Sabtu, 05 Juli 2025

Kajian Ilmiah

Ceramah Subuh Buya Drs. H. M. Sakti Rangkuti, M.A



Masjid Al-Hidayah, Jalan Pembangunan I, Desa Sekip, Lubuk Pakam



Ahad, 10 Muharram 1447 H


بسم الله الرحمن الرحيم 

السّلام عليكم ورحمة الله وبركاته


Segala puji dan syukur kita panjatkan ke hadirat Allah Subhanahu wa Ta’ala yang senantiasa melimpahkan nikmat-Nya kepada kita semua, terutama di bulan Muharram ini, bulan pertama tahun 1447 Hijriah. Alhamdulillah, Allah masih memberikan kita kesehatan, keselamatan, dan kesempatan sehingga kita dapat hadir di masjid ini untuk melaksanakan salat Subuh berjamaah.


Shalawat dan salam kita haturkan kepada junjungan kita, Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam.


Bapak dan Ibu, tahun 1446 Hijriah baru saja kita lewati, dan kini kita memasuki tahun baru, 1447 Hijriah. Maka sudah selayaknya kita melakukan muhasabah—introspeksi diri terhadap amal ibadah kita di tahun sebelumnya—dan bertekad untuk meningkatkan amal kita di tahun yang baru ini. Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala senantiasa memberikan keberkahan dalam hidup kita dan menjadikan kita hamba-hamba-Nya yang semakin taat kepada-Nya.


Pagi ini, kita akan mengkaji Surah An-Nisa ayat 150–152, yang menjelaskan tentang dua golongan manusia: yang pertama adalah golongan orang-orang kafir, dan yang kedua adalah golongan orang-orang yang beriman.


Golongan pertama adalah mereka yang mengingkari Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Rasul-Nya. Mereka hanya percaya kepada sebagian rasul dan mengingkari sebagian lainnya. 


Golongan kedua adalah mereka yang beriman kepada Allah dan kepada seluruh rasul tanpa membeda-bedakan antara satu dengan yang lainnya.


Dalam ayat-ayat ini, Allah menyebutkan bahwa orang-orang Yahudi dan Nasrani adalah contoh dari golongan pertama. Mereka mempercayai sebagian rasul saja, seperti Nabi Musa dan Nabi Isa, tetapi mengingkari Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam. Bahkan mereka membedakan antara satu rasul dan rasul lainnya, padahal Allah telah berfirman bahwa seluruh rasul adalah utusan-Nya, dan tidak boleh ada perbedaan dalam keimanan terhadap mereka.


Rasul itu jumlahnya sangat banyak. Menurut sebagian riwayat, ada sekitar 315 rasul dan lebih dari 124.000 nabi. Namun yang wajib kita ketahui hanya 25 rasul yang disebutkan dalam Al-Qur’an. Baik nabi maupun rasul, semua mereka adalah pilihan Allah, dan wajib kita imani.


Ada sedikit perbedaan antara nabi dan rasul:


* Rasul menerima wahyu dan diwajibkan untuk menyampaikannya kepada umat manusia.

* Nabi juga menerima wahyu, namun tidak wajib menyampaikannya; wahyu itu hanya untuk dirinya sendiri.


Orang-orang kafir, terutama dari golongan Yahudi dan Nasrani, mereka menolak Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam sebagai rasul terakhir. Orang Yahudi berhenti pada Nabi Musa, dan orang Nasrani pada Nabi Isa. Bahkan, dalam kesesatan mereka, ada yang menyatakan bahwa Nabi Uzair adalah anak Allah (seperti tercantum dalam Surah At-Taubah ayat 30). Sementara orang Nasrani menyatakan bahwa Nabi Isa adalah anak Allah, dan sebagian bahkan menyatakan bahwa Allah adalah bagian dari trinitas: Bapa, Anak, dan Roh Kudus.


Ini adalah bentuk penyimpangan akidah yang sangat jelas. Karena itulah, dalam ayat yang kita bahas, Allah Subhanahu wa Ta’ala menegaskan bahwa mereka yang membeda-bedakan antara rasul dan tidak beriman secara total kepada semua rasul, akan mendapatkan azab yang menghinakan.


Sebaliknya, Allah berfirman dalam Surah An-Nisa ayat 152:


Dan orang-orang yang beriman kepada Allah dan rasul-rasul-Nya dan tidak membeda-bedakan seorang pun di antara mereka, kelak Allah akan memberikan pahala kepada mereka. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.


Inilah prinsip keimanan yang benar: tidak membeda-bedakan antara rasul, dan menerima semua ajaran yang dibawa oleh para nabi sebagai satu kesatuan ajaran tauhid dari Allah Subhanahu wa Ta’ala.


Bapak dan Ibu,

Alhamdulillah kita umat Islam, tidak seperti kaum sebelumnya yang menyimpang dari ajaran tauhid. Kita tidak mengatakan bahwa Allah punya anak. Kita tidak mengatakan bahwa Allah itu tiga dalam satu. Sebaliknya, kita menegaskan dalam kalimat Laa ilaaha illallah—Tiada tuhan selain Allah. Keyakinan tauhid inilah yang membuat banyak orang di Barat, setelah mempelajari agama-agama mereka dan membandingkannya dengan Al-Qur’an, akhirnya masuk Islam.


Ada kisah-kisah nyata tentang orang-orang di Eropa dan Amerika yang memeluk Islam setelah mendalami Al-Qur’an. Bahkan sebagian dari mereka sebelumnya adalah pendeta. Tapi sebaliknya, ada pula yang sudah memeluk Islam namun berpaling darinya. Seperti kasus seorang mantan pendeta yang bernama Saifuddin Ibrahim, yang menyimpang dari ajaran Islam dan kini menjadi pembenci Islam. Na‘ūdzu billāh.


Bapak dan ibu,

Orang Yahudi dan Nasrani itu membangun keyakinan yang keliru. Mereka menciptakan doktrin tentang Tuhan yang tidak sesuai dengan wahyu yang sesungguhnya. Bahkan ada yang mengatakan Uzair adalah anak Allah, sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur’an.


Kita sebagai umat Islam harus teguh dalam keimanan. Kita harus yakin dan percaya kepada Allah dan semua rasul-Nya, tanpa membeda-bedakan. Kita harus meneladani Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam yang menyampaikan risalah dengan tabligh, amanah, fathanah, dan siddiq.


Penutup:


Semoga kita semua dimasukkan ke dalam golongan orang-orang yang benar-benar beriman, yang diterima amal ibadahnya, dan dijauhkan dari azab Allah Subhanahu wa Ta’ala.


وَآخِرُ دَعْوَانَا أَنِ الْـحَمْدُ لِلّٰهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ

والسّلام عليكم ورحمة الله وبركاته

Jumat, 04 Juli 2025

JOURNAL REVIEW: Islamic Educational Philosophy And Its Relevance To Global Educational Discourse

Tinjauan Kritis terhadap Artikel “Islamic Educational Philosophy and Its Relevance to Global Educational Discourse” oleh Nur Asiah dan Harjoni Desky: Telaah Berdasarkan Kerangka Berpikir Kritis


Oleh: Dr. H. Ahmad Abrar Rangkuti, M.A. -- Universitas Islam Sumatera Utara

 

Abstrak

Artikel “Islamic Educational Philosophy and Its Relevance to Global Educational Discourse” oleh Nur Asiah dan Harjoni Desky menawarkan pendekatan sintesis konseptual yang menempatkan filsafat pendidikan Islam sebagai alternatif dan pelengkap bagi wacana pendidikan global kontemporer. Artikel ini memuat nilai-nilai seperti ta’dib, tazkiyah, insan kamil, dan fitrah sebagai fondasi pendidikan yang holistik dan etis. Melalui kerangka berpikir kritis yang terdiri dari interpretasi, analisis, evaluasi, inferensi, dan eksplanasi, tulisan ini memberikan tinjauan terhadap kekuatan dan keterbatasan artikel tersebut. Secara konseptual, artikel ini memiliki nilai kontribusi tinggi, namun dari segi implementasi dan inferensial, masih memerlukan penguatan melalui analisis kontekstual dan validasi empiris. Review ini merekomendasikan agar artikel ini dijadikan dasar awal yang potensial, namun perlu pengembangan lebih lanjut dalam bentuk penelitian lapangan dan operasionalisasi konsep-konsep kunci dalam praktik pendidikan kontemporer yang plural.

Kata Kunci: pendidikan Islam, filsafat pendidikan, berpikir sistemik, globalisasi, adab, pendidikan holistik


Pendahuluan

Dalam konteks krisis global dalam dunia pendidikan—ditandai oleh kekosongan makna, dominasi teknokrasi, dan kemerosotan etika—artikel ini hadir menawarkan filsafat pendidikan Islam sebagai solusi alternatif. Penulis artikel mengklaim bahwa pendekatan pendidikan Islam yang berbasis nilai spiritual, etika, dan keseimbangan akal-jiwa-ruh dapat menjadi kontribusi signifikan terhadap diskursus pendidikan global. Artikel ini layak untuk ditelaah secara kritis mengingat posisinya yang ambisius sebagai jembatan antara tradisi Islam dan wacana pendidikan modern.


1. Interpretasi

Penulis artikel menempatkan filsafat pendidikan Islam sebagai sistem pemikiran yang tak hanya bersumber dari teks-teks klasik seperti Al-Ghazali, Ibn Sina, dan Al-Attas, tetapi juga relevan dengan pendekatan mutakhir seperti critical pedagogy, constructivism, dan whole-child education. Secara umum, artikel ini menafsirkan pendidikan sebagai proses spiritual dan moral, bukan hanya proses transmisi informasi atau pencapaian kompetensi akademik.

Penekanan pada konsep adab (etika), tazkiyah (penyucian jiwa), dan fitrah (potensi bawaan manusia) menegaskan perbedaan paradigma antara pendidikan Islam dan model sekuler-modern yang dominan. Interpretasi penulis terhadap situasi krisis global (mengacu pada laporan UNESCO dan OECD) memberikan dasar kontekstual yang kuat untuk mengusulkan filsafat Islam sebagai alternatif pendidikan yang bermakna.


2. Analisis

Struktur artikel dibangun secara sistematis: dari latar belakang konseptual, pendekatan metodologi filosofis, hingga hasil tematik dan diskusi perbandingan. Namun, terdapat ketimpangan antara paparan konseptual dan analisis kritis. Artikel ini belum secara menyeluruh menganalisis titik ketegangan antara paradigma pendidikan Islam dan epistemologi Barat. Misalnya, dikotomi antara ‘ilm (ilmu) dan constructivism belum dijelaskan secara metodologis, hanya disebut sebagai “perbedaan pandangan”.

Selain itu, perbandingan yang dilakukan cenderung bersifat deskriptif—tidak menjelaskan secara mendalam bagaimana konsep murabbi dapat diterapkan dalam lingkungan sekolah umum, atau bagaimana hikmah dapat masuk ke dalam kurikulum nasional. Di sisi lain, penggunaan Table 1 dan Table 2 cukup membantu dalam memetakan posisi artikel dalam ranah studi yang lebih luas.


3. Evaluasi

Dari sisi kredibilitas, penulis menggunakan sumber yang relevan dan valid, baik klasik maupun kontemporer. Referensi ke laporan UNESCO, OECD, serta pemikir seperti Freire menunjukkan upaya integrasi lintas paradigma. Namun, argumentasi bahwa pendidikan Islam adalah solusi terhadap “krisis global” terlihat berlebihan, mengingat tidak disertai dengan bukti empiris yang mendukung keunggulan klaim tersebut.

Asumsi bahwa model pendidikan Islam dapat langsung diterapkan atau diterima dalam sistem pendidikan global yang sekuler dan pluralis belum dievaluasi secara kritis. Hal ini penting mengingat tantangan sosial, ideologis, dan politik yang menyertai upaya integrasi nilai-nilai keagamaan ke dalam kurikulum publik di berbagai negara.


4. Inferensi

Kesimpulan artikel bahwa pendidikan Islam dapat menjadi “kekuatan korektif dan pelengkap” terhadap sistem global memang menarik, namun inferensinya belum didukung secara sistematis. Penulis tidak mengelaborasi kemungkinan resistensi terhadap wacana keislaman di negara-negara non-Muslim, atau tantangan penerapannya di masyarakat yang majemuk secara agama dan budaya.

Inferensi ini juga tidak mempertimbangkan secara serius kemungkinan bahwa pendekatan berbasis spiritualitas dan nilai dapat berasal dari sumber lain di luar Islam (misalnya dari tradisi lokal, Buddhisme, atau model indigenous). Dengan kata lain, artikel ini kurang membuka ruang dialog antarperadaban dan terlalu yakin bahwa Islam adalah satu-satunya jawaban atas krisis pendidikan global.


5. Eksplanasi

Penjelasan tentang konsep kunci seperti ta’dib, tazkiyah, dan fitrah disajikan dengan baik, namun belum dijelaskan bagaimana hal-hal tersebut dapat dioperasionalkan dalam praktik pendidikan yang nyata: kurikulum, asesmen, pelatihan guru, dan tata kelola sekolah. Sebuah artikel yang mengusung tema global seharusnya juga menjawab: Bagaimana penerapannya? Di mana sudah diterapkan? Apa hasilnya?

Meskipun penulis mencantumkan model Malaysia (IHES) dan reformasi pesantren di Indonesia, penjelasan ini bersifat permukaan dan tidak mengandung evaluasi terhadap keberhasilan, tantangan, atau keterbatasannya. Oleh karena itu, eksplanasi dalam artikel ini bersifat filosofis dan normatif, belum sampai ke level praktikal dan aplikatif.


Kesimpulan dan Rekomendasi

Artikel ini merupakan upaya serius dan bermakna untuk mengangkat kembali filsafat pendidikan Islam ke dalam ruang dialog global. Nilai-nilai yang diusungnya—etika, spiritualitas, integrasi ilmu—merupakan kebutuhan nyata dalam sistem pendidikan modern. Namun, agar artikel ini berdampak secara akademik dan kebijakan, diperlukan penguatan pada:

Pendalaman epistemologis dan metodologis, bukan hanya perbandingan deskriptif.

Validasi empiris melalui studi kasus, survei, atau praktik pendidikan berbasis Islam kontemporer.

Keterbukaan dialog terhadap alternatif lain dalam pendidikan berbasis nilai, tidak hanya dari Islam.

Operasionalisasi konsep-konsep kunci, agar dapat dipahami oleh pembuat kebijakan, guru, dan praktisi pendidikan secara luas.

Secara umum, artikel ini memiliki potensi kontribusi besar, namun masih memerlukan pengembangan serius dalam ranah empiris dan kontekstual agar dapat menjembatani wacana filosofis dengan dunia nyata pendidikan global.

 

 

Daftar Pustaka

Al-Attas, S. M. N. (1991). The Concept of Education in Islam: A Framework for an Islamic Philosophy of Education. Kuala Lumpur: ISTAC.

Al-Faruqi, I. R. (1982). Islamization of Knowledge: General Principles and Work Plan. Herndon, VA: IIIT.

Al-Ghazali. (n.d.). Ihya’ ‘Ulum al-Din. Cairo: Dar al-Ma’arif.

Al-Ghazali. (2005). Ihya’ ‘Ulum al-Din. Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah.

Azra, A. (2012). Education, Islam, and the Public Sphere: Indonesia and Malaysia Compared. In R. W. Hefner (Ed.), Making Modern Muslims: The Politics of Islamic Education in Southeast Asia (pp. 55–78). Honolulu: University of Hawai‘i Press.

Creswell, J. W., & Poth, C. N. (2018). Qualitative Inquiry and Research Design: Choosing Among Five Approaches (4th ed.). Thousand Oaks, CA: Sage Publications.

Dewey, J. (1938). Experience and Education. New York: Macmillan.

Elias, M. J., White, G., & Stepney, C. (2015). The Integration of Social-Emotional Learning, Character Education, and Student Engagement. In J. A. Durlak, C. E. Domitrovich, R. P. Weissberg, & T. P. Gullotta (Eds.), Handbook of Social and Emotional Learning: Research and Practice (pp. 29–42). New York: Guilford Press.

Faith and Education Forum. (2022). Interfaith Dialogue and Ethical Education in a Globalized World. Geneva: Faith and Education Forum Publications.

Freire, P. (2000). Pedagogy of the Oppressed. New York: Continuum.

Halstead, J. M. (2004). An Islamic Concept of Education. Comparative Education, 40(4), 517–529.

Hashim, R., & Langgulung, H. (2008). Islamic Religious Curriculum in Muslim Countries: The Experiences of Indonesia and Malaysia. Bulletin of Education & Research, 30(1), 1–19.

Ibn Sina. (n.d.). Al-Risalah fi al-Tarbiyah (Treatise on Education). Beirut: Dar al-Fikr.

Kincheloe, J. L. (2005). Critical Constructivism Primer. New York: Peter Lang Publishing.

Maslow, A. H. (1987). Motivation and Personality (3rd ed.). New York: Harper & Row.

Nasr, S. H. (2006). The Essential Seyyed Hossein Nasr (W. C. Chittick, Ed.). Bloomington: World Wisdom.

Noddings, N. (2013). Education and Democracy in the 21st Century. New York: Teachers College Press.

Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD). (2022). Future of Education and Skills 2030: OECD Learning Compass 2030. Paris: OECD Publishing.

Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD). (2022). OECD Future of Education and Skills 2030: Student Agency for 2030. Paris: OECD Publishing.

Schleicher, A. (2022). The Case for Values-Based Education. OECD Education and Skills Today. Retrieved April 30, 2025, from https://oecdedutoday.com/values-based-education/

Rogers, C. R. (1969). Freedom to Learn. Columbus, OH: Merrill.

UNESCO. (2021). Global Education Monitoring Report 2021: Non-State Actors in Education—Who Chooses? Who Loses? Paris: UNESCO Publishing.

UNESCO. (2023). Global Education Monitoring Report 2023: Technology in Education—A Tool on Whose Terms? Paris: UNESCO Publishing.


Kunjungi:

https://www.academia.edu/130342286/Tinjauan_Kritis_terhadap_Artikel_Islamic_Educational_Philosophy_and_Its_Relevance_to_Global_Educational_Discourse_oleh_Nur_Asiah_dan_Harjoni_Desky_Telaah_Berdasarkan_Kerangka_Berpikir_Kritis

Selasa, 01 Juli 2025

Masāʾil Fiqhiyyah: Qadha Salat Orang yang Murtad

Pertanyaan:

Apakah Orang Murtad Wajib Mengqadha Salatnya? Penjelasan dari Imam Nawawi dalam Majmū‘ Syarḥ al-Muhadzdzab.


Oleh: Dr. H. Ahmad Abrar Rangkuti, M.A.


Pendahuluan

Masalah fikih tentang orang yang keluar dari Islam (murtad) lalu kembali masuk Islam kembali menjadi perbincangan penting di kalangan ulama. Salah satu pertanyaan yang muncul adalah: Apakah orang murtad wajib mengganti (mengqadha) salat yang ia tinggalkan selama murtad?

Imam an-Nawawi dalam kitab monumental Majmū‘ Syarḥ al-Muhadzdzab menjelaskan secara rinci pandangan mazhab Syafi’i dan membandingkannya dengan pandangan ulama dari mazhab lain.

أَمَّا الْكَافِرُ الْمُرْتَدُّ فَيَلْزَمُهُ الصَّلَاةُ فِي الْحَالِ، وَإِذَا أَسْلَمَ لَزِمَهُ قَضَاءُ مَا فَاتَ فِي الرِّدَّةِ لِمَا ذَكَرَهُ الْمُصَنِّفُ، هَذَا مَذْهَبُنَا، لَا خِلَافَ فِيهِ عِنْدَنَا.

> وَقَالَ مَالِكٌ وَأَبُو حَنِيفَةَ وَأَحْمَدُ فِي رِوَايَةٍ عَنْهُ وَدَاوُدُ: لَا يَلْزَمُ الْمُرْتَدَّ إِذَا أَسْلَمَ قَضَاءُ مَا فَاتَ فِي الرِّدَّةِ، وَلَا فِي الْإِسْلَامِ قَبْلَهَا، وَجَعَلُوهُ كَالْكَافِرِ الْأَصْلِيِّ، يَسْقُطُ عَنْهُ بِالْإِسْلَامِ مَا قَدْ سَلَفَ، وَاللَّهُ أَعْلَمُ.


Adapun orang kafir murtad, maka ia tetap terkena kewajiban salat pada saat itu (saat ia murtad). Dan apabila ia masuk Islam kembali, maka wajib baginya mengganti (qadha) salat-salat yang telah ditinggalkannya selama masa riddah (kemurtadan), sebagaimana yang telah disebutkan oleh pengarang kitab. Ini adalah mazhab kami (yakni mazhab Syafi’i), tidak ada perbedaan pendapat dalam hal ini di kalangan kami.


Adapun Imam Malik, Abu Hanifah, Ahmad (dalam salah satu riwayat darinya), dan Daud (az-Zhahiri) berpendapat bahwa orang murtad tidak wajib mengqadha salat yang ditinggalkannya selama masa riddah, dan juga tidak wajib mengqadha salat yang ditinggalkannya saat masih Islam sebelum murtad. Mereka memposisikannya seperti orang kafir asli, di mana dengan masuk Islam maka gugur darinya (kewajiban) yang telah lampau. Dan Allah lebih mengetahui.


Analisis dan Pemahaman Fikih

1. Pandangan Mazhab Syafi’i:

Orang murtad masih terbebani kewajiban salat.

Jika ia kembali masuk Islam, ia wajib mengqadha seluruh salat yang ditinggalkan selama ia murtad.

Kemurtadan tidak menggugurkan kewajiban ibadah yang ditinggalkan.

2. Pandangan Mazhab Lain:

Imam Malik, Abu Hanifah, sebagian riwayat dari Ahmad bin Hanbal, dan Daud az-Zhahiri menyatakan bahwa:

Orang murtad tidak wajib qadha salat saat murtad maupun salat sebelum murtad.

Ia disamakan dengan kafir asli, yaitu gugur darinya dosa dan kewajiban ibadah yang ditinggalkan saat belum Islam.


Kesimpulan Hukum

Menurut mazhab Syafi’i, orang yang murtad lalu masuk Islam kembali wajib mengganti salat-salat yang ditinggalkannya selama masa kemurtadan.

Sementara dalam mazhab Hanafi, Maliki, Hanbali (sebagian riwayat), dan Zahiri, salat yang ditinggalkan saat murtad tidak perlu diganti, karena dianggap gugur dengan keislaman kembali.

Penutup

Perbedaan pendapat ini mencerminkan kedalaman ijtihad para ulama dalam menimbang status hukum antara murtad dan kafir asli. Meski mazhab Syafi’i mewajibkan qadha, ulama lain memberikan dispensasi dengan dalil penghapusan dosa melalui taubat dan keislaman kembali.

Kamis, 26 Juni 2025

KHUTBAH JUM'AT MUHARRAM 1447 H

Hijrah: Dari Seremonial Menuju Spirit Perubahan

 

Dr. H. Ahmad Abrar Rangkuti, M.A., C.ITE.

Khutbah Jumat Masjid Ihya Ulumuddin Galinda

01 Muharram 1447 H/27 Juni 2025

الحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي جَعَلَ الهِجْرَةَ بَدَايَةً لِلتَّارِيخِ الإِسْلَامِيِّ، وَفَتَحَ بِهَا أَبْوَابَ العِزَّةِ وَالكَرَامَةِ لِعِبَادِهِ المُؤْمِنِينَ 

نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِينُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ، وَنَعُوذُ بِاللَّهِ مِنْ شُرُورِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا. مَنْ يَهْدِهِ اللَّهُ فَلَا مُضِلَّ لَهُ، وَمَنْ يُضْلِلْ فَلَا هَادِيَ لَهُ 

وَأَشْهَدُ أَنْ لَا إِلٰهَ إِلَّا اللَّهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ، صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ، وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدِّينِ 

أَمَّا بَعْدُ، فَيَا أَيُّهَا المُسْلِمُونَ، أُوصِيكُمْ وَإِيَّايَ المُقَصِّرَ بِتَقْوَى اللَّهِ تَعَالَى، فَإِنَّ تَقْوَى اللَّهِ خَيْرُ الزَّادِ، وَعُدَّةُ المَعَادِ، وَسَبِيلُ الفَوْزِ وَالسَّعَادَةِ فِي الدُّنْيَا وَالآخِرَةِ 

قَالَ اللَّهُ تَعَالَى فِي سُورَةِ الصَّفِّ 

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا هَلْ أَدُلُّكُمْ عَلَىٰ تِجَارَةٍ تُنْجِيكُم مِّنْ عَذَابٍ أَلِيمٍ (١٠) تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ وَتُجَاهِدُونَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ بِأَمْوَالِكُمْ وَأَنفُسِكُمْ ۚ ذَٰلِكُمْ خَيْرٌ لَّكُمْ إِن كُنتُمْ تَعْلَمُونَ (١١)


Jemaah Jumat rahimakumullah,

Kita hidup di zaman yang pelik. Umat Islam hari ini digempur bukan hanya oleh peluru dan rudal, tetapi juga oleh arus informasi yang menyesatkan, budaya hedonisme yang melemahkan iman, dan gaya hidup instan yang melahirkan generasi rapuh secara akidah dan mental. Di Gaza, setiap hari kita menyaksikan anak-anak kehilangan orang tua, dan orang tua kehilangan anak-anak—bukan karena bencana alam, tapi karena kezaliman manusia yang dibungkam dunia. Di Iran dan wilayah lainnya, umat Islam berjuang mempertahankan kehormatan dan tanah air mereka dari agresi zionis dan penjajahan berkedok diplomasi.

Namun yang lebih mengkhawatirkan, adalah banyak dari kita yang hidup di negeri yang damai, tapi sudah kalah sebelum berperang. Kita tak lagi sanggup berkata jujur saat semua orang berdusta. Kita tak berani menegakkan yang benar saat kebenaran dianggap mengganggu. Kita kehilangan ruh hijrah, yakni keberanian untuk berubah, berkorban, dan memperjuangkan kebenaran—bahkan dalam hal terkecil sekalipun: menghindari riba, menolak korupsi, menahan diri dari gibah, dan mendidik anak-anak dengan Islam yang murni.

Sebagian besar dari kita lebih sibuk memikirkan tren, konten, dan cuan, daripada memikirkan makna hidup sebagai Muslim. Kita lebih kenal influencer dunia daripada sahabat Rasul. Kita hafal nama-nama klub bola, tapi tidak hafal nama 10 sahabat yang dijamin surga. Kita sibuk mengejar tayangan, tapi melalaikan tadabbur Al-Qur’an. Maka sebenarnya, siapa yang sedang menjajah kita hari ini? Bukankah musuh terbesarmu adalah nafsumu sendiri?

Saat ini, peringatan Tahun Baru Islam bukan sekadar tanggal merah dalam kalender, tapi alarm jiwa bagi umat yang tertidur. Hijrah bukan lagi sekadar romantisme sejarah Nabi, tapi panggilan nyata untuk bergerak dari diam menuju berbuat, dari tahu menuju taat, dari tahu kebenaran menuju memperjuangkannya.

Tema Utama: Hijrah – Bukan Sekadar Pindah Tempat

Hari ini, 1 Muharram 1447 Hijriyah, kita memperingati Tahun Baru Islam. Tapi jemaah sekalian, mari kita sadari: ini bukan sekadar pergantian angka di kalender hijriyah. Bukan hanya momentum seremonial dengan ucapan "Selamat Tahun Baru Islam" di spanduk atau status media sosial.

Lebih dari itu, hari ini adalah peringatan atas satu peristiwa monumental yang mengguncang peta peradaban dunia, yaitu Hijrah Nabi Muhammad ﷺ dari Makkah ke Madinah. Sebuah peristiwa yang tidak hanya mengubah arah perjalanan Rasulullah dan para sahabat, tapi juga mengubah arah sejarah umat manusia.

Hijrah itu bukan sekadar perpindahan geografis—bukan cuma soal pindah tempat tinggal atau kabur dari tekanan kaum Quraisy. Tapi itu adalah pergeseran paradigma, lompatan peradaban, dan titik balik perjuangan Islam: dari fase tertindas menjadi berdaulat, dari fase sembunyi menjadi terang-terangan, dari fase bertahan menjadi menyerang.

Kenapa kita memulai kalender Islam dari peristiwa hijrah, bukan dari kelahiran Nabi, bukan dari turunnya wahyu pertama, dan bukan dari kemenangan-kemenangan besar? Karena hijrah adalah titik nyala dari terbentuknya masyarakat Islam yang utuh—sebuah peradaban yang menyatukan langit dan bumi, akidah dan sistem, iman dan amal, masjid dan pasar, spiritualitas dan kekuatan politik.

Sebagaimana dikatakan oleh Imam Ibnu Katsir dalam Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim, bahwa hijrah bukan hanya dimaknai sebagai fisik, tapi juga maknawi: “al-intiql min haal ilaa haal” — perpindahan dari satu keadaan ke keadaan yang lebih baik, lebih taat, lebih mulia.

Dan pada saat Rasulullah ﷺ hijrah, beliau tidak membawa kekuasaan atau kekayaan. Tapi beliau membawa visi, nilai, dan keyakinan. Dan dengan itulah, kota kecil bernama Yatsrib berubah menjadi Madinah al-Munawwarah, kota yang tercerahkan—karena ada hati-hati yang tercerahkan terlebih dahulu.

Karena itulah, Allah SWT menegaskan dalam firman-Nya:

وَمَن يُهَاجِرْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ يَجِدْ فِي الْأَرْضِ مُرَاغَمًا كَثِيرًا وَسَعَةً

"Barangsiapa berhijrah di jalan Allah, niscaya mereka akan menemukan di muka bumi ini tempat hijrah yang luas dan rezeki yang banyak." (QS. An-Nisa: 100)

Ayat ini menegaskan bahwa hijrah bukanlah tindakan sia-sia atau pelarian tanpa arah, melainkan sebuah langkah strategis dan spiritual yang membuka pintu-pintu pertolongan Allah dan kelapangan hidup. Hijrah adalah simbol keberanian untuk menanggalkan kenyamanan demi meraih kemuliaan, meninggalkan kezaliman menuju keadilan, serta berpindah dari kejumudan menuju cahaya petunjuk.

Menariknya, Imam Al-Qurthubi dalam tafsirnya menjelaskan bahwa ayat ini menunjukkan bahwa Allah menjanjikan “peluang dan kelapangan” bagi siapa pun yang mau meninggalkan zona nyamannya demi kebenaran dan perjuangan. Artinya, hijrah tidak selalu berarti kehilangan—justru sering kali ia adalah pintu untuk menemukan keberlimpahan yang lebih luas, baik secara lahir maupun batin.

Pelajaran dari Hijrah: Keterlibatan Non-Muslim

Hadirin yang dirahmati Allah,

Salah satu fakta menarik yang sering luput dari perhatian kita adalah bahwa dalam perjalanan hijrah Nabi Muhammad ﷺ dari Makkah ke Madinah, tidak semua pihak yang terlibat dalam misi besar itu adalah Muslim. Rasulullah ﷺ memang ditemani oleh sahabat karibnya Abu Bakar Ash-Shiddiq RA, namun pemandu jalan yang ditunjuk langsung oleh Nabi adalah seorang musyrik bernama Abdullah bin Uraiqith.

Ia bukan hanya tahu medan padang pasir yang berat dan jalur-jalur alternatif untuk menghindari kejaran Quraisy, tapi juga dikenal amanah dan jujur dalam profesinya sebagai penunjuk jalan. Rasulullah ﷺ tidak memilihnya karena kesamaan agama, tetapi karena kompetensi, integritas, dan kepercayaannya. Bahkan, Abdullah bin Uraiqith saat itu berada dalam satu kontrak kepercayaan yang dijaga betul oleh Nabi.

Dari sini kita belajar, bahwa Islam bukan agama yang eksklusif dan tertutup, tapi agama yang membuka ruang kerja sama lintas iman dalam urusan kemaslahatan dan nilai-nilai keadilan. Hijrah bukan hanya misi spiritual bagi kaum Muslimin, tapi juga membawa pesan universal tentang solidaritas, kepercayaan, dan profesionalisme lintas batas keyakinan.

Sebagaimana ditegaskan dalam Al-Qur'an:

لَا يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ لَمْ يُقَاتِلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَلَمْ يُخْرِجُوكُمْ مِن دِيَارِكُمْ أَن تَبَرُّوهُمْ وَتُقْسِطُوا إِلَيْهِمْ ۚ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ

“Allah tidak melarang kamu berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tidak memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusirmu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.” (QS. Al-Mumtahanah: 8)

Namun pertanyaannya, apakah Abdullah bin Uraiqith akhirnya masuk Islam?

Sejauh yang tercatat dalam literatur sirah seperti Sirah Ibn Hisyam dan Tabaqat Ibn Sa’ad, tidak ada riwayat yang sahih dan kuat yang menyatakan bahwa ia memeluk Islam, meskipun ia dekat dengan Nabi dalam momen krusial. Ini mengajarkan kita bahwa kedekatan fisik dengan dakwah belum tentu mengubah hati, karena hidayah tetap milik Allah. Tapi di sisi lain, ia telah menjadi bagian dari sejarah besar umat Islam, menunjukkan bahwa kebaikan bisa muncul dari siapa pun.

Maka, wahai jemaah sekalian, di tengah dunia yang penuh polarisasi saat ini, kita diajarkan oleh Rasulullah ﷺ bahwa kerja sama lintas agama bukanlah hal yang tabu—selama tujuannya adalah kemaslahatan, keadilan, dan nilai-nilai universal. Ini adalah bagian dari semangat hijrah: membangun dunia baru dengan semangat kolaboratif, bukan permusuhan.

Kontekstualisasi: Gaza dan Iran, Kita di Mana?

Saudara-saudara seiman,

Hari ini kita menyaksikan saudara-saudara kita di Gaza dan Iran yang tengah mempertahankan eksistensinya dari penjajahan dan kezaliman Israel. Mereka sedang berhijrah, bukan berpindah tempat, tapi berpindah dari keterjajahan menuju kemuliaan. Mereka sabar dan istiqamah.

Rasulullah ﷺ bersabda:

الْمُهَاجِرُ مَنْ هَجَرَ مَا نَهَى اللَّهُ عَنْهُ

"Orang yang berhijrah adalah yang meninggalkan apa yang dilarang Allah." (HR. Bukhari dan Muslim)

Ibnu Hajar dalam Fathul Bari menjelaskan bahwa hijrah bukan lagi soal fisik, tapi mental dan moral—meninggalkan maksiat, ketidakpedulian, dan kemalasan untuk menjadi pejuang Islam yang tangguh.

Penutup Khutbah Pertama

Mari jadikan tahun baru ini sebagai momentum hijrah pribadi dan sosial: dari lalai menuju sadar, dari apatis menuju peduli, dari egois menuju ukhuwah. Jangan sampai tahun baru Hijriyah hanya dirayakan secara simbolik tapi kosong dari makna perjuangan!

Tahun baru ini adalah peluang baru. Tapi peluang tidak datang pada orang yang tidur. Mari kita berhijrah:

dari umat yang hanya menonton, menjadi umat yang berperan.

dari umat yang hanya mengeluh, menjadi umat yang mencipta solusi.

dari umat yang menghindar dari masjid, menjadi umat yang kembali memakmurkannya.

Mari kita doakan saudara-saudara kita di Gaza, di Iran, di Palestina, dan di seluruh dunia yang berhijrah dengan air mata dan darah. Semoga Allah menolong mereka, dan menumbuhkan dalam hati kita keberanian untuk bangkit.


اقول قولي هذا واستغفر الله لي ولكم، فاستغفروه إنه هو الغفور الرحيم 

 









Khutbah Kedua 

الحَمْدُ لِلَّهِ مُبَدِّلِ الْأَحْوَالِ، وَمُيَسِّرِ السُّبُلِ لِمَنْ صَدَقَ فِي الْهِجْرَةِ وَالْجِهَادِ، نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِينُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ، وَنَشْهَدُ أَنْ لَا إِلٰهَ إِلَّا اللَّهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ، وَنَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ، صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَسْلِيمًا كَثِيرًا إِلَى يَوْمِ الدِّينِ 

أُوصِيكُمْ وَنَفْسِي بِتَقْوَى اللَّهِ، فَاتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ التُّقَى، وَاسْتَقِيمُوا لَهُ وَاعْمَلُوا لِدَارِ الْبَقَاءِ، وَتَزَوَّدُوا، فَإِنَّ خَيْرَ الزَّادِ التَّقْوَى 

الدُّعَاءُ

اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُسْلِمِينَ وَالْمُسْلِمَاتِ، وَالْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ، الأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَالأَمْوَاتِ، إِنَّكَ سَمِيعٌ قَرِيبٌ مُجِيبُ الدَّعَوَاتِ، يَا أَرْحَمَ الرَّاحِمِينَ 

اللَّهُمَّ انْصُرْ إِخْوَانَنَا المُجَاهِدِينَ فِي غَزَّةَ، وَفِي فِلَسْطِين، وَفِي إِيرَانَ، وَفِي كُلِّ أَرْضٍ يُقَاتَلُ فِيهَا أَهْلُ الْبَاطِلِ، وَكُنْ مَعَهُمْ يَا رَبَّ الْعَالَمِينَ، وَاشْفِ جَرْحَاهُمْ، وَتَقَبَّلْ شُهَدَاءَهُمْ، وَارْبِطْ عَلَى قُلُوبِهِمْ، وَثَبِّتْ أَقْدَامَهُمْ 

اللَّهُمَّ اجْعَلْنَا مِنَ الَّذِينَ يَسْتَمِعُونَ الْقَوْلَ فَيَتَّبِعُونَ أَحْسَنَهُ، وَاجْعَلْ بَدَايَةَ هَذَا العَامِ الهِجْرِيِّ بَدَايَةَ هِجْرَةٍ صَادِقَةٍ مِنَ الغَفْلَةِ إِلَى الذِّكْرِ، وَمِنَ الذَّنْبِ إِلَى التَّوْبَةِ، وَمِنَ الضَّعْفِ إِلَى الثَّبَاتِ، وَمِنَ التَّوَكُّلِ عَلَى الخَلْقِ إِلَى التَّوَكُّلِ عَلَيْكَ يَا أَرْحَمَ الرَّاحِمِينَ 

اللَّهُمَّ أَصْلِحْ أَحْوَالَ الْمُسْلِمِينَ، وَوَحِّدْ صُفُوفَهُمْ، وَأَصْلِحْ وُلَاةَ أُمُورِهِمْ، وَارْزُقْهُمُ القَادَةَ العُدُولَ الَّذِينَ يَقُودُونَهُمْ إِلَى الحَقِّ وَالرَّشَادِ 

اللَّهُمَّ اجْعَلْ بَلَدَنَا هَذَا بَلَدًا آمِنًا مُطْمَئِنًّا، سَخَاءً رَخَاءً، وَسَائِرَ بِلَادِ الْمُسْلِمِينَ 

اللَّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلَى نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ، وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ أَجْمَعِينَ 

عِبَادَ اللَّهِ، إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالإِحْسَانِ وَإِيتَاءِ ذِي القُرْبَى، وَيَنْهَى عَنِ الفَحْشَاءِ وَالمُنكَرِ وَالْبَغْيِ، يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ 

فَاذْكُرُوا اللَّهَ العَظِيمَ يَذْكُرْكُمْ، وَاشْكُرُوهُ عَلَى نِعَمِهِ يَزِدْكُمْ، وَلَذِكْرُ اللَّهِ أَكْبَرُ، وَاللَّهُ يَعْلَمُ مَا تَصْنَعُونَ

Minggu, 15 Juni 2025

Masāʾil Fiqhiyyah: Takbiratul Intiqal

Masāʾil Fiqhiyyah


Pertanyaan:

Bagaimana dan kapan mengucapkan takbir intiqal dalam gerakan salat?



Dr. H. Ahmad Abrar Rangkuti, M.A.

Jawaban:

Kutipan dari Al-Ikhtiyārāt al-Fiqhiyyah fī Masā’il al-‘Ibādah:


يَنْهَضُ إِلَى الرَّكْعَةِ الثَّانِيَةِ مُكَبِّرًا، قَائِلًا: "اللَّهُ أَكْبَرُ"، مِنْ حِينِ يَرْفَعُ مِنْ سُجُودِهِ، جَالِسًا جِلْسَةَ الِاسْتِرَاحَةِ، أَوْ حِينَ يَفْرُغُ مِنْ جِلْسَةِ الِاسْتِرَاحَةِ يَنْهَضُ وَيَقُولُ: "اللَّهُ أَكْبَرُ". فَإِنْ بَدَأَ بِالتَّكْبِيرِ، ثُمَّ جَلَسَ، نُبِّهَ الْجَمَاعَةُ حَتَّى لَا يُسْبِقُوهُ وَحَتَّى يَجْلِسُوهَا وَيَأْتُوا بِهَذِهِ السُّنَّةِ، وَإِنْ جَلَسَ قَبْلَ أَنْ يُكَبِّرَ، ثُمَّ رَفَعَ بِالتَّكْبِيرِ، فَلَا بَأْسَ

Ia bangkit ke rakaat kedua dengan bertakbir, seraya mengucapkan “Allahu Akbar”, sejak mulai mengangkat kepalanya dari sujud, duduk untuk jilsah istirāhah (duduk istirahat), atau ketika selesai dari duduk itu lalu bangkit dan bertakbir. Jika seseorang bertakbir lebih dahulu lalu duduk, maka jamaah perlu diingatkan agar tidak menyangka bahwa ia langsung berdiri,  sehingga mereka juga duduk istirahat dan tidak tertinggal dari sunnah ini. Tapi kalau dia duduk dulu, lalu takbir sambil berdiri, tidak masalah.


Penjelasan:

Apa itu Takbir Intiqal?

Adalah takbir (ucapan “Allahu Akbar”) yang diucapkan ketika berpindah dari satu rukun ke rukun lain, seperti dari sujud ke berdiri.

Kapan Takbir Intiqal Diucapkan?

Yang utama: Takbir diucapkan saat mulai bangkit dari duduk istirahat menuju berdiri.

Jika ia duduk dulu tanpa takbir, lalu bertakbir ketika berdiri — itu sah dan sesuai sunnah.

Tapi jika ia bertakbir lebih awal, misalnya saat masih dalam sujud atau baru mengangkat kepala dari sujud, maka ini bisa membingungkan makmum.


Beberapa Kasus-Kasus:

Kasus 1: Imam bertakbir sebelum duduk istirahat

Imam sujud kedua.

Setelah itu langsung mengucapkan “Allahu Akbar”, lalu baru duduk sejenak (jilsah istirāhah).

Makmum bisa menyangka bahwa imam akan langsung berdiri, lalu bangkit sebelum imam duduk.

Solusi: Imam sebaiknya takbir saat mulai berdiri, bukan sebelumnya.


Kasus 2: Imam duduk dulu, lalu bertakbir sambil berdiri

Imam sujud kedua.

Ia duduk istirahat dulu.

Lalu saat mulai berdiri ia bertakbir.

Ini adalah praktik terbaik, karena: tidak membingungkan makmum dan menunjukkan urutan gerakan yang sesuai sunnah.


Kasus 3: Imam bertakbir saat masih menempelkan dahi di tempat sujud

Imam masih dalam posisi sujud, belum mengangkat kepala, bahkan dahinya masih menempel di sajadah.

Tapi ia sudah mengucapkan “Allahu Akbar”.

Makmum bisa langsung berdiri menyangka imam sudah bergerak bangkit.

Namun sebenarnya imam masih sujud.

Ini tidak tepat dan bisa menimbulkan fitnah gerakan bagi makmum.


Menurut para ulama:

Takbir intiqal adalah dzikir berpindah, maka sebaiknya dibaca saat berpindah rukun, bukan sebelum atau sesudah berpindah.

Dalam hal ini, imam telah bertakbir sebelum waktunya.


Solusi dan Imbauan:

Imam sebaiknya menunda takbir hingga benar-benar mulai bangkit dari sujud, minimal saat mengangkat kepala dari tempat sujud.

Hal ini agar makmum tidak tergesa-gesa berdiri sebelum imam benar-benar bergerak.


Kesimpulan:

Waktu terbaik takbir intiqal adalah saat mulai bangkit menuju rukun berikutnya.

Takbir sebelum waktunya, seperti saat masih sujud, bisa membingungkan makmum.

Imam harus berhati-hati dalam waktu dan suara takbir, karena makmum mengikuti berdasarkan suara, bukan melihat gerakan langsung.

Duduk istirahat (jalsah istirāhah) disunnahkan, dan imam harus jelas dalam menampakkannya agar makmum tidak melewatkannya. 

Wallahu A'lamu.

Sabtu, 07 Juni 2025

Masāʾil Fiqhiyyah: Kapan Manasik Haji dan Umrah

Masāʾil Fiqhiyyah: Kapan Seseorang Wajib Mengikuti Bimbingan Manasik Haji?



Dr. H. Ahmad Abrar Rangkuti, M.A.


Pertanyaan:

Kapan seseorang wajib mengikuti bimbingan manasik haji menurut hukum fiqih?

Jawaban:

Dalam kitab Al-Yāqūt al-Nafīs fī Madzhab Ibn Idrīs karya Syekh Ahmad bin Umar Asy-Syatiri, halaman 317, dijelaskan sebagai berikut:

نصُّ المسألة:

وَإِنْ تَحَقَّقَ عَزْمُهُ وَجَبَ عَلَيْهِ أَنْ يَتَعَلَّمَ شُرُوطَ الْحَجِّ وَأَرْكَانَهُ وَمَا يُبَاحُ لَهُ عَمَلُهُ وَمَا يَجِبُ عَلَيْهِ تَرْكُهُ وَمَا هُوَ الْمَنْهِيُّ عَنْهُ وَمَا هُوَ الْمَطْلُوبُ مِنْهُ

“Jika telah benar-benar mantap tekadnya (untuk menunaikan haji), maka wajib baginya untuk mempelajari syarat-syarat haji, rukun-rukunnya, hal-hal yang dibolehkan untuk dilakukan, hal-hal yang wajib ditinggalkan, larangan-larangan, dan apa saja yang dituntut darinya.”

 

Penjelasan:

Ibadah haji merupakan ibadah yang memiliki banyak tata cara, larangan, dan rukun yang tidak bisa dilakukan sembarangan. Kesalahan dalam pelaksanaan bisa berakibat fatal pada keabsahan ibadah haji seseorang.

Maka, bimbingan manasik haji menjadi kewajiban bagi siapa saja yang telah memiliki tekad kuat dan kepastian untuk berangkat haji. Dalam konteks sekarang, ini berlaku bagi:

Jamaah yang sudah terdaftar secara resmi,

Telah mendapatkan jadwal keberangkatan,

Sudah mampu secara fisik dan finansial.

Bimbingan manasik bukan hanya formalitas, tetapi bagian dari kewajiban menuntut ilmu sebelum beramal. Dalam fiqih, seseorang yang melakukan ibadah tanpa ilmu disebut ghurūr (tertipu) oleh amalnya sendiri.


Beberapa masalah terkait manasik haji yang dielaborasi dari ibarot di atas adalah: 

1. Apakah seseorang berdosa jika berhaji tanpa mengikuti bimbingan manasik terlebih dahulu?

Jawaban:

Jika seseorang melaksanakan ibadah haji tanpa mengetahui tata caranya (rukun, syarat, larangan, dll), maka ia telah meninggalkan kewajiban thalab al-‘ilm (mencari ilmu) yang harus dilakukan sebelum beramal. Dalam hal ini, ia berdosa karena menyepelekan kewajiban belajar sebelum beramal. Bahkan jika ibadahnya tidak sah akibat ketidaktahuannya, maka ia juga berdosa karena telah menyia-nyiakan kewajiban haji.


2. Bagaimana hukum mengikuti manasik haji jika seseorang belum mendapat jadwal keberangkatan?

Jawaban:

Tidak wajib, namun sangat dianjurkan (sunnah muakkadah) sebagai bentuk persiapan dini. Kewajiban mempelajari manasik baru muncul saat tekad kuat (ʿazm) untuk berhaji telah terbentuk, khususnya ketika seseorang sudah terdaftar dan dipastikan berangkat.

3. Apakah cukup belajar manasik haji sendiri tanpa mengikuti pelatihan formal?

Jawaban:

Secara hukum, kewajiban belajar manasik bisa terpenuhi baik melalui pembelajaran mandiri maupun formal, asalkan seseorang benar-benar memahami aspek fiqih dan teknis pelaksanaannya. Namun dalam praktiknya, bimbingan formal lebih direkomendasikan karena lebih terstruktur, ada pembimbing, dan bisa bertanya saat ada kesulitan.

4. Siapa yang bertanggung jawab memastikan jamaah memahami manasik haji?

Jawaban:

Tanggung jawab utama tetap pada individu masing-masing. Namun, pemerintah melalui Kemenag dan lembaga penyelenggara haji juga bertanggung jawab secara moral dan administratif untuk memastikan jamaah mendapat bimbingan. Dalam fiqih, pemimpin wajib ta’wīn al-‘āmmah (membina masyarakat) dalam hal ibadah dan hukum syariat.

5. Apakah gugur kewajiban manasik bagi orang yang sudah pernah berhaji sebelumnya?

Jawaban:

Jika ia sudah memahami manasik dengan baik dari haji sebelumnya dan tidak ada perubahan dalam tata cara haji yang ia ketahui, maka tidak wajib mengulang manasik, tapi tetap dianjurkan sebagai penyegaran ilmu. Namun, jika ada perubahan fatwa, aturan teknis, atau ia lupa sebagian rukun, maka ia wajib mengulang belajar.

6. Apa dampaknya jika seseorang melaksanakan haji tanpa memahami hal-hal yang wajib ditinggalkan (larangan ihram, dll)?

Jawaban:

Jika ia melanggar larangan ihram karena tidak tahu, maka:

Jika ketidaktahuan itu karena lalai tidak belajar padahal sudah wajib, ia berdosa dan tetap wajib membayar dam (denda).

Jika benar-benar tidak tahu karena belum mampu belajar (belum waktunya wajib), maka tidak berdosa, tetapi tetap wajib membayar dam jika terjadi pelanggaran.

7. Bagaimana pandangan fiqih terhadap orang yang menyepelekan bimbingan manasik karena merasa ‘sudah pernah mendengar’?

Jawaban:

Dalam fiqih, amal yang dilakukan dengan sikap ghurūr (merasa cukup tahu padahal tidak mendalam) termasuk bentuk ketertipuan dalam beramal. Menyepelekan manasik menunjukkan kurangnya adab terhadap ilmu. Hal ini bisa mengakibatkan amal haji tidak sah atau kurang sempurna, karena salah satu syarat diterimanya amal adalah ilmu dan keikhlasan.

Kesimpulan:

Manasik haji wajib diikuti setelah seseorang memiliki tekad yang pasti untuk berhaji. Ini selaras dengan prinsip bahwa amal yang sah harus didahului dengan ilmu.

Semoga kita semua dimudahkan Allah untuk memahami dan menunaikan ibadah haji dengan sempurna. 


Kamis, 05 Juni 2025

KHUTBAH IDUL ADHA 1446 H/2025 M

Khutbah Idul Adha 

MAKNA KURBAN: MENYEMBELIH EGO, MENEBAR MANFAAT

Dr. H. Ahmad Abrar Rangkuti, M.A., C.ITE.

Masjid Al Hidayah Jl. Pembangunan I, Sekip, Lubuk Pakam

Jumat, 10 Zulhijjah 1446 H/06 Juni 2025 M.


Khutbah Pertama

ٱللَّهُ أَكْبَرُ، ٱللَّهُ أَكْبَرُ، ٱللَّهُ أَكْبَرُ ٱللَّهُ أَكْبَرُ، ٱللَّهُ أَكْبَرُ، ٱللَّهُ أَكْبَرُ ٱللَّهُ أَكْبَرُ، ٱللَّهُ أَكْبَرُ، ٱللَّهُ أَكْبَرُ لَا إِلَٰهَ إِلَّا ٱللَّهُ، وَٱللَّهُ أَكْبَرُ ٱللَّهُ أَكْبَرُ، وَلِلَّهِ ٱلْحَمْدُ ُ

ٱلْـحَمْدُ لِلَّهِ ٱلَّذِي جَعَلَ إِبْرَاهِيمَ عَلَيْهِ ٱلسَّلَامُ قُدْوَةً لِكُلِّ مَنْ أَرَادَ طَاعَةَ ٱللَّهِ، وَجَعَلَ ٱلْقِصَّةَ بَيْنَهُ وَبَيْنَ ٱبْنِهِ إِسْمَاعِيلَ عَلَيْهِمَا ٱلسَّلَامُ عِبْرَةً وَتَعْلِيمًا لِلنَّفْسِ ٱلْمُؤْمِنَةِ، وَنَحْمَدُهُ عَلَىٰ نِعْمَةِ ٱلْإِيمَانِ وَٱلْإِسْلَامِ، وَنَسْتَعِينُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ، وَنَعُوذُ بِهِ مِنْ شُرُورِ أَنْفُسِنَا وَسَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا. مَنْ يَهْدِهِ ٱللَّهُ فَلَا مُضِلَّ لَهُ، وَمَنْ يُضْلِلْ فَلَا هَادِيَ لَهُ 

أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلٰهَ إِلَّا ٱللَّهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ. ٱللَّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ وَبَارِكْ عَلَىٰ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ، وَعَلَىٰ آلِهِ وَصَحْبِهِ أَجْمَعِينَ 

أُوصِيكُمْ وَنَفْسِيَ ٱلْمُقَصِّرَةَ بِتَقْوَى ٱللَّهِ، فَاتَّقُوا ٱللَّهَ عِبَادَ ٱللَّهِ، حَقَّ ٱلتَّقْوَى، وَرَاقِبُوهُ فِي ٱلسِّرِّ وَٱلْعَلَنِ، قَالَ ٱللَّهُ تَعَالَىٰ: ﴿يَا أَيُّهَا ٱلَّذِينَ آمَنُوا ٱتَّقُوا ٱللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلَا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنْتُمْ مُّسْلِمُونَ﴾ [آلِ عِمْرَان: ١٠٢] 


Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar Walillahil Hamd

Kaum Muslimin dan Muslimat Rahimakumullah…

Hari ini adalah hari yang agung. Hari raya umat Islam yang menyatukan umat dari berbagai penjuru dunia dalam satu takbir, satu tujuan, satu ketaatan. Hari ini adalah Yaumun Nahr — hari penyembelihan, hari pengorbanan, dan hari pembebasan diri dari belenggu hawa nafsu. Sebuah hari yang tidak hanya dimaknai dengan ritual semata, namun juga sebagai tonggak transformasi spiritual dan sosial.

Takbir yang kita kumandangkan sejak terbit fajar adalah simbol kemenangan. Kemenangan atas syahwat yang selama ini membelenggu. Kemenangan atas ego yang sering merusak. Kemenangan atas cinta dunia yang sering menutup mata terhadap tangisan kaum dhuafa dan penderitaan umat.

Pengorbanan Agung: Jejak Ibrahim dan Ismail

Allah ﷻ berfirman dalam Surat As-Saffat ayat 107:

﴿وَفَدَيْنَاهُ بِذِبْحٍ عَظِيمٍ﴾

“Dan Kami tebus anak itu dengan sembelihan yang besar.”

Bayangkanlah... seorang ayah yang begitu mencintai anaknya, diuji oleh Allah untuk menyembelih darah dagingnya sendiri. Namun demi ketaatan, keduanya—ayah dan anak—berpasrah. Tak ada penolakan, tak ada keraguan. Hanya keyakinan. Hanya keikhlasan.

﴿يَا أَبَتِ افْعَلْ مَا تُؤْمَرُ ۖ سَتَجِدُنِي إِنْ شَاءَ اللَّهُ مِنَ الصَّابِرِينَ﴾

"Wahai ayahku, lakukanlah apa yang diperintahkan kepadamu. Insya Allah, engkau akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar." (QS. As-Saffat: 102)

Inilah nilai tertinggi dari ubudiyah—penghambaan. Ketika cinta kepada Allah mengalahkan segalanya. Maka jangan pernah merasa cukup hanya dengan menyembelih kambing, sapi, atau unta… jika hati kita masih diperbudak ego, ambisi, dan keengganan untuk berkorban bagi sesama.

Makna Kurban di Era Kini

عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ

«مَا عَمِلَ آدَمِيٌّ مِنْ عَمَلٍ يَوْمَ النَّحْرِ أَحَبَّ إِلَى اللَّهِ مِنْ إِهْرَاقِ الدَّمِ، إِنَّهُ لَيَأْتِي يَوْمَ الْقِيَامَةِ بِقُرُونِهَا وَأَشْعَارِهَا وَأَظْلَافِهَا، وَإِنَّ الدَّمَ لَيَقَعُ مِنَ اللَّهِ بِمَكَانٍ قَبْلَ أَنْ يَقَعَ عَلَى الْأَرْضِ، فَطِيبُوا بِهَا نَفْسًا»

رَوَاهُ التِّرْمِذِيُّ، وَقَالَ: حَدِيثٌ حَسَنٌ غَرِيبٌ 

Dari Aisyah ra., ia berkata: Rasulullah ﷺ bersabda:

"Tidak ada amalan yang dilakukan oleh anak Adam pada hari Nahr (Iduladha) yang lebih dicintai Allah selain menyembelih kurban. Sesungguhnya hewan kurban itu akan datang pada hari kiamat dengan tanduk, bulu, dan kuku-kukunya. Dan sungguh darahnya telah sampai kepada Allah sebelum jatuh ke tanah. Maka relakanlah kurban itu dengan hati yang lapang."

(HR. Tirmidzi, beliau berkata: Hadis hasan gharib)

Tetapi, wahai Kaum Muslimin dan Muslimat, Jamaah Salat Id yang dirahmati Allah…

Kurban hari ini tidak selalu berbentuk kambing, sapi, atau unta. Kurban bisa hadir dalam bentuk yang lebih lembut, namun jauh lebih dalam maknanya.

Kadang ia berupa waktu yang kita sisihkan untuk menengok orang tua, mendampingi anak-anak, atau sekadar hadir sepenuh hati untuk keluarga kita.

Kadang kurban itu berupa tenaga dan pikiran, yang kita curahkan untuk kebaikan bersama: di lingkungan, di sekolah, atau di masjid yang sedang kita bangun dengan semangat gotong royong.


Kadang pula, kurban itu berupa harta, yang kita sisihkan dengan ikhlas untuk membantu saudara yang membutuhkan, menyantuni anak yatim, atau mendukung pembangunan rumah Allah—sebuah amal jariyah yang pahalanya tak terputus, bahkan setelah kita tiada.

Dan kadang, kurban paling besar adalah kurban batin—mengalahkan amarah, menundukkan ego, dan memaafkan orang yang pernah menyakiti, demi tegaknya ukhuwah dan kedamaian.

Itulah esensi kurban yang sesungguhnya: ketika kita rela melepaskan sesuatu yang kita cintai karena Allah—apakah itu waktu, tenaga, harta, bahkan harga diri—demi meraih ridha Allah SWT dan manfaat bagi sesama.

Maka hari ini, mari kita bertanya pada diri sendiri:

Sudahkah kita benar-benar berkurban?

Atau baru sekadar menyembelih hewan, tanpa pernah menyentuh makna sejatinya: menyembelih ego, ambisi, dan keengganan untuk berbagi dan melayani?

Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar Walillahil Hamd

Kaum Muslimin dan Muslimat Rahimakumullah…


Kita hidup di zaman ketika banyak yang sibuk menuntut haknya, tapi enggan menunaikan kewajibannya. Zaman ketika suara tuntutan lebih nyaring daripada bisikan tanggung jawab.


Namun, spirit Iduladha hari ini mengajarkan kita untuk membalik arah. Untuk tidak hanya bertanya, “Apa yang sudah orang lain lakukan untukku?”, tapi berani bertanya, “Apa yang bisa aku persembahkan untuk umat, bangsa, dan lingkungan sekitarku?”

Jadilah pribadi yang hadir sebagai solusi, bukan sumber keruhnya suasana.

Yang merangkul, bukan memukul.

Yang menenangkan, bukan memprovokasi.

Yang mengulurkan tangan, bukan membentangkan jurang.

Karena hakikat kurban adalah memberi, bukan menanti. Merelakan, bukan menuntut. Menguatkan, bukan memecah belah.

Kita isi hari-hari pasca-Iduladha ini dengan semangat taqarrub kepada Allah dan empati terhadap sesama.

Menjadi muslim yang tak hanya shalih secara pribadi, tapi juga muslih bagi masyarakat.


Menjadi hamba yang bukan hanya taat di atas sajadah, tapi juga bermanfaat di tengah kehidupan nyata.

Gerakan Nyata Pasca Idul Adha

Idul Adha bukan akhir, tetapi awal gerakan. Gerakan penguatan nilai ta’awun (tolong-menolong), ukhuwwah (persaudaraan), dan tadhiyyah (pengorbanan). Idul Adha bukan sekadar seremoni penyembelihan, bukan pula hanya tentang membagi daging dalam kantong plastik. Ia adalah momen suci untuk menghidupkan kembali makna cinta, empati, dan kepedulian dalam hidup bermasyarakat.

Pertama, mari kita berbagi daging kurban dengan cara yang bermartabat dan penuh kasih sayang.

Bukan asal membagi, apalagi merasa berjasa, tapi dengan senyum, sapaan hangat, dan panggilan yang mengangkat harga diri. Karena sungguh, yang lebih mereka butuhkan bukan hanya dagingnya—tetapi kepedulian dan pengakuan akan martabatnya sebagai sesama manusia. Jangan biarkan orang harus antre di bawah panas matahari untuk menerima sepotong daging, sementara kita duduk nyaman di tempat teduh.

Kedua, mari kita jaga lingkungan kita saat dan setelah berkurban. Karena keshalihan ritual harus berjalan seiring dengan keshalihan sosial dan ekologis.

Ketiga, jadikan semangat kurban ini sebagai pemantik lahirnya gerakan sosial berkelanjutan di lingkungan kita.

Mengapa tidak kita mulai membentuk bank makanan dari kelebihan daging? Atau menggerakkan gotong royong untuk memperbaiki rumah tetangga yang hampir roboh? Atau menyisihkan sebagian dari rezeki kita secara rutin untuk beasiswa anak yatim dan dhuafa?


Satu ekor kambing mungkin habis dalam sehari. Tapi satu gerakan kebaikan, bisa memberi makan dan harapan untuk bertahun-tahun.

Keempat, mari jadikan momen Idul Adha ini untuk merajut silaturahmi yang sempat retak.

Karena sering kali, konflik kita tidak besar—hanya karena miskomunikasi, perbedaan pendapat, atau ego yang tak ingin mengalah.


Tapi percayalah, maaf yang kita berikan, tangan yang kita ulurkan, adalah kurban yang tak kalah agung di sisi Allah. Maka jangan tunggu esok untuk meminta maaf atau memulai percakapan yang sempat terputus. Hari ini adalah saat yang paling tepat.

Syariat Haji: Ruh dan Hakikat

Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar Walillahil Hamd

Kaum Muslimin dan Muslimat Rahimakumullah…

Hari ini juga merupakan puncak ibadah haji, ketika jutaan muslim dari seluruh penjuru dunia berkumpul di Padang Arafah, Mina, dan Muzdalifah. Mereka bertalbiyah: "Labbaykallahumma labbayk..." sebagai simbol kepasrahan total kepada Allah.

Syariat haji adalah rangkaian latihan rohani yang meneguhkan tauhid, menanamkan sabar, dan menghapus sekat-sekat duniawi. Semua sama di hadapan Allah—raja dan rakyat, kaya dan miskin, pejabat dan buruh.

Bagi yang belum berhaji, mari niatkan dari sekarang. Sisihkan rezeki, luruskan niat. Dan bagi yang tidak mampu secara fisik atau finansial, tetaplah ambil semangat hajinya: mengenakan pakaian putih dalam hati, berserah diri, meninggalkan dosa, dan kembali sebagai pribadi yang suci.

Idul Adha dan Hari Jumat: Diskursus Fikih

Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar Walillahil Hamd

Kaum Muslimin dan Muslimat Rahimakumullah…

Hari ini Idul Adha jatuh pada hari Jumat. Sebagian mungkin bertanya: apakah masih wajib shalat Jumat setelah shalat Id?

Dalam kitab fikih, para ulama berbeda pendapat. Sebagian berpendapat bahwa orang yang telah melaksanakan shalat Id boleh tidak menghadiri Jumat, dengan dalil hadis dari Usman bin Affan dan atsar dari Ibnu Zubair. Ini adalah pendapat Imam Ahmad dan dikuatkan oleh sebagian ulama Hanabilah.

عَنْ عَطَاءِ بْنِ أَبِي رَبَاحٍ قَالَ شَهِدْتُ الْعِيدَ مَعَ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ، فَقَالَ: إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ ﷺ قَدْ رَخَّصَ لِلأَعْيَانِ فِي جُمُعَةٍ، فَقَالَ: إِنَّهُ مَنْ شَاءَ أَنْ يُصَلِّيَ فَلْيُصَلِّ 

رَوَاهُ أَبُو دَاوُدَ

Dari ‘Atha’ bin Abi Rabah, ia berkata:

“Aku pernah menghadiri salat Id bersama Umar bin Khattab, lalu ia berkata: Sesungguhnya Rasulullah ﷺ telah memberikan keringanan bagi siapa yang menghadiri salat Id untuk tidak salat Jumat, lalu beliau bersabda: 'Barang siapa yang mau salat (Jumat), maka silakan ia salat’.” (HR. Abu Daud)

Namun mayoritas ulama, seperti dari madzhab Syafi’i dan Maliki, menyatakan bahwa kewajiban shalat Jumat tetap berlaku kecuali bagi musafir dan orang-orang yang memiliki udzur. Hal ini didasarkan pada firman Allah SWT.

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا نُودِيَ لِلصَّلَاةِ مِنْ يَوْمِ الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا إِلَىٰ ذِكْرِ اللَّهِ وَذَرُوا الْبَيْعَ

"Wahai orang-orang yang beriman! Apabila diseru untuk menunaikan salat pada hari Jumat, maka bersegeralah kamu mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli." (QS. Al-Jumu'ah: 9)

Ayat ini bersifat umum dan tidak mengecualikan orang yang telah salat Id. Maka, menurut Syafi’iyah dan Malikiyah, salat Jumat tetap wajib selama tidak ada udzur syar’i seperti sakit atau safar.

Untuk masyarakat umum, pendapat yang paling hati-hati adalah tetap melaksanakan shalat Jumat, dan ini pula yang dipegang oleh pemerintah kita dan para ulama besar Indonesia. Jika tidak mampu, maka shalat Dzuhur wajib ditunaikan.

Maka mari kita jadikan momen ini sebagai ajang memperkuat ukhuwah, bukan saling menyalahkan. Fikih itu luas, dan perbedaan adalah rahmat selama diikat oleh ilmu, adab, dan keikhlasan.

Penutup: Mari Bangkit, Berkorban, dan Bergerak

Jama’ah rahimakumullah…

Mari jadikan Idul Adha ini sebagai momentum kebangkitan. Bangkit menjadi umat yang penuh kasih, solutif, dan progresif.

Jangan biarkan semangat ini berhenti di takbir dan sembelihan. Tapi lanjutkan menjadi gerakan nyata: Gerakan Cinta Sesama, Gerakan Kurban Sosial, Gerakan Bangkit Bersama.

Semoga Allah menerima kurban kita, menghapus dosa-dosa kita, dan menjadikan kita termasuk hamba-Nya yang ikhlas, sabar, dan senantiasa memperjuangkan kebenaran.

نَفَعَنِيَ اللهُ وَإِيَّاكُمْ بِالْقُرْآنِ الْعَظِيمِ، وَبِهَدْيِ سَيِّدِ الْمُرْسَلِينَ. وَأَقُولُ قَوْلِي هٰذَا وَأَسْتَغْفِرُ اللهَ لِي وَلَكُمْ وَلِسَائِرِ الْمُسْلِمِينَ مِنْ كُلِّ ذَنْبٍ، فَاسْتَغْفِرُوهُ، إِنَّهُ هُوَ الْغَفُورُ الرَّحِيمُ 



Khutbah Kedua

  ٱللَّهُ أَكْبَرُ ، ٱللَّهُ أَكْبَرُ، ٱللَّهُ أَكْبَرُ، ٱللَّهُ أَكْبَرُ ،ٱللَّهُ أَكْبَرُ، ٱللَّهُ أَكْبَرُ، ٱللَّهُ أَكْبَرُ لَا إِلَٰهَ إِلَّا ٱللَّهُ، وَٱللَّهُ أَكْبَرُ ٱللَّهُ أَكْبَرُ، وَلِلَّهِ ٱلْحَمْدُ ُ

اَلْـحَمْدُ لِلّٰهِ حَمْدًا كَثِيرًا طَيِّبًا مُبَارَكًا فِيهِ، كَمَا يُحِبُّ رَبُّنَا وَيَرْضَى،

أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلٰهَ إِلَّا اللّٰهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ،

وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ،

صَلَّى اللّٰهُ عَلَيْهِ وَعَلَىٰ آلِهِ وَصَحْبِهِ وَسَلَّمَ تَسْلِيمًا كَثِيرًا 

عِبَادَ اللّٰهِ، أُوصِيكُمْ وَنَفْسِيَ الْمُقَصِّرَةَ بِتَقْوَى اللّٰهِ، فَإِنَّ تَقْوَى اللّٰهِ فَوْزٌ فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ   

اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُسْلِمِينَ وَالْمُسْلِمَاتِ، وَالْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ، الأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَالأَمْوَاتِ، إِنَّكَ سَمِيعٌ قَرِيبٌ مُجِيبُ الدَّعَوَاتِ 

اللَّهُمَّ اجْعَلْنَا مِنْ عِبَادِكَ الْمُخْلِصِينَ، الْمُتَّقِينَ، الْمُتَوَكِّلِينَ، الصَّابِرِينَ 

اللَّهُمَّ تَقَبَّلْ قُرْبَانَنَا، وَاغْفِرْ ذُنُوبَنَا، وَوَسِّعْ أَرْزَاقَنَا، وَاشْفِ مَرْضَانَا، وَارْحَمْ مَوْتَانَا، وَاهْدِ أَبْنَاءَنَا وَبَنَاتِنَا، وَأَصْلِحْ أَحْوَالَنَا، وَاحْفَظْ بِلَادَنَا وَعُلَمَاءَنَا وَأُمَّتَنَا يَا أَرْحَمَ الرَّاحِمِينَ 

اللَّهُمَّ انْصُرِ الْإِسْلَامَ وَأَعِزَّ الْمُسْلِمِينَ، وَأَذِلَّ الْكُفْرَ وَالْكَافِرِينَ، وَدَمِّرْ أَعْدَاءَ الدِّينِ 

اللَّهُمَّ اجْعَلْ هٰذَا الْبَلَدَ آمِنًا مُطْمَئِنًّا، وَسَائِرَ بِلَادِ الْمُسْلِمِينَ 

اللَّهُمَّ اجْعَلْنَا مِمَّنْ يُطِيعُكَ كَمَا أَطَاعَكَ إِبْرَاهِيمُ، وَيُسْلِمُ لَكَ كَمَا أَسْلَمَ إِسْمَاعِيلُ، وَيُضَحِّي ابْتِغَاءَ وَجْهِكَ كَمَا ضَحَّوْا، بِرَحْمَتِكَ يَا أَرْحَمَ الرَّاحِمِينَ 

عبادَ الله، ﴿إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْإِحْسَانِ وَإِيتَاءِ ذِي الْقُرْبَىٰ، وَيَنْهَىٰ عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنكَرِ وَالْبَغْيِ، يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ﴾ [النحل: 90] 

فَٱذْكُرُوا ٱللَّهَ يَذْكُرْكُمْ، وَٱشْكُرُوهُ عَلَىٰ نِعَمِهِ يَزِدْكُمْ، وَلَذِكْرُ ٱللَّهِ أَكْبَرُ، وَٱللَّهُ يَعْلَمُ مَا تَصْنَعُونَ