), h. 277-295.
[8]Ali Abdul Halim Mahmud, Pendidikan Ruhani (Jakarta: Gema Insani
Press, 2000), h. 74.
[9]Mahmud, Pendidikan Ruhani, h. 201-203.
[10]Faidullah Husna al-Muqaddas, Fath al-Rahman li al-Talib al-Qur’an
(Indonesia: Maktabah Dahlan, ttp), h. 367-369.
[12]Abu al-Husain Ahmad ibn Faris ibn Zakariya, Mu’jam Maqayis al-Lugah
(Beirut: Darul Fikri, 1979) jilid 3, h. 351.
[14]Ahmad Mustafa al-Maragi, Tafsir al-Maragi (Mesir: Maktabah al-Babi
al-Halabi, 1946), jilid. 26, h. 168.
[15]Farhadian, Asas al-Tarbiyah wa al-Ta’lim, h. 50.
[16]Shihab, Wawasan Alquran, h. 291.
[18]Shihab, Wawasan Alquran, h. 292.
[19]Ibn Faris ibn Zakariya, Mu’jam Maqayis al-Lugah, jilid 2, h. 337.
[20]Farhadian, Asas al-Tarbiyah wa al-Ta’lim, h. 21.
[22]Farhadian, Asas al-Tarbiyah wa al-Ta’lim, h. 24.
[27]Al-Maragi, Tafsir al-Maragi, jilid 20, h. 144-145
[29]Ibn Faris ibn Zakariya, Mu’jam Maqayis al-Lugah, jilid 5, h. 351.
[33]Abi al-Baqa ‘Abdullah ibn al-Husain al’Ukbari, At-Tibyan fi I’rab
al-Quran, (Beirut: Darul Jail, 1987), jilid 1, h.234.
[34]Al-Maragi, Tafsir al-Maragi, jilid 3, h. 86.
[37]Hasan Mi’an, Nazarat Haula al-I’dad al-Ruhi (Makkah al-Mukarramah:
Maktab al-Kutub, 1984), h. 286-287.
[40]Al-Maragi, Tafsir al-Maragi, jilid. 30, h. 34.
[41]QS. Al-Ma’idah: 88.
[42]QS. Al-A’raf: 31.
[43]QS. Al-Baqarah: 183.
[44]QS. Al-Ma’idah: 3.
[45]QS. Al-Baqarah: 221.
[46]QS. Al-Baqarah: 223.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar