Kamis, 07 Desember 2017

TAFSIR SURAH AL FATIHAH AYAT KETUJUH (Tafsir Makna Nikmat, Magdub, Dallun dan Ta’min)

TAFSIR SURAH AL FATIHAH AYAT KETUJUH
(Tafsir Makna Nikmat, Magdub, Dallun dan Ta’min)
Oleh: AHMAD ABRAR RANGKUTI, S.Pd.I.,M.A.[1]
Disampaikan dalam Kajian Tafsir Alquran
Balai Penelitian Sei Putih, Kamis 16 November 2017


A.    Pendahuluan

Allah swt menurunkan sebanyak 104 kitab kepada para nabi dan rasul-Nya dan dari kitab tersebut isinya terkumpul ke dalam empat kitab, yaitu taurat, zabur, injil, dan Alquran. Dari keempat kitab tersebut isinya dimuat dalam satu kitab, yaitu Alquran. Kemudian, dari satu kitab tersebut, kandungan isinya termuat dalam satu surah yaitu al-Fatihah. Selanjutnya, dari tujuh ayat surah al-Fatihah, seluruh makna ayatnya terangkum dalam ayat iyyaka na’budu wa iyyaka nastain. Ayat ini merupakan awal pengakuan keimanan  hamba dan keyakinannya total kepada Allah sebagai satu-satunya zat yang berhak disembah dan dimintakan pertolongan.

Al-Fatihah merupakan surah pertama yang diturunkan Allah swt secara lengkap sempurna. Sedangkan wahyu terakhir yang diturunkan secara lengkap dan sempurna adalah surah an-Nasr. Surah pertama yang diturunkan sebagai wahyu yang pertama adalah surah al-‘Alaq. Sedangkan surah pertama yang menerangkan perintah keraadasulan Nabi saw adalah surah al-Muddassir. Terdapat hubungan yang menakjubkan antara surat pertama dan terakhir keduanya turun secara lengkap dan sempurna. Hubungan tersebut dapat dilihat dari redaksi kata alhamdulillah (hamd) yang terdapat pada kedua surah tersebut. Allah swt itu dipuji atas segala sesuatu, baik sesuatu itu menyenangkan (as-sarra’) bagi manusia atau sebaliknya (ad-darra’). Terdapat rahasia dari ucapan alhamdulillah, karena itu Nabi saw meminta agar ucapan alhamdulillah diucapkan dalam setiap keadaan. Para malaikat dan isi alam semesta semuanya bertasbih kepada Allah swt dengan alhamdulillah.


Terkait dengan hal tersebut, Qutb menjelaskan makna hadis Nabi saw yang menyebutkan bahwa ucapan alhamdulillah memenuhi mizan. Bila seorang hamba mengucapkan ya rabb laka al-hamd kama yanbagi li jalali wajhika wa ‘azim sultanika, malaikat bingung (baca:tidak tahu) mencatat seberapa besar nilai ucapan tersebut. Hingga akhirnya malaikat naik dan bertanya kepada Allah bagaimana mereka mencatat ucapan hamba itu. Allah menjawab tulislah amal tersebut hingga hamba-Ku bertemu Aku maka Aku yang akan memberi balasannya. Inilah rahasia bertawajjuh kepada Allah swt dengan alhamdulillah yang akan melahirkan rasa pengharapan kepada Allah swt semata. Tambah lagi, Qutb menyatakan bahwa buah dari hidayah, pemeliharaan (ri’ayah), dan rahmat Allah swt adalah adanya makrifah dan istiqamah yang dimiliki seorang hamba.[2]

Dalam surah al-Fatihah ayat ketujuh ini akan dijabarkan tafsir Alquran tentang bagaimana cara agar doa dan nikmat tertinggi yang dipanjatkan dikabulkan Allah swt. Selain itu, dalam tafsir ayat ketujuh ini diuraikan bagaimnana bantahan Alquran terhadap keyakinan aliran Qadariah, Muaktazilah, dan Imamiyah serta kandungan tauhid apa saja yang termuat dalam surah al-Fatihah. Tambah lagi, apa saja perbuatan yang menyebabkan diberikannya label orang yang dimurkai dan sesat  oleh Allah swt juga diuraikan dalam bagian ini.


B.   Tafsir Makna Nikmat, Magdub, Dallun dan Ta’min


http://c00022506.cdn1.cloudfiles.rackspacecloud.com/1_7.png

“(yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau anugerahi nikmat kepada mereka; bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) orang-orang yang sesat.”[3]

1.    I’rab Ayat

قال تعالى : (غير المغضوب عليهم و لا الضالين)
(صراط) : بدل من الأول و هو  بدل الشيء من الشيء , و هما بمعنى واحد .
(الذين) : اسم الموصول و صلته انعمت , والعائد عليه الهاء والميم .
(أنعمت) : فعل ماض مبني على السكون ,  والتاء تاء الفاعل , وجملة أنعمت صلة الموصول لا محل لها .
(عليهم) : جار مجرور متعلقان بأنعمت
(غير المغضوب) : يقرأ بالجر, وفيه ثلاثة أوجه: أحدها – أنه بدل من الذين . والثاني - أنه بدل من الهاء و الميم في عليهم . و الثالث – أنه صفة للذين .
(عليهم) : متعلقان بالمغضوب
(ولا) : الواو عاطفة , لا زائدة لتأكيد معنى النفي في غير
(الضالين) : معطوف على المغضوب عليهم مجرور بالياء لأنه جمع مذكر سالم[4]


Dalam ayat ketujuh diulang lafaz sirat. Dalam kajian tafsir ayat keenam telah diuraikan makna sirat al-mustaqim adalah jalan Islam yang di dalamnya diutus para nabi, rasul, dan ditutup risalah mereka dengan penutup para nabi, yaitu Nabi Muhammad saw. Sirat al-mustaqim merupakan redaksi kata yang menunjukkan kepada sesuatu yang menghubungkan kebahagiaan dunia dan akhirat, termasuk di dalamnya segala yang terkait dengan akidah, hukum, adab, dan syariat agama, seperti ilmu yang benar dengan Allah, kenabian, dan keadaan ijtima’ (kesepakatan ulama).[5]

Selanjutnya, makna sirat yang dimaksud dalam ayat ketujuh adalah jalan yang ditempuh oleh para nabi, para shiddiqun, syuhada, orang saleh terdahulu, dan sebaik-baik teman adalah orang seperti mereka. Sebaliknya, jalan  yang harus dihindari adalah jalan yang jauh dari rahmat Allah, yaitu jalan yang tidak istiqamah di jalan Allah, dan pelakunya disebut dengan magdub dan dallun. Kedua golongan ini disiksa dengan siksa yang pedih (asadd al-‘iqab) dikarenakan mereka mengetahui kebenaran (haq) tetapi meninggalkannya dan berada di jalan yang sesat.[6]

Dalam ayat ketujuh surah al Fatihah, terdapat perbedaan qiraah di kata alaihim (عليهم). Qiraah jumhur membaca kata alaihim dengan membaca kasrah di huruf ha dan sukun di huruf mim. Sedangkan qiraah Hamzah membaca kata alaihim dengan membaca dammah di huruf ha dan sukun di huruf mim.[7]




2.    Tafsir Makna Nikmat

Terdapat perbedaan pendapat dalam menafsirkan siapa yang termasuk ke dalam golongan orang-orang yang diberi nikmat. Imam al-Qurtubi menjelaskan bahwa jumhur ulama tafsir menjelaskan bahwa yang dimaksud orang-orang yang diberi nikmat adalah para nabi, para siddiqun, para syuhada, dan orang-orang saleh. Pendapat ini didasarkan pada QS. An-Nisa: 69.

ومن يطع الله و الرسول فأولئك مع الذين انعم الله عليهم من النبيين والصديقين و الشهدآء والصالحين و حسن أولئك رفيقا
Dan siapa saja yang mentaati Allah dan Rasul-Nya, mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah, yaitu nabi-nabi, para shiddiqun, orang yang syahid, dan orang-orang yang saleh. Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya.”

Pemahaman dari ayat QS An-Nisa: 69 di atas adalah para nabi, para siddiqin, para syuhada, dan orang-orang saleh  berada dalam sirat al-mustaqim. Lebih lanjut, ia menjelaskan bahwa ayat ketujuh surah al-Fatihah ini merupakan jawaban penolakan terhadap argumen dan pemikiran golongan Qadariyah, Muktazilah, dan Imamiyah. Ketiga golongan tersebut berkeyakinan (iktiqad) bahwa manusia berkehendak penuh terhadap perbuatannya apakah ketaatan atau kemaksiatan. Manusia tidak membutuhkan Tuhan. Sementara, keyakinan ahlussunnah wal jamaah berpendapat bahwa manusia diperintahkan untuk ikhtiyar dan memohon hidayah Allah menuju sirat al-mustaqim dan memohon kepada Allah agar disesatkan sebagaimana dalam doa QS. Ali Imran: 8 (ربنا لا تزغ قلوبنا بعد اذ هديتنا وهب لنا من لدنك رحمة انك انت الوهاب).[8]

Imam at-Tabari menjelaskan bahwa yang dimaksud golongan yang mendapat nikmat dalam ayat ketujuh ini adalah para malaikat, para nabi, para siddiqun, syuhada, dan orang-orang saleh dikarenakan ketaatan dan ibadah yang mereka lakukan. Lebih lanjut ia menegaskan bahwa ketaatan dan ibadah yang dimaksud tidak akan dapat terlaksana tanpa nikmat-nikmat dan taufik dari Allah swt.[9]

Shihab menjelaskan makna nikmat sebagai kesenangan hidup yang sesuai dengan diri manusia. Nikmat menghasilkan suatu kondisi yang menyenangkan serta tidak mengakibatkan hal-hal negatif, baik material maupun immaterial. Kata nikmat mencakup kebajikan duniawi dan ukhrawi. Sementara ulama menyatakan bahwa pengertian asalnya berarti “kelebihan” atau “pertambahan”. Nikmat adalah sesuatu yang baik dan berlebih dari apa yang telah dimiliki sebelumnya.[10]

          Lebih lanjut, ia menjelaskan bahwa nikmat-nikmat Allah beraneka ragam dan bertingkat-tingkat baik dari segi kualitas maupun kuantitasnya. Ada yang memperoleh tambahan yang banyak ada pula yang sedikit. Ada tambahan yang sangat bernilai ada pula yang relatif kurang. Kata nikmat yang dimaksud oleh ayat ketujuh surah al-Fatihah ini adalah nikmat yang paling bernilai, yang tanpa nikmat itu, nikmat-nikmat lainnya tidak akan mempunyai nilai yang berarti, bahkan dapat menjadi niqmah yakni bencana. Nikmat tersebut adalah nikmat memeroleh hidayah Allah serta ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya, yakni nikmat Islam dan penyerahan diri kepada-Nya.[11]

          Ada empat kelompok manusia yang mendapat nikmat yaitu para nabi, shiddiqun, syuhada, dan orang-orang saleh.
1.    Kelompok pertama adalah para nabi, yaitu mereka yang dipilih Allah untuk memeroleh bimbingan sekaligus ditugasi untuk menuntun manusia ke jalan yang benar.
2.    Kelompok kedua adalah para shiddiqun yaitu orang-orang dengan pengertian apapun selalu benar  dan jujur. Mereka tidak ternodai oleh kebatilan, tidak pula mengambil sikap yang bertentangan dengan kebenaran.
3.    Kelompok ketiga adalah para syuhada, yakni mereka yang bersaksi atas kebenaran dan kebajikan melalui ucapan dan tindakan mereka, walau harus mengorbankan nyawanya sekalipun, dan atau mereka disaksikan kebenaran dan kebajikan oleh Allah swt, para malaikat, dan lingkungan mereka.
4.    Kelompok keempat adalah orang-orang saleh, yakni yang tangguh dalam kebajikan dan selalu berusaha mewujudkannya. Kalaupun sesekali ia melakukan pelanggaran, itu adalah pelanggaran kecil dan tidak berarti jika dibandingkan dengan kebajikan-kebajikan mereka.[12]





3.    Tafsir Makna Magdub

Kata gadab secara bahasa bermakna asy-syiddatu (keras). Ular yang berbisa mematikan disebut gadub. Cacing yang terdapat di kulit unta disebut gadbah. Makna gadab bila disandingkan sebagai sifat Allah bermakna adanya kehendak memberi hukuman (murka). Dalam hadis Nabi saw disebutkan bahwa sedekah dapat memadamkan murka Allah.[13] Sikap gadab apabila diperankan oleh manusia disebut amarah. Para ulama memahami makna gadab dalam arti kehendak Allah untuk melakukan tindakan keras dan tegas terhadap mereka yang membangkang perintah-Nya. Dengan kata lain, gadab bermakna ancaman siksa yang puncaknya adalah yang bersangkutan pasti merasakan dijatuhkan kepada mereka yang mempersekutukan Allah swt dengan memasukkan dan mengekalkan mereka di neraka. Tingkat yang lebih rendah dari gadab adalah tidak senang.[14]

Jumhur ulama berpendapat bahwa kata magdub ditujukan kepada Yahudi dan kata  dallun ditujukan kepada Nasrani. Zuhaili berpendapat bahwa makna kata magdub adalah orang-orang yang sampai kepada mereka agama (din) yang haq yang Allah swt syariatkan kepada hamba-hamba-Nya, tetapi mereka menolak dan membuangnya.[15] Penafsiran tersebut berdasarkan hadis Nabi saw dari Adi ibn Hatim. Selain itu, penafsiran ini juga didasarkan ayat Alquran surah Al-Baqarah ayat 61 (  وَبَاءُوا بِغَضَبٍ مِنَ اللَّهِ / mereka mendapat kemurkaan Allah) surah al-Fath ayat 6 ( وَغَضِبَ اللَّهُ عَلَيْهِمْ /dan Allah memurkai mereka). Penafsiran lain dari makna magdub adalah orang-orang musyrik, orang yang meninggalkan fardu membaca surah al-Fatihah dalam salat, orang yang mengikut bid’ah.[16]

Berdasarkan penjelasan Rasul saw tentang siapa yang dimaksud dengan magdub, Shihab menguraikan bahwa bukan berarti seluruh Bani Israil (orang Yahudi) mendapat murka. Yang mendapat murka hanyalah mereka yang melakukan pelanggaran. Sebaliknya, orang yang bukan Yahudi apabila melakukan pelanggaran yang sama tentu terancam pula dengan murka serupa. Murka dan nikmat Allah swt tidak dibagi-Nya atas dasar ras, bangsa, dan keturunan, tetapi atas dasar niat dan tingkah laku. Alquran menegaskan dan kesaksian sejarah membuktikan bahwa sunnatullah tidak berubah dan tidak pula membeda-bedakan.[17]

Berdasarkan ayat-ayat Alquran yang menceritakan tentang Yahudi, Shihab menyimpulkan pelanggaran orang Yahudi yang mengakibatkan mereka mendapat murka Allah. Pelanggaran yang mereka lakukan antara lain:                  1) mengingkari tanda-tanda kebesaran Allah, 2) membunuh para nabi tanpa alasan yang benar, 3) iri hati dan membangkang akibat anugerah Allah untuk orang lain, 4) membantah keterangan rasul, 5) mempersekutukan Allah dan mempersonifikasikannya dalam bentuk sapi, 6) melakukan pelanggaran dalam perolehan rezeki seperti suap, dan 7) meyalahgunakan kekuasaan, dan lain-lain.

Selain itu, pelanggaran-pelanggaran yang juga dikaitkan dengan murka Allah swt tetapi dikemukakan bukan dalam bentuk konteks pembicaraan menyangkut orang Yahudi, adalah: 1) membunuh seorang mukmin dengan sengaja tanpa alasan yang benar, 2) berprasangka buruk kepada Allah serta meragukan kehadiran bantuan-Nya, 3) lari dari peperangan (perjuangan) membela kebenaran, 4) murtad atau memilih kekufuran, dan 5) perzinaan yang dilakukan seorang wanita yang sedang terikat perkawinan tanpa bertaubat. Di sisi lain, perlu ditegaskan bahwa walaupun telah ditemukan berbagai macam pelanggaran yang mengakibatkan murka Allah swt, itu bukan berarti bahwa hanya pelanggaran yang disebutkan itulah yang dapat mengakibatkan dosa atau siksa Allah swt karena masih banyak pelanggaran lain yang tidak dikaitkan secara tegas dengan kata gadab. Masih banyak siksa dan kegagalan hidup yang dialami seseorang yang bukan sebagai akibat pelanggaran yang disebut di atas.[18]

4.    Tafsir Makna Dallun

Kata dallun dalam ungkapan Arab bermakna az zahabu ‘an sunan al-qasdi wa tariq al-haqqi (beralih dari kebiasaan tertentu dan jalan kebenaran).[19] Tidak kurang dari 190 kali kata dalla dalam berbagai bentuknya terulang dalam Alquran. Kata ini pada mulanya berarti kehilangan jalan, bingung, tidak mengetahui arah. Makna-makna ini berkembang sehingga kata tersebu juga dipahami dalam arti binasa, terkubur, dan dalam arti immaterial ia berarti sesat dari jalan kebajikan atau lawan dari petunjuk. Dari penggunaan Alquran yang beraneka ragam, dapat disimpulkan bahwa kata ini dalam berbagai bentuknya mengandung makna tindakan atau ucapan yang tidak menyentuk kebenaran.[20]

Zuhaili menyebukan bahwa makna dallun adalah mereka yang tidak mengetahui kebenaran, atau tidak mengetahui bentuk yang benar, yaitu mereka yang tidak sampai risalah kepada mereka.[21]  Penafsiran lain dari kata dallun adalah orang-orang munafik, orang yang tidak mendapat keberkahan bacaan surah al-Fatihah, orang yang tersesat dari hidayah.[22]

Shihab mengelompokkan tiga tipe manusia yang termasuk dalam makna ad-dallun. Ketiga tipe yang dimaksud adalah sebagai berikut.
1.    Orang yang tidak menemukan atau mengenal petunjuk Allah swt dan atau agama yang benar. Artinya, mereka tidak mengetahui adanya ajaran agama, atau pengetahuan mereka sangat terbatas, sehingga tidak mengantar mereka untuk berpikir jauh ke depan. Mereka pasti tidak menyentuh kebenaran agama, mereka pasti sesat, paling tidak kesesatan perjalanan menuju kebahagiaan ukhrawi.
2.    Orang-orang yang pernah sedikit pengetahuan agama, ada juga keimanan dalam hatinya, namun pengetahuan itu tidak dikembangkannya, tidak juga ia mengasah dan mengasuh jiwanya sehingga pudar imannya. Ia mengukur segala sesuatu dengan hawa nafsunya. Mereka ini berada di puncak kesesatan karena tipe pertama memang pada dasarnya tidak mengetahui, sedang tipe ini telah memiliki pengetahuan. Termasuk dalam tipe ini orang-orang yang hanya mengandalkan akalnya semata-mata dan menjadikannya satu-satunya tolok ukur, walaupun dalam wilayah yang tidak dapat disentuh oleh kemampuan akal.
3.    Mereka yang berputus asa dari rahmat Allah. Banyak ragam keputusan dan banyak pula penyebabnya, seperti putus asa akan kesembuhan, pencapaian sukses, pengampunan dosa, dan lain-lain, yang kesemuanya berakhir pada tidak bersangka baik kepada Allah swt.[23]


5.    Sunnah Mengucap Ta’min

Ta’min merupakan istilah yang berarti mengucapkan lafaz amin dalam salat dan doa. Disunnahkan bagi orang yang membaca Alquran menyebut amin setelah selesai membaca Al Fatihah. Dalam hadis riwayat sahabat Abu Hurairah ra. Rasulullah saw bersabda: “Apabila imam mengucapkan amin, maka ucapkanlah amin. Karena sesungguhnya siapa yang ucapan aminnya bersesuaian dengan amin yang diucapkan malaikat, maka akan diampunkan dosanya yang lalu.” Imam al-Qurtubi menjelaskan bahwa ada empat syarat yang harus dipenuhi agar diperoleh ampunan berdasarkan makna hadis di atas, yaitu: 1) ta’min imam, 2) ta’min makmum, 3) ta’min malaikat, dan 4) bersesuaian ta’min. Dari keempat syarat di atas, ada tiga hal yang harus diperhatikan, yaitu: 1) dikabulkannya doa (ijabah), 2) waktu, dan 3) ikhlas dalam berdoa.[24]

Para ulama berbeda pandangan tentang pembacaan ta’min, apakah secara sir atau jahr. Ulama Hanafiyah dan Malikiyah dalam pendapatnya yang rajih menjelaskan bahwa membaca ta’min secara sir atau samar adalah lebih utama dari pada dibaca secara jahr. Pendapat ini didasarkan atas Alquran surah al-A’raf ayat 55(ادْعُوا رَبَّكُمْ تَضَرُّعًا وَخُفْيَةً ۚ إِنَّهُ لَا يُحِبُّ الْمُعْتَدِينَ / Berdoalah kepada Tuhanmu dengan berendah diri dan suara yang lembut. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas). Pendapat Ibnu Mas’ud menyatakan bahwa ada  empat tempat bagi imam harus menyamarkan suara, yaitu: 1) membaca taawudz, tasmiah, ta’min, dan tahmid (rabbana lakal hamd).

Sementara itu, ulama Syafiiyah dan Hambali berpendapat bahwa mengucap ta’min adalah secara sir dalam salat sir dan jahr pada salat jahr. Ta’min makmum bersamaan dengan imam berdasarkan hadis nabi saw riwayat Imam Abu Dawud dan Imam Ibnu Majah bahwa Nabi saw ketika membaca gairil magdubi alaihim waladdalin, Nabi mengucap amin hingga terdengar orang yang di belakangnya di saf pertama. Dalam hadis riwayat Imam Ahmad, Imam Abu Dawud dan Imam at-Tirmizi bahwa Nabi saw membaca gairil magdub bi alaihim waladdalin, maka Nabi membaca Amin dan memanjangkan suaranya.[25]

Badruzzaman menjelaskan cara mengucapkan lafaz amin setelah menelusuri berbagai pendapat ulama dalam bukunya dan menjelaskannya dalam lima macam bacaan sebagai berikut.
1.    (آمِيْنَ) yaitu dengan membaca panjang hamzahnya dan tidak mensyiddahkan huruf mim, serta tidak memanjangkan bacaan mim.
2.    (اَمِيْنَ)  yaitu dengan membaca pendek hamzahnya dan tidak mensyiddahkan huruf mim, serta huruf mim dibaca panjang.
3.    (آمِيْنَ) yaitu dengan membaca panjang hamzahnya dan membacanya dengan “imalah” (membaca hamzah antara harakat fathah dan kasrah).
4.    (اَمِّيْنَ) yaitu dengan membaca pendek hamzahnya dan mensyiddahkan huruf mim, serta huruf mim dibaca panjang.
5.    (آمِّيْنَ) yaitu dengan membaca panjang hamzahnya dan mensyiddahkan huruf mim, serta huruf mim dibaca panjang.[26]

Dalam hadis riwayat Imam at-Tabrani dan Imam al-Baihaqi dari Wail ibn Hujr, bahwa Nabi saw ketika membaca gairil magdubi ‘alaihim Nabi saw mengucapkan رَبِّ اغْفِرْلِي آمِيْنَ. Selain itu, dalam hadis riwayat Imam at-Tabrani dari Wail ibn Hujr berkata, ia melihat Nabi saw dalam salatnya ketika selesai membaca fatihatul kitab, Nabi saw mengucapkan  آمِيْنَ sebanyak tiga kali. Kemudia dalam hadis lain riwayat Imam Ibn Majah dari Sayyidina Ali kw, bahwa Sayyidina Ali kw mendengar Rasul saw bila selesai melafazkan waladdallin Rasul saw mengucap آمِيْنَ.[27]

Shihab menjelaskan beberapa pendapat tentang makna amin, yaitu: 1) ya Allah perkenankanlah! 2) ya Allah! Lakukanlah! 3) demikian itu, ya Allah. Maka semoga Engkau mengabulkannya, 4) jangan kecewakan kami, ya Allah! Dan 5) Amin adalah salah satu nama Allah swt. Jika pengertian amin dikaitkan langsung dengan ayat-ayat surah al-Fatihah, permohonan yang kita ajukan adalah kandungan ayat ketujuh, dan dengan demikian permohonan itu diakhiri dengan permohonan baru yaitu amin yakni kiranya Allah memperkenankan dan tidak mengecewakan pemohon. Dengan surah al-Fatihah ini, kita bermohon kiranya Allah swt mengantar kita kepada kejelasan, pergerakan, dan peningkatan. Itulah agama yang benar dan itu pulalah seharusnya kenyataan hidup kita. Jalan yang diharapkan itu telah mengantar puluhan ribu manusia, para nabi, siddiqin, syuhada, dan orang-orang saleh ke tujuan yang mereka harapkan.[28]

Dalam menguraikan akhir tafsir al-Fatihah, as-Sa’di menutup uraian tafsirnya dengan menjelaskan bahwa surah al-Fatihah memiliki kemukjizatan dan kandungan surahnya meliputi apa yang tidak dimiliki oleh surah-surah lain, yaitu mengandung tiga bentuk ketauhidan yakni tauhid rububiyah, tauhid uluhiyah, dan tauhid asma dan sifat. Tauhid rububiyah tercakup dalam makna rabbil ‘alamin. Tauhid uluhiyah dimaknai sebagai menjadikan Allah sebagai satu-satunya yang disembah tercakup dalam makna lillah dan makna iyyaka na’budu. Sedangkan tauhid asma dan sifat bermakna meneguhkan sifat-sifat kesempurnaan hanya kepada Allah swt, sebagaimana Allah swt tetapkan untuk diri-Nya, begitu pula para rasul yang telah meneguhkan dan menetapkan nama-nama dan sifat-sifat Allah tanpa ada cacat, memberikan representasi, maupun analogi dengan selain Allah. Tauhid asma dan sifat ini tercermin dari makna kata al-hamdu. Selain itu, peneguhan tentang kenabian (ihdina as-sirat al-mustaqim), balasan amal (maliki yaum ad-din), qadar (ihdina as-sirat al-mustaqim), dan ikhlas (iyyaka na’budu wa iyyaka nasta’in) tercakup dalam surah al-Fatihah.[29]


C.   Penutup

Dari berbagai penjelasan ulama tafsir di atas, umat Islam diingatkan kembali bahwa dalam pelaksanaan ibadah terdapat prinsip tanawwu’ al-ibadah (beragam bentuk cara pelaksanaan ibadah). Dalam kajian tafsir Alquran, perbedaan pendapat ulama merupakan suatu hal yang niscaya. Begitu juga perbedaan pendapat ulama akan ditemukan ketika ajaran Islam ditinjau dari aspek fikih. Untuk itu, selama perbedaan dalam pelaksaan ibadah masih memiliki landasan yang bersumber dari Alquran, hadis Nabi saw, penjelasan sahabat Nabi saw, dan ijtihad para ulama, perbedaan pendapat tersebut tidak harus diangkat ke permukaan untuk dipertentangkan.

Melalui kajian tafsir ayat ketujuh surah al-Fatihah ini, pesan keimanan dan ibadah begitu kuat disampaikan. Akidah Islam mengajarkan manusia agar berikhtiar dalam hidup dan berdoa memohon hidaya Allah swt. Ketika berikhtiar manusia harus mengedepankan nilai-nilai kesalehan dalam beramal. Selain itu, manusia dituntut untuk menjaga sikap, perilaku, dan niat agar dirinya tidak termasuk ke dalam golongan orang-orang yang dimurkai Allah swt maupun orang-orang yang sesat. Dan satu hal yang tidak kalah penting dari itu semua adalah kemampuan kita memahami pesan-pesan Alquran melalui isyarat-isyarat yang diungkapkan sebagai suatu sistem yang saling berhubungan satu sama lain. Ada hubungan (munasabah) antara surah dengan surah dan ayat dengan ayat. Kemampuan untuk menemukan hubungan tersebut adalah melalui ilmunya para ulama.


           








DAFTAR PUSTAKA


Badruzzaman, Ahmad Dimyathi. Umat Bertanya Ulama Menjawab. Bandung: Sinar Baru Algresindo, 2000.

As-Saˋdiy Abdurrahman ibn Nāṣir.  Taisīr al-Karīm fī Tafsīr Kalām al-Mannān. Saudi Arabia: Al-Bayān, 1995.

Qutb, Sayyid. Fi Zilal al-Quran. Jilid I. Beirut: Dar as-Suruq, 1982.

Shihab, M. Quraish. Tafsir Al-Mishbah. Volume 1. Jakarta: Lentera Hati, 2009.

As-Suyuti, Jalaluddin. Ad-Durrul Mansur fi Tafsir bi al-Ma’sur. Jilid I. Kairo: Maktab Muhandisin, 2003.

At-Tabari. Jami’ al-Bayan ‘an Ta’wil Ayi al-Quran. Beirut: Muassasah ar-Risalah, 1994.

Al-‘Ukbari, Abu al-Baqa ‘Abdullah ibn Husain. At-Tibyan fi I’rab al-Quran. Jilid I. Beirut: Dar al-Jail, 1987.

Zuhaili, Wabah. At-Tafsir al Munir fi al-‘Aqidah wa as-Sariah wa al-Minhaj. Jilid I. Damsyik: Dar al Fikr, 2009.





[1]Tenaga Pendidik Agama Islam SMP Negeri 3 Lubuk Pakam dan MTs Alwashliyah Pulau Gambar, Sekretaris Pimpinan Cabang Alwashliyah Kecamatan Galang dan Sekretaris MUI Kecamatan Galang.
[2]Sayyid Qutb, Fi Zilal al-Quran (Beirut: Dar as-Suruq, 1982), jilid I, h. 22-26.
[3]M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah (Jakarta: Lenera Hati, 2002), volume I, h.82.
[4]Abu al-Baqa ‘Abdullah ibn Husain al-‘Ukbari, At-Tibyan fi I’rab al-Quran (Beirut: Dar al-Jail, 1987), jilid I, h. 9-10
[5]Wabah Zuhaili, At-Tafsir al Munir fi al-‘Aqidah wa as-Sariah wa al-Minhaj (Damsyik: Dar al Fikr, 2009), jilid I, h. 60.
[6]Ibid.
[7]Ibid., h. 56.
[8]Abu Abdullah Muhammad ibn Ahmad ibn Abi Bakr al-Qurtubi, Al-Jami’ li Ahkam al-Quran wa al-Mubayyin lima Tadammanahu min as-Sunnati  wa Ayi al-Furqan (Beirut: Muassasah ar-Risalah, 2006), jilid I,  h. 230. 
[9]At-Tabari, Jami’ al-Bayan ‘an Ta’wil Ayi al-Qur’an (Beirut: Muassasah ar-Risalah, 1994), jilid I, h. 76-77.
[10]Shihab, Tafsir Al-Mishbah, h. 83.
[11]Ibid, h. 83-84.
[12]Ibid, h. 85.
[13]Al-Qurtubi, Al-Jami’ li Ahkam al-Quran, h. 231.
[14]Shihab, Tafsir Al-Mishbah, h. 86.
[15]Zuhaili, At-Tafsir al Munir, h. 60.
[16]Al-Qurtubi, Al-Jami’ li Ahkam al-Quran, h. 231.
[17]Shihab, Tafsir Al-Mishbah, h. 87.
[18]Shihab, Tafsir Al-Mishbah, h. 89.
[19]Qurtubi, Al-Jami’ li Ahkam al-Quran, h. 231.
[20]Shihab, Tafsir Al-Mishbah, h, 91.
[21]Zuhaili, At-Tafsir al Munir, h. 60.
[22]Al-Qurthubi, Al-Jami’ li Ahkam al-Quran, h. 231.
[23]Shihab, Tafsir Al-Mishbah, h. 92.
[24]Al-Qurtubi, Al-Jami’ li Ahkam al-Quran, h.195.
[25]Zuhaili, At-Tafsir al Munir, h. 61.
[26]Ahmad Dimyathi Badruzzaman, Umat Bertanya Ulama Menjawab (Bandung: Sinar Baru Algresindo, 2000), h. 450.
[27]Jalaluddin as-Suyuti, Ad-Durrul Mansur fi Tafsir bi al-Ma’sur (Kairo: Maktab Muhandisin ,2003),                 jilid I, h.88.
[28]Shihab, Tafsir Al-Mishbah, h. 93.
[29]Abdurrahman ibn Nāṣir as-Sa’di. Taisīr al-Karīm fī Tafsīr Kalām al-Mannān (Saudi Arabia: Al-Bayān, 1995), h. 28. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar