Minggu, 06 Januari 2013

PENDIDIKAN ISLAM FORMAL, INFORMAL, DAN NONFORMAL


 PENDIDIKAN ISLAM FORMAL, INFORMAL, DAN NONFORMAL         
Ahmad Abrar Rangkuti
Program Pascasarjana (S-2) IAIN SU-Prodi Pendidikan Islam
Dosen Pembimbing: Prof. Dr. Fachruddin, M.A
Mata Kuliah: Analisis Kebijakan Pendidikan Islam

A.   Pendahuluan
          Pendidikan keagamaan Islam merupakan sesuatu yang wajib diajarkan pada semua jalur dan jenjang pendidikan. Pelaksanaan pendidikan keagamaan Islam diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2007 tentang pendidikan agama dan pendidikan keagamaan. Peraturan Pemerintah ini merupakan penjelasan lebih lanjut dari Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
          Kebijakan-kebijakan pemerintah yang tertuang dalam PP No. 55 tahun 2007 mengatur tentang pelaksanaan pendidikan agama dan pendidikan keagamaan pada jenjang pendidikan formal, nonformal, dan informal. Hal yang menarik dari PP No. 55 tahun 2007 ini adalah diakuinya majelis taklim, pengajian kitab, pendidikan Alquran dan diniyah taklimiyah sebagai bagian dari pendidikan keagamaan Islam nonformal.
          Apa yang tertuang dalam Peraturan Pemerintah di atas dapat dianalisis dengan membandingkan praktik penyelenggaraan pendidikan Islam yang berlangsung pada masa dahulu. Boleh jadi ada kebijakan baru yang belum ada pada masa pendidikan Islam pada masa dahulu tetapi saat ini kebijakan itu ada.
          Untuk itu, makalah ini akan membahas tentang pendidikan Islam formal, nonformal, dan informal. Makalah ini menyajikan pembahasan yang dimulai dari praktik pendidikan Islam dalam sejarah Islam, kebijakan tentang pendidikan keagamaan berdasarkan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dan Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2007, dan praktik pendidikan Islam di Indonesia.

B.   Pembahasan

1.     Praktik Pendidikan Islam Dalam Sejarah Islam
          Pendidikan Islam mempunyai sejarah yang panjang. Dalam pengertian seluas-luasnya, pendidikan Islam berkembang seiring dengan kemunculan Islam itu sendiri. Dalam konteks masyarakat Arab, di mana Islam lahir dan pertama kali berkembang, kedatangan Islam lengkap dengan usaha-usaha pendidikan – untuk tidak menyebut sistem – merupakan transformasi besar. Sebab, masyarakat Arab pra-Islam pada dasarnya tidak mempunyai sistem pendidikan formal.[1]
          Menjelang datangnya Islam, bangsa Arab pada dasarnya telah mengembangkan satu kegiatan sastra, terutama dalam bentuk puisi. Meskipun sistem ekspresi dan transmisi yang dominan adalah lisan, tulisan telah mulai dikenal secara terbatas. Paling tidak untuk kalangan tertentu (Yahudi dan Kristen), pendidikan yang terstruktur, meskipun sangat sederhana, sudah mulai berkembang.[2]
          Pada saat datangnya Islam, hanya ada 17 orang Quraisy yang mengenal tulis baca.[3] Di tengah permusuhan kaum Quraisy, tidak banyak yang dapat dilakukan oleh Rasulullah saw. bersama pengikutnya yang hanya sedikit. Ketika akhirnya mereka hijrah ke Madinah (1 H/622 H), mereka menemukan bahwa beberapa orang dari suku Aus dan Khazraj (dua kabilah utama Madinah) dapat menulis dan membaca. Menurut ajaran Islam, Rasulullah saw. memberi perhatian khusus terhadap persoalan pendidikan.[4]
          Pada masa awal perkembangan Islam, tentu saja pendidikan formal yang sistematis belum terselenggara. Pendidikan yang berlangsung dapat dikatakan umumnya bersifat informal; dan inipun lebih berkaitan dengan upaya-upaya dakwah Islamiyah – penyebaran, dan penamaan dasar-dasar kepercayaan dan ibadah Islam.  Dalam kaitan itulah bisa dipahami kenapa proses pendidikan Islam pertama kali berlangsung di rumah sahabat tertentu; yang paling terkenal adalah Dār al-Arqam. Tetapi ketika masyarakat Islam sudah terbentuk, maka pendidikan diselenggarakan di masjid. Proses pendidikan pada kedua tempat ini dilakukan dalam halaqah, lingkaran belajar.[5]
          Fachruddin mengatakan bahwa pada masa Islam klasik lembaga pendidikan terdiri atas masjid, dār, dan shuffah. Masjid menjadi lembaga pendidikan formal pada masa itu. Segala aktivitas pendidikan berlangsung di Masjid. Bahkan peranan masjid seperti universitas terbuka pada masa itu. Dikatakan demikian karena semua orang dapat mengakses ilmu secara mudah.[6] 
          Fachruddin juga mengatakan bahwa pada masa berikutnya trend masjid sebagai lembaga pendidikan formal mulai bergeser dengan hadirnya madrasah. Dengan hadirnya madrasah maka dengan sendirinya pula praktik pendidikan formal berada di madrasah. Madrasah pada masa itu mengkaji ilmu lintas disiplin keilmuan atau adanya integrasi keilmuan (baik ilmu diniyah maupun ilmu gharbiyah). Dengan demikian madrasah menjadi kaya akan pengkajian keilmuan.[7]
          Madrasah lahir sebagai lembaga pendidikan yang berkembang secara alami dari cikal bakalnya, yaitu masjid. Masjid yang pada masa itu menjadi pusat kajian keagamaan, terutama masjid akademi (masjid khan). Tahapan perubahan sebelum menjadi madrasah adalah dari masjid, kemudian masjid akademi, hingga akhirnya menjadi madrasah. Untuk menamatkan pembelajaran dasar keislaman di masjid dibutuhkan waktu sekitar 4 tahun. Pembiayaan pendidikan di masjid berasal dari wakaf tahrir (si pemberi wakaf tidak melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan kegiatan di masjid).[8] Keberadaan madrasah merupakan salah satu bentuk inovasi  dalam trend pendidikan Islam. Dikatakan sebagai inovasi karena pada masa sebelumnya belum ada madrasah.[9]
          Pendidikan secara informal telah berlangsung sejak awal Islam. Mereka yang berpengetahuan mendalam tentang Alquran memimpin kelompok-kelompok diskusi, membaca surah-surah Alquran dan menjelaskan makna yang terkandung di dalam Alquran.[10] Dengan demikian, pendidikan secara informal berlangsung dalam bentuk diskusi tentang kandungan Alquran.
          Pada periode awal Islam, pengajaran agama diberikan di rumah-rumah. Rasulullah saw. sendiri menggunakan rumah al-Arqam bin al-Arqam sebagai tempat pertemuan dengan para sahabat dan pengikut-pengikut beliau. Di sana kaum Muslimin mendapatkan pengajaran dari beliau, berupa kaidah-kaidah Islam dan ayat-ayat Alquran. Selain itu Rasulullah saw. mengadakan pertemuan di rumah beliau sendiri di Mekah. Di sana kaum Muslimin berkumpul untuk belajar dan membersihkan akidah serta pencerahan jiwa mereka.[11]
          Untuk memberikan pelajaran kepada anak-anak, kaum Muslimin pada saat itu mengirimkan anak-anak mereka secara khusus ke rumah-rumah para ulama untuk mendapatkan didikan langsung dari para ulama atau ke perpustakaan-perpustakaan untuk memperoleh kitab-kitab yang lengkap untuk dibaca dan dijadikan referensi.[12]
          Pendidikan formal Islam baru muncul pada masa lebih belakangan, yakni dengan kebangkitan madrasah. Secara tradisional sejarawan pendidikan Islam, seperti Munir ad-Din Ahmed, George Makdisi, Ahmad Syalabi dan Charles Michael Stanton menganggap, bahwa madrasah pertama kali didirikan oleh Wazir Nizam al-Muluk pada 1064; madrasah ini kemudian terkenal sebagai Madrasah Nizam al-Muluk. Akan tetapi, penelitian lebih akhir, misalnya yang dilakukan Richard Bulliet mengungkapkan eksistensi madrasah-madrasah lebih tua di kawasan Nishapur, Iran. Pada tahun 400/1009 terdapat madrasah di wilayah Persia, yang berkembang dua abad sebelum Madrasah Nizhamiyah; yang tertua adalah Madrasah Miyan Dahiya yang didirikan Abu Ishaq Ibrahim ibn Mahmudi di Nishapur.[13]
          Lebih jauh lagi, dalam tradisi pendidikan Islam, institusi pendidikan tinggi lebih dikenal dengan nama al-jāmi‘ah, yang tentu saja secara historis dan kelembagaan berkaitan dengan masjid Jāmi‘ – masjid besar tempat berkumpul jamaah untuk menunaikan salat Jumat.  Al-Jāmi‘ah  yang muncul paling awal dengan potensi sebagai lembaga perguruan tinggi adalah al-Azhar di Kairo, Zaituna di Tunis dan Qarawiyyin di Fez.[14]
          Sepanjang sejarah Islam, baik madrasah maupun al-jāmi‘ah diabdikan terutama untuk ilmu-ilmu agama, dengan penekanan khusus pada bidang fiqih, tafsir, dan hadis. Ilmu-ilmu alam dan eksakta – yang merupakan akar-akar pengembangan  sains dan teknologi – sejak awal perkembangan madrasah dan al-jāmi‘ah sudah berada dalam posisi marjinal. Mempelajari ilmu-ilmu umum bukan sesuatu yang sama sekali tidak ada dalam kurikulum madrasah. Tetapi ada “pemakruhan” – untuk tidak menyebut pengharaman penggunaan nalar setelah runtuhnya Mu’tazilah, setelah periode al-Ma’mun.[15]
          Selanjutnya, Hasan ‘Abd al-‘Al sebagaimana dikutip oleh Suwito, menyebutkan bahwa ada tujuh lembaga pendidikan yang telah berdiri pada masa Abbasiyah terutama pada abad keempat hijrah. Ketujuh lembaga pendidikan tersebut adalah: (1) lembaga pendidikan dasar (kuttab); (2) lembaga pendidikan masjid; (3) kedai pedagang kitab (al-Hawanit al-Warraqin); (4) tempat tinggal para sarjana (manazil al-‘ulama); (5) sanggar seni dan sastra (al-shalunat al-adabiyah); (6) perpustakaan (dar al-kutub wa dar al-‘ilmi); dan (7) lembaga pendidikan sekolah (al-madrasah).[16]
          Institusi pendidikan Islam klasik menurut Charles Michael Stanton, berdasarkan kriteria hubungan institusi pendidikan dengan negara yang berbentuk teokrasi, ada dua macam, yaitu institusi pendidikan Islam formal dan institusi pendidikan Islam informal. Institusi pendidikan formal adalah lembaga pendidikan yang didirikan oleh negara untuk mempersiapkan pemuda-pemuda Islam agar menguasai pengetahuan agama dan berperan dalam agama dan menjadi pegawai pemerintahan. Institusi pendidikan formal ini biayanya disubsidi oleh negara dan dibantu oleh orang-orang kaya melalui harta wakaf. Pengelolaan administrasi berada di tangan pemerintah. Institusi atau lembaga pendidikan informal tidak dikelola oleh negara, dan lembaga ini menawarkan mata pelajaran umum, termasuk filsafat.[17]
          Lembaga pendidikan informal dan alamiah, walaupun sejalan dengan kebutuhan-kebutuhan lingkungannya, tidak menerima bantuan langsung dari negara, juga tidak memperoleh pengakuan hukum apapun dalam struktur kemasyarakatan. Lembaga-lembaga pendidikan informal didukung oleh sukarelawan yang mengabdikan diri pada usaha-usaha kelompok. Keberadaan para sukarelawan tersebut tidak diatur oleh negara; tetapi pribadi atau sekelompok orang yang terlibat di dalam lembaga itu bertanggung jawab kepada masyarakat dengan cara yang sama seperti halnya warga negara lainnya. Keberadaan lembaga pendidikan informal tergantung pada kepribadian para ilmuwan dan kemampuannya untuk menarik murid dan pendukung.[18]
          Salah satu lembaga pendidikan informal pada masa itu adalah perpustakaan. Perpustakaan-perpustakaan umum dibuka untuk umum, berdiri di masjid-masjid, masjid-akademi, dan madrasah-madrasah. Khalifah, wazir, dan penguasa lokal sering sekali membangun perpustakaan umum untuk mempromosikan kegiatan tulis-baca dan memajukan tingkat pendidikan dalam wilayah kekuasaan mereka. Lembaga-lembaga seperti itu tidak hanya berkembang di Bagdad dan Kairo, tetapi juga di ibukota-ibukota propinsi dan sepanjang wilayah Afrika Utara, khususnya di pusat-pusat utama kebudayaan Islam di Andalusia.[19]
          Dari uraian di atas dapat dipahami bahwa selain negara membangun fasilitias pendidikan formal, pada sisi lain para pemimpin (khalifah, wazir) membangun fasilitas pendidikan informal secara mandiri. Hal ini bertujuan untuk mempromosikan program pemerintah pada masa itu.
a)     Kuttab
          Kuttab merupakan sejenis tempat belajar yang mula-mula lahir di dunia Islam. Pada awalnya, kuttab berfungsi sebagai tempat memberikan pelajaran menulis dan membaca bagi anak-anak. Kuttab sebenarnya telah ada di negeri Arab sebelum datangnya  agama Islam, tetapi belum begitu dikenal. Di antara penduduk Mekah yang mula-mula belajar menulis huruf Arab di kuttab ini adalah Sufyan bin Umayyah bin Abdul Syams dan Abu Qais bin Abdul Manaf bin Zuhrah bin Kilab. Keduanya belajar dari Bisyr bin Abdul Malik yang mempelajarinya dari Hirah. Kuttab dalam bentuk awalnya berupa ruangan di rumah seorang guru.[20]
          Sejalan dengan meluasnya wilayah kekuasaan kaum muslimin, bertambah pulalah jumlah penduduk yang memeluk Islam. Ketika itu kuttab-kuttab yang hanya mengambil tempat di ruangan rumah guru mulai dirasakan tidak memadai untuk menampung anak-anak yang jumlahnya semakin besar. Kondisi yang demikian mendorong para guru dan orang tua murid mencari tempat lain yang lebih lapang untuk ketentraman belajar anak-anak. Tempat yang mereka pilih adalah sudut-sudut masjid.[21]
          Selain dari kuttab-kuttab yang diadakan dalam masjid terdapat pula kuttab  umum dalam bentuk madrasah yang mempunyai gedung sendiri dan dapat menampung ribuan murid. Kuttab jenis ini bersifat formal. Kuttab ini mulai berkembang karena adanya pengajaran khusus bagi anak-anak keluarga raja, pembesar, dan pegawai istana yang diasuh oleh seorang mu’addib (pendidik). Bentuk pengajaran yang demikian akhirnya berkembang menjadi kuttab-kuttab  umum.  Pendidik yang mulai mengembangkan pola pengajaran khusus itu ke arah pembentukan kuttab umum menurut Ahmad Syalabi  ialah Hajjaj bin Yusuf as-Saqafi (w.714). Al-Hajjaj pada mulanya menjadi mu’addib anak-anak Sulaiman bin Na’im yang menjadi wazir Abdul Malik bin Marwan. Pada saat inilah ia mengembangkan pendidikan anak dari bentuk khusus di rumah pembesar raja menjadi bentuk pendidikan umum yang disebut kuttab umum. Dari sini pula karir al-Hajjaj meningkat menjadi pembesar khalifah Bani Umayyah, al-Walid I (705-715).[22]
          Pendidikan tingkat rendah Islam diadakan di kuttab-kuttab juga diberikan di istana untuk anak-anak pejabat, didasarkan pemikiran bahwa pendidikan itu harus bersifat menyiapkan anak didik agar mampu melaksanakan tugas-tugas, setelah dewasa nanti. Atas dasar pemikiran tersebut, khalifah dan keluarganya serta para pembesar istana lainnya berusaha menyiapkan agar anak-anak mereka sejak kecil sudah diperkenalkan dengan tugas-tugas yang akan dipikulnya nanti. Corak pendidikan anak-anak di istana berbeda dengan pendidikan anak-anak di kuttab-kuttab  pada umumnya. Rencana pelajaran untuk pendidikan di istana pada garis besarnya  sama dengan rencana pelajaran pada kuttab-kuttab hanya sedikit ditambah dan dikurangi sesuai dengan kehendak orang tua mereka.[23] 
          Dalam catatan sejarah membuktikan bahwa perkembangan kuttab berlangsung dengan pesat. Dahhak bin Muzahim, seorang mufasir, memiliki kuttab yang menampung murid sebanyak 3000 orang, sehingga Dahhak bin Muzahim harus menunggangi keledai untuk mengecek murid-muridnya. Pada sisi lain, dalam periode Mamluk, hampir setiap pendiri kuttab mendirikan kuttab sabil, yaitu kuttab  untuk anak yatim piatu. Pendidikan di kuttab sabil diberikan secara gratis.[24]
          Kuttab merupakan tempat pertama seorang anak belajar membaca Alquran, menulis, prinsip-prinsip agama, bahasa dan ilmu hitung. Kesenian menulis atau kaligrafi sangat diperhatikan pula karena merupakan bagian dari kesenian lukis-melukis. Di kuttab disediakan pengasuh-pengasuh khusus di bidang tesebut di atas secara penuh. Demikian pula, Rasulullah saw. sendiri telah mempekerjakan orang-orang Islam (para sahabat) yang tahu tulis baca untuk mencatat ayat-ayat Alquran. Untuk mengajar kaum muslimin pun beliau meminta bantuan orang non-Muslim untuk mengajar kaum Muslimin membaca dan menulis karena pada masa itu jumlah kaum Muslimin yang pandai tulis baca masih sedikit.[25]
          Keterampilan tulis baca – yang merupakan materi utama pendidikan kuttab – menjadi semakin penting sejalan dengan berkembangya komunitas Muslim Madinah. Kebutuhan paling penting, tentunya, adalah mencatat wahyu yang diterima oleh Nabi Muhammad saw. dari waktu ke waktu. Tetapi tulis-baca ini juga dibutuhkan untuk memungkinkan komunikasi antara umat Islam dengan suku-suku dan bangsa-bangsa lain. Tulis-baca sebagai sebuah prioritas penting dapat dilihat dalam peristiwa pembebasan beberapa tawanan perang badar.[26]
b)    Masjid
          Masjid juga berperan dalam pendidikan Islam. Masjid pada masa Rasulullah saw. dijadikan tempat untuk memberi pelajaran. Di antara siswa yang menjadi siswa di Masjid Nabi adalah Ali bin Abi Talib dan Abdullah bin Abbas. Di dalam masjid dipelajari kaidah-kaidah hukum agama.[27]
          Struktur pengajian di Masjid Nabi lebih merupakan bentuk nonformal. Walau bagaimanapun struktur pengajian yang lebih sistemik dan formal dapat diadakan apabila sebuah surau didirikan bersambungan dengan masjid tersebut lalu diberi nama al-Suffah. Oleh karena struktur pengajian di sini lebih sistemik dan formal.[28] Di masjid juga diberikan pengajaran tentang kesehatan dan oba-obatan (medicine).[29]
          Pada masa pemerintahan Umar bin Khattab, negeri Persi, Syam, Mesir dan seluruh semenanjung tanah Arab ditaklukkan.[30] Khalifah Umar bin Khattab telah memerintahkan para gubernurnya untuk mendirikan masjid-masjid di semua negeri dan kota-kota yang telah dikuasai oleh pemerintah Islam. Pada abad ketiga hijrah, kota Bagdad sudah penuh dengan masjid, demikian pula kota Mesir. Atas perintah khalifah, masjid yang pertama kali dibangun adalah masjid Amru bin Ash. Di masjid ini diberikan pelajaran-pelajaran agama dan akhlak dan secara berangsur-angsur pula pelajaran-pelajaran di masjid ini semakin meningkat.[31]
          Pada masa khalifah Umar bin Khattab juga ada instruksi kepada penduduk kota supaya diajarkan kepada anak-anak mereka tentang berenang, mengendarai kuda, memanah, dan membaca serta menghafal syair-syair mudah dan peribahasa. Instruksi Umar itu dilaksanakan oleh guru-guru di tempat-tempat yang dapat dilaksanakan. Misalnya berenang dapat dilaksanakan di kota-kota yang mempunyai sungai seperti di Irak, Syam, Mesir dan lain-lain.[32]
          Pada masa Abbasyiah, sekolah-sekolah terdiri dari beberapa tingkat:
a.     Tingkat sekolah rendah, yaitu kuttab untuk tempat belajar anak-anak. Di samping kuttab ada pula anak-anak belajar di rumah, di istana, di toko-toko dan di pinggir pasar.
b.     Tingkat sekolah menengah, yaitu di masjid dan di majelis sastra dan ilmu pengetahuan, sebagai sambungan dari kuttab.
c.      Tingkat perguruan tinggi, seperti Baitul Hikmah di Bagdad, dan Darul Ilmi di Mesir, di masjid-masjid dan lain-lain.[33]
c)     Majelis Taklim
          Majelis taklim merupakan lembaga pendidikan tertua dalam Islam, sebab sudah dilaksanakan sejak zaman Rasulullah saw. Meskipun tidak disebut dengan majelis taklim, pengajian Nabi Muhammad saw. yang berlangsung secara sembunyi-sembunyi di rumah Arqam bin Abil Arqam  di zaman Rasul saw. atau periode Mekah dapat dianggap sebagai majelis taklim dalam konteks sekarang. Pada periode Madinah, ketika Islam telah menjadi kekuatan nyata dalam masyarakat, penyelenggaraan pengajian itu lebih pesat. Rasulullah saw. duduk di masjid Nabawi untuk memberikan pengajian kepada para sahabat dan kaum muslimin ketika itu. Hingga saat ini di Masjidilharam terdapat pengajian (majelis taklim) yang diasuh ulama-ulama terkenal dan terkemuka serta dikunjungi para jamaah.[34]
          Pada masa berlangsungnya gerakan tajdid, pembelajaran pada bidang pendidikan umum tidak begitu dianggap. Sesuatu yang ada pada masa itu adalah pengkajian pada bidang spiritual, sehingga kajian spiritual mengalami agredasi. Idealnya adalah pembelajaran dilakukan dengan tidak memisahkan antara ilmu-ilmu umum (ulum al-gharbiyah) dengan ilmu-ilmu agama (ulum ad-diniyah). Dari kedua model keilmuan ini seharusnya dapat diintegrasikan. Praktik pengintegrasian keilmuan ini telah dijalankan oleh masjid dan madrasah pada masa awal berdirinya.[35]

2.     Kebijakan Tentang Pendidikan Keagamaan Berdasarkan UU No. 20 Tahun 2003 dan PP No. 55 Tahun 2007
          Ada beberapa pasal dalam UU No. 20 Tahun 2003 yang menyinggung tentang pendidikan Islam. Di dalam aturan tersebut setidaknya ada tiga hal yang terkait dengan pendidikan Islam. Pertama, kelembagaan formal, nonformal, dan informal didudukkannya lembaga madrasah sebagai salah satu lembaga pendidikan formal yang diakui keberadaannya setara dengan lembaga pendidikan sekolah, dan dipertegas pula tentang kedudukannya sebagai sekolah yang berciri khas agama Islam. Selanjutnya diakui majelis taklim sebagai pendidikan nonformal dan masuknya Raudhatul Athfal sebagai lembaga pendidikan anak usia dini, dan dipertegas pula tentang pesantren sebagai lembaga pendidikan keagamaan. Kedua, pendidikan Islam sebagai mata pelajaran, dikukuhkannya mata pelajaran agama sebagai salah satu mata pelajaran yang wajib diberikan kepada peserta didik di semua jalur, jenis, dan jenjang pendidikan. Ketiga, pendidikan Islam sebagai nilai,  terdapat seperangkat nilai-nilai Islami dalam sistem pendidikan nasional.[36]
          Dalam pasal 1 Undang-Undang Republik Indonesia No. 20 Tahun 2003 dinyatakan bahwa pendidikan formal adalah jalur pendidikan yang terstruktur dan berjenjang yang terdiri atas pendidikan dasar, pendidikan menengah dan pendidikan tinggi. Pendidikan nonformal adalah jalur pendidikan di luar pendidikan formal yang dapat dilaksanakan secara terstruktur dan berjenjang. Pendidikan informal adalah jalur pendidikan keluarga dan lingkungan.[37]
          Keberadaan lembaga pendidikan Islam sebagai lembaga formal dinyatakan dalam pasal 17 bahwa pendidikan dasar berbentuk Sekolah Dasar (SD) dan Madrasah Ibtidaiyah (MI) atau bentuk lain yang sederajat serta Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan Madrasah Tsanawiyah (MTs) atau bentuk lain yang sederajat. Mengenai pendidikan menengah dinyatakan dalam pasal 18 bahwa Pendidikan Menengah berbentuk Sekolah Menengah Atas (SMA), Madrasah Aliyah (MA), Sekolah Menengah Kejuruan (SMK), dan Madrasah Aliyah Kejuruan (MAK) atau bentuk lain yang sederajat. Sedangkan dalam pasal 20 dinyatakan bahwa pendidikan tinggi dapat berbentuk Akademi, Politeknik, Sekolah Tinggi, Institut, atau Universitas.[38]
          Selanjutnya, dalam pasal 26 dinyatakan bahwa pendidikan nonformal diselenggarakan bagi warga masyarakat yang memerlukan layanan pendidikan yang berfungsi sebagai pengganti, penambah, dan/atau pelengkap pendidikan formal dalam rangka mendukung pendidikan sepanjang hayat. Satuan pendidikan nonformal terdiri atas lembaga kursus, lembaga pelatihan, kelompok belajar masyarakat, dan majelis taklim, serta satuan pendidikan yang sejenis. Hasil pendidikan nonformal dapat dihargai setara dengan hasil program pendidikan formal setelah melalui proses penilaian penyetaraan oleh lembaga yang ditunjuk oleh Pemerintah atau pemerintah daerah dengan mengacu pada standar nasional pendidikan.[39]
          Dalam pasal 27 dinyatakan bahwa kegiatan pendidikan informal yang dilakukan oleh keluarga dan lingkungan berbentuk kegiatan belajar secara mandiri. Hasil pendidikan informal diakui sama dengan pendidikan formal dan nonformal setelah peserta didik lulus ujian seseuai dengan standar nasional pendidikan.[40]
          Mengenai pendidikan keagamaan, dalam pasal 30 dinyatakan bahwa pendidikan keagamaan diselenggarakan oleh Pemerintah dan/atau kelompok masyarakat dari pemeluk agama, sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Pendidikan keagamaan berfungsi mempersiapkan peserta didik menjadi anggota masyarakat yang memahami dan mengamalkan nilai-nilai ajaran agamanya dan/atau menjadi ahli ilmu agama. Pendidikan keagamaan dapat diselenggarakan jalur pendidikan formal, nonformal, dan informal.[41]
          Pendidikan keagamaan yang tercantum dalam Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 dijabarkan dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 55 Tahun 2007.  Dalam pasal 1 PP No. 55 Tahun 2007 dinyatakan bahwa pendidikan agama adalah pendidikan yang memberikan pengetahuan dan membentuk sikap, kepribadian, dan keterampilan peserta didik dalam mengamalkan ajaran agamanya, yang dilaksanakan sekurang-kurangnya melalui mata pelajaran/kuliah pada semua jalur, jenjang, dan jenis pendidikan. Pendidikan keagamaan adalah pendidikan yang mempersiapkan peserta didik untuk dapat menjalankan peranan yang menuntut penguasaan pengetahuan tentang ajaran agama dan/atau menjadi ahli ilmu agama dan mengamalkan ajaran agamanya.[42]
          Selanjutnya dalam pasal 4 dinyatakan bahwa pendidikan agama pada pendidikan formal dan program pendidikan kesetaraan sekurang-kurangnya diselenggarakan dalam bentuk matapelajaran atau kuliah agama. Dalam pasal 9 dinyatakan bahwa pendidikan keagamaan diselenggarakan pada jalur pendidikan formal, nonformal, dan informal.[43]
          Dalam pasal 11 ayat (2) dinyatakan bahwa hasil pendidikan keagamaan nonformal dan/atau informal dapat dihargai sederajat dengan hasil pendidikan formal keagamaan/umum/kejuruan setelah lulus ujian yang diselenggarakan oleh satuan pendidikan yang terakreditasi yang ditunjuk oleh Pemerintah dan/atau pemerintah daerah. Pasal 13 PP No. 55 Tahun 2007 menyatakan bahwa pendidikan keagamaan jalur nonformal yang tidak berbentuk satuan pendidikan yang memiliki peserta didik 15 orang atau lebih merupakan program pendidikan yang wajib mendaftarkan diri kepada Kantor Departemen Agama Kabupaten/Kota.[44]        
          Dalam pasal 14 dinyatakan bahwa pendidikan keagamaan Islam berbentuk pendidikan diniyah dan pesantren. Pendidikan diniyah diselenggarakan pada jalur formal, nonformal, dan informal. Pendidikan diniyah formal menyelenggarakan pendidikan ilmu-ilmu yang bersumber dari ajaran  agama Islam pada jenjang pendidikan usia dini, pendidikan dasar, pendidikan menengah dan pendidikan tinggi.[45]
          Pendidikan diniyah nonformal diselenggarakan dalam bentuk pengajian kitab, majelis taklim, pendidikan Alquran, diniyah taklimiyah atau bentuk lain yang sejenis. Pendidikan diniyah nonformal yang berkembang menjadi satuan pendidikan wajib mendapatkan izin dari kantor Departemen Agama Kabupaten/Kota setelah memenuhi ketentuan tentang persyaratan pendirian satuan pendidikan.
          Pasal 22 menyatakan bahwa pengajian kitab diselenggarakan dalam rangka mendalami ajaran Islam dan/atau menjadi ahli ilmu agama Islam. Pengajian kitab dilaksanakan di pondok pesantren, masjid, mushalla atau tempat lain yang memenuhi syarat. Begitu juga majelis taklim dapat dilaksanakan di masjid, mushalla, atau tempat lain yang memenuhi syarat.[46]
          Pasal 24 menyatakan bahwa pendidikan Alquran terdiri dari Taman Kanak-Kanak Alquran (TKQ), Taman Pendidikan Alquran (TPQ), Ta’limul Qur’an lil Aulad (TQA), dan bentuk lain yang sejenis. Kurikulum pendidikan Alquran adalah membaca, menulis, dan menghafal ayat-ayat Alquran, tajwid, serta menghafal doa-doa utama. Pendidik pada pendidikan Alquran minimal lulusan pendidikan diniyah menengah atas atau yang sederajat, dapat membaca Alquran dengan tartil dan menguasai teknik pengajaran Alquran.[47]
          Pasal 26 menyatakan bahwa pesantren menyelenggarakan pendidikan diniyah atau secara terpadu dengan jenis pendidikan lainnya pada jenjang pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, menengah, dan/atau pendidikan tinggi. Peserta didik dan/atau pendidik di pesantren yang diakui keahliannya di bidang ilmu agama tetapi tidak memiliki ijazah pendidikan formal dapat menjadi pendidik mata pelajaran/kuliah pendidikan agama di semua jalur, jenjang, dan jenis pendidikan yang memerlukan, setelah menempuh uji kompetensi sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.[48]
3.     Praktik Pendidikan Islam di Indonesia
          Pada awal berkembangnya agama Islam di Indonesia, pendidikan Islam dilaksanakan secara informal. Hal tersebut tampak dari kegiatan para pedagang muslim, sambil berdagang mereka menyiarkan agama Islam. Setiap ada kesempatan, para pedagang memberikan pendidikan dan ajaran agama Islam.[49]
          Pendidikan Islam di langgar bersifat elementer, dimulai dengan mempelajari abjad huruf Arab atau kadang-kadang langsung mengikuti guru dengan menirukan apa yang telah dibaca dari kitab suci Alquran.  Pendidikan di langgar dikelola oleh seorang petugas yang disebut amil, modin atau lebai. Pelajaran memakan waktu beberapa bulan tetapi pada umumnya sekitar satu tahun.
          Pengajian Alquran pada pendidikan langgar dibedakan kepada dua macam, yaitu:
a.     Tingkat rendah; merupakan tingkat pemula, yaitu mulainya mengenal huruf Alquran sampai bisa membacanya.
b.     Tingkat atas; pelajarannya selain tersebut di atas, ditambah lagi dengan pelajaran lagu, qasidah, barzanji, tajwid serta mengaji kitab perukunan.[50]
          Memang, dalam bentuk yang permulaan, pendidikan agama Islam di surau atau langgar atau masjid masih sangat sederhana. Modal pokok pelaksanaan pendidikan yang dimiliki hanya semangat menyiarkan agama bagi yang telah mempunyai ilmu agama, dan semangat menuntut ilmu.[51]
          Pada masa kerajaan Islam di Indonesia, sistem pendidikan Islam berlangsung secara informal berupa majelis taklim dan halaqah. Materi pendidikan Islam adalah bidang syariat dalam mazhab Syafi’i. Tokoh pemerintahan merangkap sebagai tokoh agama. Biaya pendidikan agama bersumber dari negara. Hal ini terjadi di kerajaan Samudera Pasai.[52]
          Ada pula suatu lembaga pendidikan lainnya berupa majelis taklim tinggi, yang dihadiri khusus oleh para murid yang sudah alim dan mendalam ilmunya. Pada majelis taklim ini diajarkan kitab-kitab agama yang punya bobot dan pengetahuan tinggi, seperti kitab al-Umm karangan Imam Syafi’i dan sebagainya. Hal ini terjadi di kerajaan Islam Perlak. Bahkan, Sultan Mahdum alauddin Muhammad Amin yang memerintah antara tahun 1243-1267 M mendirikan semacam perguruan tinggi Islam pada saat itu.[53]
           Bidang pendidikan di Kerajaan Aceh Darussalam mendapat perhatian besar. Pada saat itu terdapat lembaga-lembaga negara yang bertugas dalam bidang pendidikan dan ilmu pengetahuan, di antaranya:
a.     Balai Seutia Hukama;
          Merupakan lembaga ilmu pengetahuan, tempat berkumpulnya para ulama, ahli pikir dan cendikawan untuk membahas dan mengembangkan ilmu pengetahuan.
b.     Balai Seutia Ulama
          Merupakan jawatan pendidikan yang bertugas mengurus masalah-masalah pendidikan dan pengajaran.
c.      Balai Jamaah Himpunan Ulama
          Merupakan kelompok studi tempat para ulama sarjana berkumpul untuk bertukar pikiran membahas persoalan-persoalan pendidikan dan ilmu pendidikannya.
          Adapun jenjang pendidikan yang ada adalah sebagi berikut:
a.     Meunasah (Madrasah)
          Terdapat di setiap kampung, berfungsi sebagai sekolah dasar. Materi-materi yang diajarkan yaitu: menulis dan membaca huruf Arab, ilmu agama, bahasa Jawi/Melayu, akhlak dan sejarah Islam.
b.     Rangkang
          Diselenggarakan di setiap mukim, merupakan masjid sebagai tempat berbagai aktivitas umat termasuk pendidikan. Rangkang adalah setingkat madrasah tsanawiyah. Materi yang diajarkan adalah bahasa Arab, ilmu bumi, sejarah, berhitung (hisab), akhlak, fikih, dll.
c.      Dayah
          Terdapat di setiap daerah ulebalang dan terkadang dan terkadang berpusat di masjid, dapat disamakan dengan madrasah aliyah sekarang. Materi yang diajarkan meliputi fikih, bahasa Arab, tauhid, tasawuf, ilmu bumi, sejarah, tatanegara, ilmu pasti dan faraid.
d.     Dayah Teuku Cik
          Dapat disamakan dengan perguruan tinggi atau akademi. Materi yang diajarkan adalah fikih, tafsir, hadis, tauhid, akhlak, ilmu bumi, ilmu bahasa dan sastra Arab, sejarah dan tata negara, mantik, ilmu falak, dan filsafat.[54]

          Fachruddin mengatakan bahwa masjid yang ada di kerajaan Pasai pada masa itu merupakan tempat berkumpul para ulama lintas daerah dan bahkan negara. Masjid pada masa itu memiliki posisi sebagai lembaga pendidikan tinggi formal Islam. Bahkan, para ulama dalam dan luar negeri menjadikan masjid di Pasai sebagai tempat pertemuan.[55]
          Masjid berperan sangat penting dalam pendidikan Islam di Indonesia. Masjid dianggap sebagai lembaga pendidikan Islam tertua di Indonesia, sebelum adanya pesantren. Masjid berfungsi sebagai lembaga pendidikan penyempurna pendidikan dalam keluarga. Biasanya di masjid diberikan pengajian dasar yang biasa disebut pengajian Alquran. Akan tetapi di beberapa daerah, masjid berfungsi sebagai pesantren. Masjid pada masa itu merupakan lembaga pendidikan formal, dan sekaligus lembaga pendidikan sosial.[56]
          Saat ini, keberadaan majelis taklim merupakan salah satu lembaga pendidikan Islam yang bersifat nonformal, yang senantiasa menanamkan akhlak yang luhur dan mulia, meningkatkan kemajuan ilmu pengetahuan dan keterampilanya jamaahnya. Majelis taklim juga merupakan lembaga pendidikan masyarakat, yang tumbuh dan berkembang dari kalangan masyarakat Islam itu sendiri.
          Ada beberapa hal yang membedakan majelis taklim dengan lembaga pendidikan Islam lainnya, yaitu:
a.     Majelis taklim adalah lembaga pendidikan nonformal Islam.
b.     Waktu belajarnya berkala tapi teratur, tidak setiap hari sebagaimana halnya  sekolah atau madrasah.
c.      Pengikut atau pesertanya disebut jamaah bukan santri.
d.     Tujuannya yaitu memasyaraktkan ajaran Islam.
          Majelis taklim merupakan lembaga pendidikan nonformal yang menyelenggarakan pengajian Islam. Lembaga ini berkembang dalam lingkungan masyarkat muslim di Indonesia. Penamaan majelis taklim lebih banyak ditemukan di Jakarta, sementara di daerah-daearah lain lebih dikenal dengan “Pengajian Agama Islam”. Musyawarah Majelis Taklim se-DKI Jakarta (9-10 Juli 1980 di Jakarta) telah memberi batasan yang lebih definitif tentang pengertian majelis taklim; yaitu suatu lembaga pendidikan nonformal Islam yang memiliki kurikulum tersendiri, diselenggarakan secara berkala dan teratur dan diikuti oleh jamaah yang relatif banyak.[57]
          Bentuk pengajian agama seperti ini mengambil pelajaran dari praktek yang dilakukan Nabi Muhammad saw, baik sewaktu berada di Mekah maupun setelah berada di Madinah, ketika ia menyampaikan ajaran Islam dan berhadapan langsung dengan para sahabatnya. Demikian juga perkembangan di zaman kejayaan Islam masa Kekhalifahan Abbasyiah, sampai pada pengajian agama yang dilaksanakan para wali ketika mensyiarkan Islam di Indonesia.
          Metode penyajian Majelis Taklim dapat dikategorikan menjadi: (a) metode ceramah, terdiri dari ceramah umum; (b) metode halaqah; dan (c) metode campuran, yakni melaksanakan berbagai metode sesuai dengan kebutuhan. Materi yang diajarkan dalam majelis taklim mencakup: pembacaan Alquran serta tajwidnya, tafsir bersama ulumul quran, hadis dan mustalahnya, fikih dan usul fikih, akhlak, ditambah lagi dengan materi-materi yang dibutuhkan para jemaah misalnya masalah penanggulangan kenakalan anak, masalah Undang-Undang Perkawinan, dan lain-lain.[58]
          Dalam Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 dijelaskan tentang pendidikan nonformal, pasal 26: satuan pendidikan nonformal terdiri atas lembaga kursus, lembaga pelatihan, kelompok belajar, pusat kegiatan belajar masyarakat, dan majelis taklim serta satuan pendidikan sejenis. Dengan demikian, pendidikan Islam itu bisa dilaksanakan dalam bentuk lembaga kursus, misalnya kursus membaca dan menafsirkan Alquran, bisa dalam bentuk pelatihan, misalnya pesantren kilat, bisa dalam bentuk kelompok belajar dan pusat kegiatan belajar masyarakat serta yang banyak tersebar di masyarakat adalah dalam bentuk majelis taklim.[59]
          Terkait dengan pendidikan nonformal, di beberapa daerah provinsi atau kabupaten di Indonesia menyikapi PP No. 55 Tahun 2007 dengan mengeluarkan Peraturan Daerah (Perda). Perda yang dikeluarkan memperkuat PP No. 55 Tahun 2007. Salah satu fokus kebijakan Perda tersebut adalah kewajiban bagi anak mengikuti pendidikan Madrasah Diniyah Taklimiyah Awwaliyah (MDTA). Bahkan ada daerah yang mengeluarkan Perda sebelum terbitnya PP. No. 55 Tahun 2007.
          Konsekuensi dari Perda ini adalah  setiap siswa Muslim wajib memiliki ijazah  MDTA  apabila akan melanjutkan pendidikan ke SMP/MTs. Daerah-Daerah yang telah mengeluarkan Perda ini adalah Kabupaten Indramayu melalui Perda No. 2 Tahun 2003, Kabupaten Pandeglang Provinsi Banten melalui Perda No. 27 Tahun 2007, Kabupaten Purwakarta mengeluarkan Perda tahun 2008, Kabupaten Pesisir Selatan melalui Perda No. 8 Tahun 2004, dan Kota Padang melalui Perda No. 6 Tentang Wajib Baca Tulis Alquran.[60]
          Akhir-akhir ini, pada tahun 2009 mencuat wacana program home schooling. Keberadaan home schooling ramai diperbincangkan di kalangan akademisi. Seto Mulyadi, pakar psikolog anak juga terlibat aktif dalam wacana ini.
          Fachruddin mengatakan bahwa sesungguhnya program home schooling memiliki kesamaan dengan praktik dār yang ada dalam dunia Islam. Ini berarti bahwa Islam telah memulai lebih dahulu praktik pendidikan di dalam rumah tangga (pendidikan informal). Bahkan lebih tegas lagi Nabi saw. telah mempraktikkan secara langsung pendidikan informal. Ketika Nabi saw. menyampaikan dakwah Islam pertama kali kepada keluarganya, ini merupakan praktik pendidikan informal pada masa itu. Pada sisi lain, ketika Nabi saw. menerangkan wahyu kepada para sahabatnya, hal ini merupakan contoh praktik pendidikan nonformal pada masa itu.[61]

C.   Penutup
          Kesimpulan dari makalah ini adalah bahwa kebijakan pendidikan Islam yang berlaku pada masa Nabi saw.  hingga periode dinasti Abbasyiah memberikan gambaran tentang pelaksanaan pendidikan Islam. Pendidikan dasar diselenggarakan secara formal dan informal. Pendidikan secara formal diselenggarakan oleh negara berikut dengan pembiayaannya. Pada sisi lain dibuka pula kesempatan untuk anak-anak yatim piatu yang miskin untuk dapat bersekolah secara gratis (kuttab sabil).
          Anak-anak pada masa dinasti Umayyah sudah dipersiapkan pengetahuan mereka tentang tugas-tugas kenegaraan. Lembaga pendidikan dasar untuk anak-anak pembesar dinasti sedikit berbeda dengan lembaga pendidikan dasar pada umumnya. Perbedaan itu tampak pada kurikulum  yang dikembangkan di lembaga pendidikan dasar.
          Guru di lembaga pendidikan formal pada masa itu dimungkinkan untuk menempati jabatan pembesar di pemerintahan. Hal ini dialami oleh Hajjaj bin Yusuf as-Saqafi.
          Dari uraian di atas juga dapat disimpulkan bahwa telah terjadi pergeseran trend bentuk lembaga pendidikan. Pada masa Islam klasik dan pada masa Islam di kerajaan Pasai, masjid menempati peran sebagai lembaga pendidikan formal. Akan tetapi dalam PP No. 55 Tahun 2007 dinyatakan bahwa pengajaran yang diberikan di masjid merupakan bagian dari pelaksanaan pendidikan nonformal.
          Selanjutnya, saat ini melalui UU No. 20 Tahun 2003 dan PP No. 55 Tahun 2007 diatur pelaksanaan pendidikan keagamaan formal, nonformal, dan informal. Pendidikan keagamaan (diniyah)  dapat diselenggarakan pada jenjang pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, pendidikan menengah dan pendidikan tinggi. Kemudian, pendidikan diniyah nonformal dapat diselenggarakan dalam bentuk pengajian kitab, majelis taklim, pendidikan Alquran, diniyah taklimiyah, atau bentuk lain yang sejenis. Pendidikan diniyah informal dapat diselenggarakan dalam keluarga dan lingkungan. Baik pendidikan diniyah formal, nonformal dan informal, semuanya itu merupakan kebijakan yang diberlakukan oleh Pemerintah untuk membuka akses yang seluas-luasnya dalam mempelajari agama.
          Hemat pemakalah, terdapat kebijakan baru dalam PP No. 55 tahun 2007 dibandingkan dengan kebijakan yang pernah terjadi pada                              masa pendidikan Islam pada masa lalu. Kebijakan baru tersebut adalah                      adanya pengakuan kesetaraan atau sederajat hasil pendidikan                       keagamaan nonformal dan/atau informal  dengan hasil pendidikan formal keagamaan/umum/kejuruan setelah lulus ujian yang diselenggarakan oleh Pemerintah dan/atau pemerintah daerah (Pasal 11 ayat (2), PP No. 55 Tahun 2007).
          Konsekuensi dari kebijakan yang terdapat dalam Pasal 11 ayat (2) PP No. 55 Tahun 2007 adalah diwajibkan bagi pihak yang menyelenggarakan pendidikan keagamaan nonformal bilamana telah memiliki jamaah (bagi majelis taklim) atau siswa (bagi madrasah diniyah taklimiyah) yang jumlahnya melebihi dari 15 orang untuk melapor/mendaftar ke Kantor Departemen Agama (Kantor Kementerian Agama)  Kabupaten atau Kota. Langkah ini dilakukan guna mendapatkan pengakuan yang lebih “formal” pada lembaga pendidikan nonformal karena sudah mendaftarkan lembaga pendidikan keagamaan nonformal. Hasil dari langkah ini adalah diperolehnya pengakuan kesetaraan ijazah lembaga pendidikan keagamaan nonformal setelah lulus uji kompetensi dari satuan pendidikan yang sudah terakreditasi yang ditunjuk oleh Departemen Agama.
         
  
DAFTAR PUSTAKA
Al-Abrasyi, Muhammad Athiyah. Prinsip-Prinsip Dasar Pendidikan Islam. Bandung: Pustaka Setia, 2003.

Asari, Hasan Asari. Menyingkap Zaman Keemasan Islam. Bandung: Citapustaka Media, 2007.

Azra, Azyumardi. Pendidikan Islam Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru. Jakarta: Logos, 1999.

Daulay, Haidar Putra. Pendidikan Islam Dalam Sistem Pendidikan Nasional. Cetakan II. Jakarta: Kencana, 2007.

---------------------------. Sejarah Pertumbuhan Dan Pembaruan Pendidikan Islam Di Indonesia. Jakarta: Kencana, 2007.

Dewan Penyusun Ensiklopedi Islam. Ensiklopedi Islam. Jakarta: PT. Ichtiar Baru van Houve,  2003.

Gibb, H.A.R. dan  J.H.Kramers, Shorter Encyclopaedia of Islam. Leiden: E.J. Brill, 1961.

Hasbullah. Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 1995.

Langgulung, Hasan. Pendidikan Islam Dalam Abad ke 21. Jakarta: PT. Pustaka Alhusna Baru, 2003.

Makdisi, George. The Rise of Colleges. Edinburgh: Edinburgh University Press, 1981.

Salinan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 55 Tahun 2007.

Stanton, Charles Michael. Pendidikan Tinggi Dalam Islam, Terj. Affandi dan Hasan Asari. Jakarta: Logos, 1994.

Suwito dan Fauzan (Ed). Sejarah Sosial Pendidikan Islam, Cetakan II. Jakarta: Kencana,  2008.

Syalabi, Ahmad. History of Muslim Education. Beirut: Dar al-Kasyaf, 1954.

Undang-Undang RI No. 20 Tahun 2003. Jakarta: Cemerlang, 2003.

Yunus, Mahmud. Sejarah Pendidikan Islam. Jakarta: PT. Hidakarya Agung, 1981.

Wahid, Ramli Abdul. Makalah: Peran Madrasah Diniyah Dalam Membentuk Karakter Anak Bangsa. 20 Januari 2011.


           




           


                [1]Azyumardi Azra, Pendidikan Islam Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru (Jakarta: Logos, 1999), h. vii.
                [2]Hasan Asari, Menyingkap Zaman Keemasan Islam (Bandung: Citapustaka Media, 2007), h. 7.
                [3]Ahmad Syalabi, History of Muslim Education (Beirut: Dar al-Kasyaf, 1954), h. 16.
                [4]Asari, Menyingkap Zaman, h. 24.
                [5]Azra, Pendidikan Islam, h. vii.
                [6]Penjelasan Prof. Dr. H. Fachruddin, M.A dalam seminar kelas matakuliah Kebijakan Pendidikan Islam, judul makalah Pendidikan Islam Formal, Nonformal, dan Informal, tanggal 18 Januari 2011. 
                [7]Ibid.
                [8]George Makdisi, Rise of Colleges (Edinburgh: Edinburgh University Press, 1981), h. 27.
                [9] Penjelasan Prof. Dr. H. Fachruddin, M.A dalam seminar kelas matakuliah Kebijakan Pendidikan Islam, judul makalah Pendidikan Islam Formal, Nonformal, dan Informal, tanggal 18 Januari 2011.  
                [10]Charles Michael Stanton, Pendidikan Tinggi Dalam Islam, Terj. Affandi dan Hasan Asari (Jakarta: Logos, 1994), h. 25.
                [11]Muhammad Athiyah al-Abrasyi, Prinsip-Prinsip Dasar Pendidikan Islam (Bandung: Pustaka Setia, 2003), h. 63.
                [12]Ibid., h. 64.
                [13]Azra, Pendidikan Islam, h. viii.
                [14]Ibid.
                [15]Ibid.
                [16]Suwito dan Fauzan (Ed), Sejarah Sosial Pendidikan Islam, Cetakan II (Jakarta: Kencana,  2008), h. 15.
                [17]Stanton, Pendidikan Tinggi, h. 154.
                [18]Ibid., h. 155.
                [19]Ibid., h. 166.
                [20]Dewan Penyusun Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam (Jakarta: PT. Ichtiar Baru van Houve,  2003), h. 86.
                [21] Ibid.
                [22] Ibid.
                [23]Suwito dan Fauzan, Sejarah Sosial, h. 13.
                [24]H.A.R Gibb dan J.H.Kramers, Shorter Encyclopaedia of Islam (Leiden: E.J. Brill, 1961), h. 300.
                [25] al-Abrasyi, Prinsip-Prinsip Dasar, h. 65.
                [26]Asari, Menyingkap Zaman, h. 25.
                [27] al-Abrasyi, Prinsip-Prinsip Dasar, h. 71.
                [28]Hasan Langgulung, Pendidikan Islam Dalam Abad ke 21 (Jakarta: PT. Pustaka Alhusna Baru, 2003), h. 18.
                [29] H.A.R Gibb dan J.H.Kramers, Shorter Encyclopaedia of Islam, h. 306.
                [30] Langgulung, Pendidikan Islam, h. 19.
                [31] al-Abrasyi, Prinsip-Prinsip Dasar, h. 72.
                [32]Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam (Jakarta: PT. Hidakarya Agung, 1981),                  h. 40.
                [33]Ibid., h. 48.
                [34]Hasbullah, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 1995), h. 203.
                [35] Penjelasan Prof. Dr. H. Fachruddin, M.A dalam seminar kelas matakuliah Kebijakan Pendidikan Islam, judul makalah Pendidikan Islam Formal, Nonformal, dan Informal, tanggal 18 Januari 2011.  
                [36]Haidar Putra Daulay, Pendidikan Islam Dalam Sistem Pendidikan Nasional, Cetakan II (Jakarta: Kencana, 2007), h. 9.
                [37]Undang-Undang RI No. 20 Tahun 2003 (Jakarta: Cemerlang, 2003), h. 4.
                [38]Ibid., h.14-15.
                [39]Ibid., h. 20.
                [40] Ibid.
                [41] Ibid., h. 22.
                [42]Salinan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 55 Tahun 2007.
                [43]Ibid.
                [44]Ibid.
                [45]Ibid.
                [46]Ibid.
                [47]Ibid.
                [48]Ibid.
                [49]Hasbullah, Sejarah Pendidikan Islam, h. 21.
                [50]Ibid., h. 23.
                [51]Ibid.
                [52]Ibid., h. 29.
                [53]Ibid., h. 30.
                [54]Ibid., h. 32.
                [55]Penjelasan Prof. Dr. H. Fachruddin, M.A dalam seminar kelas matakuliah Kebijakan Pendidikan Islam, judul makalah Pendidikan Islam Formal, Nonformal, dan Informal, tanggal 18 Januari 2011.  
                [56]Hasbullah, Sejarah Pendidikan Islam, h. 133.
                [57]Dewan Penyusun Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam, h. 121.
                [58]Ibid.
                [59]Haidar Putra Daulay, Sejarah Pertumbuhan Dan Pembaruan Pendidikan Islam Di Indonesia (Jakarta: Kencana, 2007), h. 151.
                [60]Ramli Abdul Wahid, Makalah: Peran Madrasah Diniyah Dalam Membentuk Karakter Anak Bangsa, disampaikan dalam seminar Ikatan Guru Diniyah Taklimiyah (IGDT) di Cadika, Lubuk Pakam, Deli Serdang, pada tanggal 20 Januari 2011.
                [61]Penjelasan Prof. Dr. H. Fachruddin, M.A dalam seminar kelas matakuliah Kebijakan Pendidikan Islam, judul makalah Pendidikan Islam Formal, Nonformal, dan Informal, tanggal 18 Januari 2011.

4 komentar: