Minggu, 06 Januari 2013

MENDIDIKKAN NILAI TOLERANSI


MENDIDIKKAN NILAI-NILAI TOLERANSI DALAM PEMBELAJARAN

Oleh: Ahmad Abrar Rangkuti
 Matakuliah: Pendidikan Nilai
Dosen Pembimbing: Dr. Al RASYIDIN, M.Ag


A. Pendahuluan

          Dalam kehidupan sosial kemasyarakatan di Indonesia diperlukan sikap toleransi, sebagai salah satu sikap hidup untuk mewujudkan kehidupan sosial kemasyarakatan yang tentram. Upaya untuk mewujudkan sikap toleransi itu  dilatarbelakangi oleh keberagaman bangsa Indonesia, antara lain, dalam hal  suku, bangsa, agama, dll. Sikap toleransi tersebut merupakan cerminan pola kehidupan sosial kemasyarakatan yang bermoral. Untuk mewujudkan sikap toleransi tersebut, salah satu usaha yang dapat dilakukan adalah pembelajaran mendidikkan nilai-nilai toleransi, yang dilaksanakan di lembaga pendidikan formal dengan menggunakan pendekatan dan strategi pembelajaran yang didesain agar pembelajaran dapat berlangsung secara efektif.
        Banyak masalah yang akan terjadi bila sikap toleransi dalam kehidupan tidak diterapkan. Sikap-sikap nir toleransi seperti scapegoating, bullying, stereotyping, dll dapat terjadi. Sikap-sikap nir toleransi tersebut akan melahirkan tindakan kekerasan sehingga akhirnya melahirkan ketidaktentraman dalam kehidupan. Misalnya saja di dalam suatu kelompok masyarakat, golongan tua menganggap golongan muda tidak dapat melakukan sesuatu sebaik apa yang pernah dilakukan oleh golongan tua, sebagai contoh dapat diketahui dalam hal kepemimpinan. Bahkan, dalam  pengamalan ibadah Islam yang menjadi bagian ajaran internal agama Islam sekalipun dapat terjadi sikap nir toleransi, misalnya, shalat dengan memakai doa  qunut atau tidak memakai doa qunut. Kondisi di atas menggambarkan bahwa sikap nir toleransi tersebut sesungguhnya telah terjadi dalam kehidupan sosial kemasyarakatan di sekitar kita, baik dalam lingkungan yang paling kecil (keluarga) hingga lingkungan yang paling besar (negara). Meskipun tidak menggambarkan kondisi secara keseluruhan kehidupan sosial kemasyarakatan, fenomena sikap-sikap nir toleransi tersebut di atas menggambarkan bahwa toleransi dengan nilai-nilai instrumental yang dimiliki tidak tampak dalam pengejawentahan di kehidupan sosial kemasyarakatan.
        Ketika nilai-nilai toleransi dididikkan kepada para peserta didik melalui pembelajaran di lembaga pendidikan formal, para peserta didik diharapkan mampu memahami, menginternalisasikan dan menerapkan sikap hidup toleransi sekaligus nilai-nilai instrumentalnya dalam kehidupan sosial kemasyarakatan mereka. Dimulai dari pelajar di lembaga pendidikan formal, usaha untuk  mewariskan  nilai-nilai  toleransi  dapat  menjadi bekal positif bagi para pelajar dalam menjalani kehidupan sosial kemasyarakatan mereka pada saat ini dan pada masa mendatang.

B. Mendidikkan Nilai Toleransi Dalam Pembelajaran
1.   Pengertian Toleransi
Toleransi dalam bahasa Indonesia pada bentuk nomina berarti: (1) sifat atau sikap toleransi; (2) batas ukur untuk penambahan atau pengurangan yang masih diperbolehkan, dan; (3) penyimpangan yang masih dapat diterima dalam pengukuran kerja. Toleransi dalam bentuk verba berarti mendiamkan atau membiarkan.[1]
Toleransi bermakna sebagai suatu bentuk sikap atau kondisi kemasyarakatan. Toleransi sebagai suatu kondisi kemasyarakatan berhubungan erat dengan sikap yang dianut secara luas di kalangan masyarakat.  Sebagai bagian dari penilaian yang dilakukan oleh masyarakat, sikap toleransi akan dinilai sama sebagai suatu sifat yang diinginkan oleh masyarakat dalam kehidupannya. Oleh karena itu, masyarakat akan mendidik warganya untuk menilai dan melatihkan sikap toleransi.[2]
Dalam bahasa Arab toleransi disebut tasamuh. Toleransi dalam hal ini berarti suatu sikap menerima pihak lain dan menghargai perbedaan. Dalam makna yang sederhana pada beberapa kandungan arti kata, makna toleransi dalam bahasa Arab terintegrasi dalam kata-kata seperti,  cinta, damai, persahabatan, kerja sama, tanggung jawab, tulus, dan berhasil. Dengan kata lain wujud toleransi dapat dilihat dari sikap-sikap tersebut di atas. Dalam bahasa Inggris toleransi disebut tolerance yang berarti suatu sikap menerima pihak lain, yaitu menerima perbedaan, apakah perbedaan budaya, agama, tradisi, bahasa, kebiasaan, dll.  Toleransi  juga  bermakna  Acknowledgment  of others’ rights to live and to be  (pengakuan terhadap hak hidup dan hak menjadi pada diri orang lain)[3] 
        UNESCO memberikan pengertian toleransi salah satunya sebagai: “Tolerance is not an end but a means; it is the minimal essential quality of social relations  that eschew violence and coercion. Without tolerance, peace is not possible. With tolerance, a panoply of positive human and social possibilities can be pursued, including the evolution of a culture of peace.”[4] (Toleransi bukanlah sebagai sebuah jalan akhir tetapi toleransi merupakan jalan tengah; toleransi merupakan ukuran esensial yang minimal dari bentuk hubungan sosial yang mampu menolak terjadinya kekerasan. Tanpa toleransi, kedamaian tidak mungkin terwujud. Dengan toleransi kekuatan hubungan antara manusia dapat dicapai, di antaranya meliputi evolusi dalam menciptakan budaya hidup yang damai)
        Parameter yang dapat digunakan untuk mengukur terlaksananya toleransi dalam kehidupan adalah ajaran yang terdapat di dalam kitab suci, budaya dan politik. Di dalam Islam, misalnya, terdapat prinsip-prinsip tentang pelaksanaan toleransi yang termuat di dalam Alquran. Alquran dengan tegas memberi panduan bahwa dalam hal melaksanakan hubungan dengan penganut agama selain Islam perlu memperhatikan:
a)  Prinsip tentang tidak boleh memaksakan ajaran agama kepada orang yang beragama lain (la ikraha fi al-din)
b)  Prinsip tentang tidak boleh menghina Tuhan agama lain, karena mereka yang diejek akan lebih menghina Tuhan orang yang mengejek agama mereka.
c)  Prinsip tentang lakum dinukum wa liyadin yaitu prinsip tentang keharusan menjaga nilai-nilai keislaman untuk tidak dicampuradukkan dengan nilai-nilai agama lain.[5]
Dari pendapat di atas dapat diketahui bahwa toleransi merupakan suatu sikap pengakuan yang menunjukkan batas ukur yang masih diperbolehkan yang memiliki nilai-nilai yang dianut oleh sekelompok masyarakat. Meskipun pada pengertian verba toleransi bermakna mendiamkan atau membiarkan, toleransi tidak berarti menggambarkan sikap pasif apalagi permisif. Pembiaran yang dimaksud dalam hal ini adalah sikap yang dimaklumi karena tidak melebihi atau berkurang dari batas ukur yang sudah diakui oleh suatu kelompok masyarakat.
Sikap toleransi berlawanan dengan sikap nir toleransi. Nir toleransi dalam perwujudannya melahirkan sikap-sikap dan perilaku negatif. Gejala sikap-sikap dan perilaku negatif tersebut antara lain sebagai berikut.
a.    Scapegoating : yaitu menyalahkan pada kelompok tertentu atas kejadian-kejadian yang traumatis atau hal-hal yang berhubungan dengan masalah sosial.
b.    Bullying : yaitu menggunakan kapasitas fisik yang superior  untuk menghina orang lain atau ’mencabut’ hak atau status orang lain.
c.    Stereotyping : yaitu menggambarkan karakteristik suatu kelompok dengan sifat yang sama-biasanya negatif.
Toleransi sesungguhnya tidak hanya mencakup aspek pelaksanaan kehidupan beragama saja, bahkan toleransi sesungguhnya memiliki aspek yang sangat luas dalam pelaksanaannya. Di dalam kehidupan rumah tangga, sebagai level pelaksanaan pendidikan yang paling kecil, diperlukan adanya nilai-nilai toleransi. Dalam kehidupan masyarakat juga diperlukan nilai-nilai toleransi. Bahkan dalam kehidupan bernegara juga sangat diperlukan toleransi. Dan tidak kalah pentingnya adalah toleransi yang terjalin antara pemeluk agama yang sama.
Pada level Pendidikan Nilai, toleransi yang dikaji adalah toleransi dalam tataran fakta historis. Untuk dapat mendidikkan nilai-nilai toleransi dalam pembelajaran diperlukan strategi pembelajaran yang mampu mengangkat realita kehidupan, salah satunya melalui studi kasus, yang terjadi tentang pelaksanaan kehidupan toleransi dan tindakan-tindakan nir toleransi.
 
2.   Values Clarification Approach Dalam Pembelajaran Toleransi
  Dalam tataran praktikal, mendidikkan nilai toleransi dapat dilakukan dengan dua bentuk. Pertama, mendidikkan nilai toleransi pada suatu mata pelajaran tertentu (subject matter), dan kedua, mendidikkan nilai toleransi pada seluruh program dan proses pembelajaran.
Salah satu pendekatan yang digunakan dalam mendidikkan nilai toleransi adalah pendekatan klarifikasi nilai. Pendekatan ini muncul dari psikologi humanistik dan gerakan humanisme dalam pendidikan sebagai upaya untuk mengimplementasikan ide-ide dan teori Gordon Alport, Abraham Maslow, Carl Rogers, dan lain-lain. Fokus utama pendekatan ini adalah untuk membantu peserta didik menggunakan penalaran rasional dan kesadaran emosional untuk menguji pola-pola perilaku personal dan mengklarifikasi serta mengaktualisasikan nilai-nilai mereka sendiri.
Pendekatan ini berangkat dari asumsi bahwa generasi muda dewas ini hidup dalam satu dunia baru dan complicated, yang sering kali dibingungkan oleh berbagai perspektif nilai, sehingga sering kali mengakibatkan terjadinya krisis moral dan kepribadian. Untuk menyelamatkan generasi muda dari krisis tersebut, maka klarifikasi nilai memusatkan pendidikannya pada valuing proses
yang menstimulasi anak didik untuk berfikir dan mengklarifikasi nilai yang dianutnya.[6]   
Penekanan dalam klarifikasi nilai adalah pengajaran sebagai sebuah proses yang dipengaruhi oleh dua model, yaitu: (1) model ’terapi’ yang melihat anak didik sebagai klien yang akan dibantu melalui terapi untuk mengembangkan sarana dan kemampuan dalam menghadapi berbagai permasalahan nilai yang mereka temui, dan (2) model ’disipliner’ yang menempatkan anak didik sebagai sejarawan, ilmuan, ataupun filosof muda, sehingga pengajaran yang harus diarahkan guru adalah mendidik mereka bagaimana berfikir secara kesejarahan, keilmuan dan filosofis.[7]
Klarifikasi nilai mengharapkan munculnya pribadi-pribadi yang ’sehat’ yakni  individu  yang  dapat  mengembangkan  kapasitasnya  untuk  melakukan
penilaian (valuing), yang meliputi kemampuan kognitif, afektif, refleksi diri dan bertingkah laku serta siap menjadi ’sasaran penilaian’ bagi dirinya sendiri. Untuk mewujudkan hal itu, para pendidik harus memainkan peran sebagai fasilitator yang akan memberikan jalan atau kemudahan bagi peserta didik untuk mengembangkan keterampilan-keterampilan yang dibutuhkan guna menjernihkan nilai mana yang ideal mereka pilih agar menjadi pribadi ’sehat’ atau bernilai. Untuk itu metode belajar yang lazim digunakan guru adalah dialog kreatif antara peserta didik dan peserta didik dan guru. Tujuannya adalah memberikan kesempatan pada semua peserta didik untuk menjernihkan berbagai nilai yang mereka anut tanpa memaksakannya kepada orang lain.[8]
Mendidikkan nilai-nilai toleransi dalam pembelajaran dengan menggunakan Pendekatan Klarifikasi Nilai berarti suatu pendekatan yang dilakukan dengan tujuan mengantarkan peserta didik pada suatu keterampilan untuk  menjernihkan  nilai yang harus mereka yakini agar menjadi pribadi yang bernilai. Tujuan tersebut dapat dicapai dengan asumsi bahwa dalam Pendekatan Klarifikasi Nilai terdapat proses dimana peserta didik dihadapkan pada permasalahan nilai toleransi dan peserta didik diajak untuk berfikir menyelesaikan permasalahan yang berkaitan dengan nilai toleransi.
Sasaran yang ingin dicapai dari peserta didik setelah mendapat pembelajaran tentang nilai-nilai toleransi adalah:
a.   Peserta didik mampu mengendalikan emosi;
b.   Peserra didik menjadi individu yang penyabar;
c.   Peserta didik mampu menjalani kehidupan ’di bawah tekanan’ (under stress);
d.   Peserta didik mampu mengatasi kesulitan yang dihadapi;
e.   Peserta didik mampu mengakomodasi perbedaan sudut pandang, dan;
f.    Peserta didik mampu menjadi individu yang mudah memaafkan.[9] 

Pemakalah berpendapat bahwa sasaran pembelajaran toleransi yang terdapat pada penjelasan di atas merupakan sasaran pembelajaran toleransi yang bersifat umum mengenai konsep toleransi yang diharapkan ketika toleransi disampaikan dalam pembelajaran. Ketika pembelajaran toleransi  yang berlangsung di lembaga pendidikan formal disajikan dengan mengangkat studi kasus yang detail misalnya, sasaran pembelajaran toleransi yang akan diharapkan muncul dari peserta didik tentunya bersifat detail daripada sasaran tersebut di atas.
Pada penjelasan sebelumnya telah disebutkan bahwa toleransi erat kaitannya dengan nilai-nilai, seperti: cinta, kedamaian, persahabatan, kerja sama, kejujuran, dll. Ketika pembelajaran nilai-nilai toleransi dilaksanakan, peserta didik sesungguhnya mempelajari tentang:
a.   Mencintai satu sama lain;
b.   Bekerja sama;
c.   Menghargai persahabatan;
d.   Terbuka dan ramah;
e.   Jujur terhadap apa yang dikatakan;
f.    Bagaimana menghargai orang lain;
g.   Bernegosiasi;
h.   Menghargai hidup dalam kondisi kedamaian;
i.    Menghindari kekerasan;
j.    Memuji keberanian, dan;
k.   Mengetahui bahwa setiap manusia memiliki harga diri

Hemat pemakalah adalah apa yang dipelajari oleh peserta didik sebagaimana tersebut di atas merupakan bagian dari nilai-nilai instrumental toleransi. Toleransi sebagai terminal values, memiliki instrumental values seperti: menghargai orang lain, menghindari kekerasan, mengakui harga diri orang lain, dsb. Ketika pembelajaran toleransi dilaksanakan, para peserta didik diharapkan mampu menampilkan sikap sesuai dengan nilai-nilai instrumental toleransi. Misalnya pada tema pembahasan tentang sikap hidup umat beragama, peserta didik diharapkan dapat bersikap menghargai orang yang berbeda agama dalam kehidupan, tidak melakukan tindakan kekerasan kepada orang yang beragama lain, menjalin hubungan sosial yang penuh dengan kedamaian, dll.
Pendekatan dalam mendidikkan nilai-nilai toleransi dalam pembelajaran dengan menggunakan Pendekatan Klarifikasi Nilai diperlukan strategi dalam mendidikkan nilai-nilai tersebut. Strategi yang digunakan dalam pendekatan tersebut adalah study case yang disajikan kepada peserta didik melalui dialog kreatif antara guru dengan peserta didik dan peserta didik dengan peserta didik.
Beberapa ahli pendidikan nilai dan moral menawarkan hasil karya mereka secara terperinci tentang kerangka kerja untuk mengajarkan nilai-nilai toleransi. Sejumlah cerita-cerita yang mengandung dilema moral mampu memperbaiki keterampilan keputusan moral peserta didik. Pendekatan studi kasus dalam praktik pembelajaranya bukanlah sesuatu hal yang perlu diperdebatkan akan tetapi bertujuan untuk menciptakan situasi pembelajaran dimana peserta didik mampu memperdalam keyakinan mereka.[10]
Efektivitas penggunaan strategi pembelajaran study case adalah besar bagi capaian pada domain kognitif. Strategi ini tepat digunakan untuk ukuran kelas yang kecil dengan ukuran tingkat partisipasi peserta didik sedang. Karena study case yang dilakukan dalam pembelajaran toleransi juga melibatkan diskusi,efektifitas strategi pembelajaran ini menjadi lebih. Diskusi memiliki efektifitas yang tinggi pada domain kognitif dan afektif. Diskusi juga tepat digunakan untuk kondisi kelas yang besar. Diskusi memiliki tingkat partisipasi peserta didik tinggi. Keterangan ini didasarkan atas tabel tentang strategi pembelajaran berdasar domain, ukuran kelas, dan partisipasi peserta didik.[11] Berdasarkan keterangan di atas dapat disimpulkan bahwa mendidikkan nilai-nilai toleransi dalam pembelajaran dengan menggunakan strategi study case dan ditambah dengan metode diskusi dalam penyampaiannya memiliki efektifitas yang tinggi pada domain kognitif dan afektif, cocok digunakan untuk ukuran kelas kecil dan besar.
Melalui strategi study case dalam pembelajaran mendidikkan nilai-nilai toleransi dilakukan dengan beberapa tahapan. Tahapan-tahapan yang harus dilakukan dalam strategi study case, yaitu: (1) narasi kasus (narration of case); (2) identifikasi nilai (identification of value); (3) literasi norma (literacy of norm); (4) afiksasi kesadaran (affixation of consciousness) dan;                                  (5) internalisasi nilai (internalization of value). Konstruk pada strategi pembelajaran ini dimulai dari menceritakan sebuah cerita dan diakhiri dengan personalisasi nilai.[12] Pada penggunaan contoh strategi pembelajaran yang akan disajikan adalah  strategi pembelajaran yang digunakan untuk peserta didik madrasah dengan strategi case study. Secara lebih terperinci dari penjelasan masing-masing tahapan disajikan pada bagian di bawah ini.

a.   Narasi Kasus
Narasi kasus merupakan tahapan pertama dalam strategi pembelajaran ini. Secara praktis, narasi kasus disajikan kepada para peserta  didik  dengan  mengangkat  sejumlah  masalah  yang  terjadi  di
masyarakat. Penyajian tersebut disampaikan dalam bentuk cerita. Ada banyak peristiwa yang dapat diangkat dalam tahapan ini. Seorang guru di lembaga pendidikan Islam dapat memulai pertemuannya di kelas dengan menceritakan satu atau lebih cerita yang berhubungan dengan kompetensi  peserta didik atau topik pembelajaran. Cerita yang disampaikan harus dipilih secara selektif berdasarkan kebutuhan dan tingkat kompleksitas dilema nilai yang terkandung di dalam cerita. Matriks di bawah ini menggambarkan deskripsi pembelajaran toleransi di lembaga pendidikan Islam, madrasah aliyah.

Kompetensi Peserta Didik

Contoh Cerita
Toleransi Dalam Kehidupan Sosial
Judul cerita: ”Mereka bisa, mengapa kita tidak?”

(Cerita ini mengkisahkan seorang guru yang bijak yang bertempat tinggal sebuah daerah konflik agama. Rumahnya terbakar ketika konflik berlangsung bahkan meskipun ia sendiri sama sekali tidak terlibat dalam konflik tersebut. Suatu hari ia menghadiri sebuah seminar tentang Kerukunan Umat Beragama dan di sana ia menyaksikan sharing antar pemuka agama secara penuh keakraban. Di akhir pertemuan, ia berkata kepada salah seorang peserta: ”Lihat mereka. Mereka saja bisa, mengapa kita tidak bisa?”


b.   Identifikasi Nilai
Setelah memperkenalkan kisah dilematik tersebut kepada peserta didik, seorang guru dapat memberi kesempatan kepada peserta didik untuk  mengidentifikasi  nilai  yang  terkandung  pada alur cerita di atas.
Pada tahapan ini, seorang guru dapat bertanya kepada peserta didik mengenai beberapa pertanyaan yang berhubungan dengan masalah yang terdapat pada cerita dengan tujuan untuk membuat peserta didik berani menyampaikan penalaran nilai moral, afeksi dan aksi moral mereka. Pertanyaan diberikan secara bertahap dari yang sederhana hingga pertanyaan yang kompleks. Teknik memberikan pertanyaan yang kompleks mengadopsi cara berpikir teknik klarifikasi nilai (value of clarification technique/VCT) para peserta didik di antara sesi diskusi mereka mengenai dilema nilai. Berikut ini merupakan contoh-contohnya.

Kompetensi Peserta Didik

Contoh Identifikasi Nilai
Toleransi Dalam Kehidupan Sosial
Judul cerita: ”Mereka bisa, mengapa kita tidak?”  

Pertanyaan-pertanyaan:
o  Menurut pendapatmu apakah seorang guru yang bijak pada kisah tadi memiliki sikap toleransi yang tinggi terhadap keberagaman beragama?
o  Haruskah rumah guru itu terbakar dalam konflik beragama tersebut? Mengapa?
o  Apakah sikap toleran sang guru bijak tersebut terhadap keberagaman beragama  menggambarkan bahwa ia adalah seorang yang berfikiran sempit? Mengapa?
o  Bayangkan seandainya guru bijak yang rumahnya terbakar itu adalah ayahmu, bagaimana perasaanmu?

c.   Literasi Norma
Pada tahapan ini seorang guru memberi kesempatan kepada para peserta didik untuk lebih banyak mengkaji tentang prinsip-prinsip Islam yang terdapat di dalam Alqur’an Hadis Nabi saw. Satu atau lebih dari ayat Alqur’an atau hadis Nabi saw disajikan kepada para peserta didik. Meskipun menghafal ayat maupun hadis merupakan bagian penting dari tahap ini, seorang guru semestinya dapat membimbing siswa kepada pemahaman yang lebih mendalam terhadap nilai-nilai ajaran Islam.
Kompetensi Peserta Didik

Contoh Referensi Norma Keislaman
Toleransi Dalam Kehidupan Sosial

Judul cerita: ”Mereka bisa, mengapa kita tidak?”

Surat Al Baqarah ayat 256
Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama Islam; sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. Karena itu barang siapa yang ingkar kepada Thaghut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang pada buhul tali yang sangat kuat yang tidak akan putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.”

d.   Afiksasi Kesadaran
Istilah afiksasi memiliki persamaan arti dengan kata pengayaan. Pada tahapan ini berfungsi untuk memberikan pengayaan kesadaran siswa agar memahami secara lebih utuh tentang nilai yang terdapat pada topik pembahasan. Banyak peristiwa sosial biasa lainnya yang dapat disajikan untuk tahapan ini. Proses afiksasi dikembangkan pada prinsip integrasi antara issu yang disampaikan dengan kompetensi para peserta didik. Dalam sebuah contoh yang sederhana, matriks berikut menyajikan
beberapa kasus alternarif yang diambil dari kejadian-kejadian yang berlangsung di tengah masyarakat.

Kompetensi Peserta Didik
Contoh Topik Sederhana Untuk Pengayaan Kesadaran

Toleransi Dalam Kehidupan Sosial
Judul cerita: ”Mereka bisa, mengapa kita tidak?”  

o  Sikap toleransi terhadap agama yang berbeda (Bolehkah kita menghadiri acara pesta ulang tahun teman yang beragama non Islam?
o  Sikap toleransi terhadap pandang ajaran Islam yang berbeda (Temukan issu sosial keagamaan di antara muslim-muslim yang merefleksikan sikap tidak toleransi  terhadap pandangan ajaran Islam yang berbeda  dan bandingkan hal tersebut untuk menemukan kelompok organisasi keislaman yang lebih fanatik! Mengapa?)

e.   Internalisasi Nilai
Dalam pembicaraan yang luas, internalisasi nilai sebenarnya melibatkan semua proses pembelajaran nilai pada strategi ini. Idealnya, internalisasi nilai ditampilkan dalam bentuk perilaku. Tetapi sebagai strategi yang timbul dari kognisi moral, strategi ini meletakkan asumsinya pada sebuah keyakinan bahwa kemampuan berfikir pada tingkat yang tinggi dapat mengantarkan kepada perilaku yang baik. Berdasarkan asumsi ini, internalisasi nilai pada strategi ini dibatasi pada bentuk yang sederhana.  Penyederhanaan ini bermaksud untuk membantu   guru    yang    berada     di     lembaga     pendidikan   Islam
menyampaikan materi pembelajarannya di ruang kelas. Penjelasan lebih lanjut dapat dilihat pada contoh berikut ini.[13]
Kompetensi Peserta Didik
Contoh Internalisasi Nilai
Toleransi Dalam Kehidupan Sosial
Judul cerita: ”Mereka bisa, mengapa kita tidak?”

o  Nilai moral dalam bentuk kognitif
-      Mengapa kita harus memiliki sikap toleransi antar umat beragama?
-      Yang manakah yang dapat mendukung semangat toleransi, sikap inklusif atau eksklusif? Mengapa?

o  Nilai moral dalam bentuk afeksi (Pertanyaan yang diberikan pada bagian ini dikembangkan berdasarkan atas case story yang disajikan pada tahapan narasi kasus)
-      Apakah kamu membenci orang yang membakar rumah guru bijak pada kisah di atas?
-      Bagaimana perasaanmu bila guru bijak itu adalah dirimu sendiri?

o  Nilai moral dalam prediksi tindakan
-      Bisakah kamu mensharingkan sikap toleransimu ketika kamu tinggal dalam lingkungan yang memiliki keyakinan beragama yang heterogen?
-      Bisakah kamu memberikan uangmu untuk menolong kelompok agama lain tertentu yang tertimpa bencana alam?


Gambaran tentang konsep mendidikkan nilai-nilai toleransi dalam pembelajaran dapat disederhanakan dalam bentuk lesson plan berikut ini.

LESSON PLAN

Bidang Studi            : Pendidikan Agama Islam
Pokok Bahasan : Toleransi
Subpokok Bahasan    : Toleransi Dalam Kehidupan Beragama
Kelas/Semester : XI/I
Waktu                      : 2 Jam Pelajaran

Kompetensi Dasar:
Dengan pembelajaran toleransi peserta didik dapat memahami makna toleransi dan menerapkan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya.
Indikator          :
1.   Peserta didik mampu menyebutkan makna toleransi.
2.   Peserta didik mampu menyebutkan nilai-nilai yang terkandung dalam toleransi.
3.   Peserta didik mampu menerapkan sikap toleransi dalam kehidupan beragama.
Entering Behavior:
1.   Kemampuan bersikap peduli terhadap setiap penganut agama dalam kehidupan sehari-hari.
2.   Kemampuan menciptakan sikap hidup yang damai dalam kehidupan sehari-hari.
3.   Kemampuan bersikap menghargai orang lain dalam pendapat dan perilaku dalam kehidupan sehari-hari.


Kegiatan Belajar Mengajar
1.   Guru menyajikan cerita yang mengandung dilema moral tentang kehidupan umat beragama sesuai pokok bahasan.
2.   Guru mengadakan diskusi dengan peserta didik tentang cerita yang disajikan.
3.   Peserta didik memberi pendapat dalam diskusi tentang kandungan cerita yang disajikan.
4.   Peserta didik menganalisis masalah yang terjadi pada cerita yang disajikan.
5.   Peserta didik membuat kesimpulan pembelajaran.
Penilaian          :
Menilai    1. Lembar kerja
                        2. Lembar penilaian
        Instrumen : Tes sikap dan performa

C. Kesimpulan
        Mendidikkan nilai-nilai toleransi dalam pembelajaran merupakan bagian dari usaha untuk menciptakan kedamaian dalam kehidupan. Nilai-nilai toleransi inklud dalam sikap dan rasa seperti cinta, damai, jujur, tanggung jawab, dll. Dalam mendidikkan nilai-nilai toleransi dapat dilakukan di lembaga pendidikan formal, dalam pembahasan pada makalah ini desain yang disajikan diperuntukkan untuk tingkat madrasah aliyah. Salah satu pendekatan yang dapat dilakukan dalam mendidikkan nilai-nilai toleransi dalam pembelajaran adalah Pendekatan Klarifikasi Nilai. Dari pendekatan yang digunakan ini idealnya para peserta didik mampu menangkap nilai-nilai toleransi dalam pembelajaran melalui metode dialog interaktif antara guru dengan murid dan murid dengan guru. Karakteristik keberhasilan mendidikkan toleransi dalam pembelajaran bagi seorang pendidik adalah tampilnya nilai-nilai instrumental toleransi yang ditunjukkan oleh para peserta didik dalam pergaulan mereka. Dengan demikian, tampilnya nilai-nilai instrumental toleransi menunjukkan bahwa evaluasi pembelajaran dapat dilakukan oleh seorang pendidik.


DAFTAR PUSTAKA


Al Rasyidin, Percikan Pemikiran Pendidikan Dari Filsafat Hingga Praktik Pendidikan. Bandung: Citapustaka Media Perintis, 2009.

Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka, 2001.

Kawsar H. Kouchok. Teaching Tolerace Through Moral & Value Education (Papers and Resources Materials for the Global Meeting of Experts). Oslo, 2004.

UNESCO, Tolerance: The Threshold of Peace (Preliminary version). Paris: UNESCO, 1994.

Rohmat Mulyana, Case-Based Value Learning: A Challenging Issue for Teaching Religion. Makalah. Bandung, 2005.

 

[1] Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga. (Jakarta: Balai Pustaka, 2001). hal. 1204
[2] UNESCO. Tolerance: The Threshold of Peace (Preliminary version). (Paris: UNESCO,1994). hal. 19
[3]  Kawsar H. Kouchok. Teaching Tolerance Through Moral & Value Education (Papers and Resources Materials for the Global Meeting of Experts). (Oslo, 2004). hal. 1
[4] UNESCO. Op.Cit. hal. 15
[5] Catatan Yang Pemakalah Sarikan Dari  Penjelasan  Yang Diberikan Oleh Dr. Al Rasyidin, M.Ag dalam diskusi tentang Mendidikkan Nilai-Nilai Toleransi Dalam Pembelajaran.
[6] Al Rasyidin. Percikan Pemikiran Pendidikan Dari Filsafat Hingga Praktik Pendidikan. (Bandung: Citapustaka Media Perintis, 2009). hal. 120
[7] Ibid. hal. 121
[8] Ibid.
[9] Kawsar H. Kouchok. Op.Cit. hal. 1
[10]  Rohmat Mulyana. Case-Based Value Learning: A Challenging Issue for Teaching Religion in Indonesia. Makalah. (Bandung: 2005). hal. 6

[11] Al Rasyidin, Op.Cit. hal. 127
[12] Rohmat Mulyana, Op.Cit.
[13]  Rohmat Mulyana. Op.Cit. hal. 7-10


Tidak ada komentar:

Posting Komentar