Khutbah Idul Adha
MAKNA KURBAN: MENYEMBELIH EGO, MENEBAR MANFAAT
Dr. H. Ahmad Abrar Rangkuti, M.A., C.ITE.
Masjid Al Hidayah Jl. Pembangunan I, Sekip, Lubuk Pakam
Jumat, 10 Zulhijjah 1446 H/06 Juni 2025 M.
Khutbah Pertama
ٱللَّهُ أَكْبَرُ، ٱللَّهُ أَكْبَرُ، ٱللَّهُ أَكْبَرُ ٱللَّهُ أَكْبَرُ، ٱللَّهُ أَكْبَرُ، ٱللَّهُ أَكْبَرُ ٱللَّهُ أَكْبَرُ، ٱللَّهُ أَكْبَرُ، ٱللَّهُ أَكْبَرُ لَا إِلَٰهَ إِلَّا ٱللَّهُ، وَٱللَّهُ أَكْبَرُ ٱللَّهُ أَكْبَرُ، وَلِلَّهِ ٱلْحَمْدُ ُ
ٱلْـحَمْدُ لِلَّهِ ٱلَّذِي جَعَلَ إِبْرَاهِيمَ عَلَيْهِ ٱلسَّلَامُ قُدْوَةً لِكُلِّ مَنْ أَرَادَ طَاعَةَ ٱللَّهِ، وَجَعَلَ ٱلْقِصَّةَ بَيْنَهُ وَبَيْنَ ٱبْنِهِ إِسْمَاعِيلَ عَلَيْهِمَا ٱلسَّلَامُ عِبْرَةً وَتَعْلِيمًا لِلنَّفْسِ ٱلْمُؤْمِنَةِ، وَنَحْمَدُهُ عَلَىٰ نِعْمَةِ ٱلْإِيمَانِ وَٱلْإِسْلَامِ، وَنَسْتَعِينُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ، وَنَعُوذُ بِهِ مِنْ شُرُورِ أَنْفُسِنَا وَسَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا. مَنْ يَهْدِهِ ٱللَّهُ فَلَا مُضِلَّ لَهُ، وَمَنْ يُضْلِلْ فَلَا هَادِيَ لَهُ
أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلٰهَ إِلَّا ٱللَّهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ. ٱللَّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ وَبَارِكْ عَلَىٰ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ، وَعَلَىٰ آلِهِ وَصَحْبِهِ أَجْمَعِينَ
أُوصِيكُمْ وَنَفْسِيَ ٱلْمُقَصِّرَةَ بِتَقْوَى ٱللَّهِ، فَاتَّقُوا ٱللَّهَ عِبَادَ ٱللَّهِ، حَقَّ ٱلتَّقْوَى، وَرَاقِبُوهُ فِي ٱلسِّرِّ وَٱلْعَلَنِ، قَالَ ٱللَّهُ تَعَالَىٰ: ﴿يَا أَيُّهَا ٱلَّذِينَ آمَنُوا ٱتَّقُوا ٱللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلَا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنْتُمْ مُّسْلِمُونَ﴾ [آلِ عِمْرَان: ١٠٢]
Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar Walillahil Hamd
Kaum Muslimin dan Muslimat Rahimakumullah…
Hari ini adalah hari yang agung. Hari raya umat Islam yang menyatukan umat dari berbagai penjuru dunia dalam satu takbir, satu tujuan, satu ketaatan. Hari ini adalah Yaumun Nahr — hari penyembelihan, hari pengorbanan, dan hari pembebasan diri dari belenggu hawa nafsu. Sebuah hari yang tidak hanya dimaknai dengan ritual semata, namun juga sebagai tonggak transformasi spiritual dan sosial.
Takbir yang kita kumandangkan sejak terbit fajar adalah simbol kemenangan. Kemenangan atas syahwat yang selama ini membelenggu. Kemenangan atas ego yang sering merusak. Kemenangan atas cinta dunia yang sering menutup mata terhadap tangisan kaum dhuafa dan penderitaan umat.
Pengorbanan Agung: Jejak Ibrahim dan Ismail
Allah ﷻ berfirman dalam Surat As-Saffat ayat 107:
﴿وَفَدَيْنَاهُ بِذِبْحٍ عَظِيمٍ﴾
“Dan Kami tebus anak itu dengan sembelihan yang besar.”
Bayangkanlah... seorang ayah yang begitu mencintai anaknya, diuji oleh Allah untuk menyembelih darah dagingnya sendiri. Namun demi ketaatan, keduanya—ayah dan anak—berpasrah. Tak ada penolakan, tak ada keraguan. Hanya keyakinan. Hanya keikhlasan.
﴿يَا أَبَتِ افْعَلْ مَا تُؤْمَرُ ۖ سَتَجِدُنِي إِنْ شَاءَ اللَّهُ مِنَ الصَّابِرِينَ﴾
"Wahai ayahku, lakukanlah apa yang diperintahkan kepadamu. Insya Allah, engkau akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar." (QS. As-Saffat: 102)
Inilah nilai tertinggi dari ubudiyah—penghambaan. Ketika cinta kepada Allah mengalahkan segalanya. Maka jangan pernah merasa cukup hanya dengan menyembelih kambing, sapi, atau unta… jika hati kita masih diperbudak ego, ambisi, dan keengganan untuk berkorban bagi sesama.
Makna Kurban di Era Kini
عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ
«مَا عَمِلَ آدَمِيٌّ مِنْ عَمَلٍ يَوْمَ النَّحْرِ أَحَبَّ إِلَى اللَّهِ مِنْ إِهْرَاقِ الدَّمِ، إِنَّهُ لَيَأْتِي يَوْمَ الْقِيَامَةِ بِقُرُونِهَا وَأَشْعَارِهَا وَأَظْلَافِهَا، وَإِنَّ الدَّمَ لَيَقَعُ مِنَ اللَّهِ بِمَكَانٍ قَبْلَ أَنْ يَقَعَ عَلَى الْأَرْضِ، فَطِيبُوا بِهَا نَفْسًا»
رَوَاهُ التِّرْمِذِيُّ، وَقَالَ: حَدِيثٌ حَسَنٌ غَرِيبٌ
Dari Aisyah ra., ia berkata: Rasulullah ﷺ bersabda:
"Tidak ada amalan yang dilakukan oleh anak Adam pada hari Nahr (Iduladha) yang lebih dicintai Allah selain menyembelih kurban. Sesungguhnya hewan kurban itu akan datang pada hari kiamat dengan tanduk, bulu, dan kuku-kukunya. Dan sungguh darahnya telah sampai kepada Allah sebelum jatuh ke tanah. Maka relakanlah kurban itu dengan hati yang lapang."
(HR. Tirmidzi, beliau berkata: Hadis hasan gharib)
Tetapi, wahai Kaum Muslimin dan Muslimat, Jamaah Salat Id yang dirahmati Allah…
Kurban hari ini tidak selalu berbentuk kambing, sapi, atau unta. Kurban bisa hadir dalam bentuk yang lebih lembut, namun jauh lebih dalam maknanya.
Kadang ia berupa waktu yang kita sisihkan untuk menengok orang tua, mendampingi anak-anak, atau sekadar hadir sepenuh hati untuk keluarga kita.
Kadang kurban itu berupa tenaga dan pikiran, yang kita curahkan untuk kebaikan bersama: di lingkungan, di sekolah, atau di masjid yang sedang kita bangun dengan semangat gotong royong.
Kadang pula, kurban itu berupa harta, yang kita sisihkan dengan ikhlas untuk membantu saudara yang membutuhkan, menyantuni anak yatim, atau mendukung pembangunan rumah Allah—sebuah amal jariyah yang pahalanya tak terputus, bahkan setelah kita tiada.
Dan kadang, kurban paling besar adalah kurban batin—mengalahkan amarah, menundukkan ego, dan memaafkan orang yang pernah menyakiti, demi tegaknya ukhuwah dan kedamaian.
Itulah esensi kurban yang sesungguhnya: ketika kita rela melepaskan sesuatu yang kita cintai karena Allah—apakah itu waktu, tenaga, harta, bahkan harga diri—demi meraih ridha Allah SWT dan manfaat bagi sesama.
Maka hari ini, mari kita bertanya pada diri sendiri:
Sudahkah kita benar-benar berkurban?
Atau baru sekadar menyembelih hewan, tanpa pernah menyentuh makna sejatinya: menyembelih ego, ambisi, dan keengganan untuk berbagi dan melayani?
Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar Walillahil Hamd
Kaum Muslimin dan Muslimat Rahimakumullah…
Kita hidup di zaman ketika banyak yang sibuk menuntut haknya, tapi enggan menunaikan kewajibannya. Zaman ketika suara tuntutan lebih nyaring daripada bisikan tanggung jawab.
Namun, spirit Iduladha hari ini mengajarkan kita untuk membalik arah. Untuk tidak hanya bertanya, “Apa yang sudah orang lain lakukan untukku?”, tapi berani bertanya, “Apa yang bisa aku persembahkan untuk umat, bangsa, dan lingkungan sekitarku?”
Jadilah pribadi yang hadir sebagai solusi, bukan sumber keruhnya suasana.
Yang merangkul, bukan memukul.
Yang menenangkan, bukan memprovokasi.
Yang mengulurkan tangan, bukan membentangkan jurang.
Karena hakikat kurban adalah memberi, bukan menanti. Merelakan, bukan menuntut. Menguatkan, bukan memecah belah.
Kita isi hari-hari pasca-Iduladha ini dengan semangat taqarrub kepada Allah dan empati terhadap sesama.
Menjadi muslim yang tak hanya shalih secara pribadi, tapi juga muslih bagi masyarakat.
Menjadi hamba yang bukan hanya taat di atas sajadah, tapi juga bermanfaat di tengah kehidupan nyata.
Gerakan Nyata Pasca Idul Adha
Idul Adha bukan akhir, tetapi awal gerakan. Gerakan penguatan nilai ta’awun (tolong-menolong), ukhuwwah (persaudaraan), dan tadhiyyah (pengorbanan). Idul Adha bukan sekadar seremoni penyembelihan, bukan pula hanya tentang membagi daging dalam kantong plastik. Ia adalah momen suci untuk menghidupkan kembali makna cinta, empati, dan kepedulian dalam hidup bermasyarakat.
Pertama, mari kita berbagi daging kurban dengan cara yang bermartabat dan penuh kasih sayang.
Bukan asal membagi, apalagi merasa berjasa, tapi dengan senyum, sapaan hangat, dan panggilan yang mengangkat harga diri. Karena sungguh, yang lebih mereka butuhkan bukan hanya dagingnya—tetapi kepedulian dan pengakuan akan martabatnya sebagai sesama manusia. Jangan biarkan orang harus antre di bawah panas matahari untuk menerima sepotong daging, sementara kita duduk nyaman di tempat teduh.
Kedua, mari kita jaga lingkungan kita saat dan setelah berkurban. Karena keshalihan ritual harus berjalan seiring dengan keshalihan sosial dan ekologis.
Ketiga, jadikan semangat kurban ini sebagai pemantik lahirnya gerakan sosial berkelanjutan di lingkungan kita.
Mengapa tidak kita mulai membentuk bank makanan dari kelebihan daging? Atau menggerakkan gotong royong untuk memperbaiki rumah tetangga yang hampir roboh? Atau menyisihkan sebagian dari rezeki kita secara rutin untuk beasiswa anak yatim dan dhuafa?
Satu ekor kambing mungkin habis dalam sehari. Tapi satu gerakan kebaikan, bisa memberi makan dan harapan untuk bertahun-tahun.
Keempat, mari jadikan momen Idul Adha ini untuk merajut silaturahmi yang sempat retak.
Karena sering kali, konflik kita tidak besar—hanya karena miskomunikasi, perbedaan pendapat, atau ego yang tak ingin mengalah.
Tapi percayalah, maaf yang kita berikan, tangan yang kita ulurkan, adalah kurban yang tak kalah agung di sisi Allah. Maka jangan tunggu esok untuk meminta maaf atau memulai percakapan yang sempat terputus. Hari ini adalah saat yang paling tepat.
Syariat Haji: Ruh dan Hakikat
Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar Walillahil Hamd
Kaum Muslimin dan Muslimat Rahimakumullah…
Hari ini juga merupakan puncak ibadah haji, ketika jutaan muslim dari seluruh penjuru dunia berkumpul di Padang Arafah, Mina, dan Muzdalifah. Mereka bertalbiyah: "Labbaykallahumma labbayk..." sebagai simbol kepasrahan total kepada Allah.
Syariat haji adalah rangkaian latihan rohani yang meneguhkan tauhid, menanamkan sabar, dan menghapus sekat-sekat duniawi. Semua sama di hadapan Allah—raja dan rakyat, kaya dan miskin, pejabat dan buruh.
Bagi yang belum berhaji, mari niatkan dari sekarang. Sisihkan rezeki, luruskan niat. Dan bagi yang tidak mampu secara fisik atau finansial, tetaplah ambil semangat hajinya: mengenakan pakaian putih dalam hati, berserah diri, meninggalkan dosa, dan kembali sebagai pribadi yang suci.
Idul Adha dan Hari Jumat: Diskursus Fikih
Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar Walillahil Hamd
Kaum Muslimin dan Muslimat Rahimakumullah…
Hari ini Idul Adha jatuh pada hari Jumat. Sebagian mungkin bertanya: apakah masih wajib shalat Jumat setelah shalat Id?
Dalam kitab fikih, para ulama berbeda pendapat. Sebagian berpendapat bahwa orang yang telah melaksanakan shalat Id boleh tidak menghadiri Jumat, dengan dalil hadis dari Usman bin Affan dan atsar dari Ibnu Zubair. Ini adalah pendapat Imam Ahmad dan dikuatkan oleh sebagian ulama Hanabilah.
عَنْ عَطَاءِ بْنِ أَبِي رَبَاحٍ قَالَ شَهِدْتُ الْعِيدَ مَعَ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ، فَقَالَ: إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ ﷺ قَدْ رَخَّصَ لِلأَعْيَانِ فِي جُمُعَةٍ، فَقَالَ: إِنَّهُ مَنْ شَاءَ أَنْ يُصَلِّيَ فَلْيُصَلِّ
رَوَاهُ أَبُو دَاوُدَ
Dari ‘Atha’ bin Abi Rabah, ia berkata:
“Aku pernah menghadiri salat Id bersama Umar bin Khattab, lalu ia berkata: Sesungguhnya Rasulullah ﷺ telah memberikan keringanan bagi siapa yang menghadiri salat Id untuk tidak salat Jumat, lalu beliau bersabda: 'Barang siapa yang mau salat (Jumat), maka silakan ia salat’.” (HR. Abu Daud)
Namun mayoritas ulama, seperti dari madzhab Syafi’i dan Maliki, menyatakan bahwa kewajiban shalat Jumat tetap berlaku kecuali bagi musafir dan orang-orang yang memiliki udzur. Hal ini didasarkan pada firman Allah SWT.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا نُودِيَ لِلصَّلَاةِ مِنْ يَوْمِ الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا إِلَىٰ ذِكْرِ اللَّهِ وَذَرُوا الْبَيْعَ
"Wahai orang-orang yang beriman! Apabila diseru untuk menunaikan salat pada hari Jumat, maka bersegeralah kamu mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli." (QS. Al-Jumu'ah: 9)
Ayat ini bersifat umum dan tidak mengecualikan orang yang telah salat Id. Maka, menurut Syafi’iyah dan Malikiyah, salat Jumat tetap wajib selama tidak ada udzur syar’i seperti sakit atau safar.
Untuk masyarakat umum, pendapat yang paling hati-hati adalah tetap melaksanakan shalat Jumat, dan ini pula yang dipegang oleh pemerintah kita dan para ulama besar Indonesia. Jika tidak mampu, maka shalat Dzuhur wajib ditunaikan.
Maka mari kita jadikan momen ini sebagai ajang memperkuat ukhuwah, bukan saling menyalahkan. Fikih itu luas, dan perbedaan adalah rahmat selama diikat oleh ilmu, adab, dan keikhlasan.
Penutup: Mari Bangkit, Berkorban, dan Bergerak
Jama’ah rahimakumullah…
Mari jadikan Idul Adha ini sebagai momentum kebangkitan. Bangkit menjadi umat yang penuh kasih, solutif, dan progresif.
Jangan biarkan semangat ini berhenti di takbir dan sembelihan. Tapi lanjutkan menjadi gerakan nyata: Gerakan Cinta Sesama, Gerakan Kurban Sosial, Gerakan Bangkit Bersama.
Semoga Allah menerima kurban kita, menghapus dosa-dosa kita, dan menjadikan kita termasuk hamba-Nya yang ikhlas, sabar, dan senantiasa memperjuangkan kebenaran.
نَفَعَنِيَ اللهُ وَإِيَّاكُمْ بِالْقُرْآنِ الْعَظِيمِ، وَبِهَدْيِ سَيِّدِ الْمُرْسَلِينَ. وَأَقُولُ قَوْلِي هٰذَا وَأَسْتَغْفِرُ اللهَ لِي وَلَكُمْ وَلِسَائِرِ الْمُسْلِمِينَ مِنْ كُلِّ ذَنْبٍ، فَاسْتَغْفِرُوهُ، إِنَّهُ هُوَ الْغَفُورُ الرَّحِيمُ
Khutbah Kedua
ٱللَّهُ أَكْبَرُ ، ٱللَّهُ أَكْبَرُ، ٱللَّهُ أَكْبَرُ، ٱللَّهُ أَكْبَرُ ،ٱللَّهُ أَكْبَرُ، ٱللَّهُ أَكْبَرُ، ٱللَّهُ أَكْبَرُ لَا إِلَٰهَ إِلَّا ٱللَّهُ، وَٱللَّهُ أَكْبَرُ ٱللَّهُ أَكْبَرُ، وَلِلَّهِ ٱلْحَمْدُ ُ
اَلْـحَمْدُ لِلّٰهِ حَمْدًا كَثِيرًا طَيِّبًا مُبَارَكًا فِيهِ، كَمَا يُحِبُّ رَبُّنَا وَيَرْضَى،
أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلٰهَ إِلَّا اللّٰهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ،
وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ،
صَلَّى اللّٰهُ عَلَيْهِ وَعَلَىٰ آلِهِ وَصَحْبِهِ وَسَلَّمَ تَسْلِيمًا كَثِيرًا
عِبَادَ اللّٰهِ، أُوصِيكُمْ وَنَفْسِيَ الْمُقَصِّرَةَ بِتَقْوَى اللّٰهِ، فَإِنَّ تَقْوَى اللّٰهِ فَوْزٌ فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ
اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُسْلِمِينَ وَالْمُسْلِمَاتِ، وَالْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ، الأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَالأَمْوَاتِ، إِنَّكَ سَمِيعٌ قَرِيبٌ مُجِيبُ الدَّعَوَاتِ
اللَّهُمَّ اجْعَلْنَا مِنْ عِبَادِكَ الْمُخْلِصِينَ، الْمُتَّقِينَ، الْمُتَوَكِّلِينَ، الصَّابِرِينَ
اللَّهُمَّ تَقَبَّلْ قُرْبَانَنَا، وَاغْفِرْ ذُنُوبَنَا، وَوَسِّعْ أَرْزَاقَنَا، وَاشْفِ مَرْضَانَا، وَارْحَمْ مَوْتَانَا، وَاهْدِ أَبْنَاءَنَا وَبَنَاتِنَا، وَأَصْلِحْ أَحْوَالَنَا، وَاحْفَظْ بِلَادَنَا وَعُلَمَاءَنَا وَأُمَّتَنَا يَا أَرْحَمَ الرَّاحِمِينَ
اللَّهُمَّ انْصُرِ الْإِسْلَامَ وَأَعِزَّ الْمُسْلِمِينَ، وَأَذِلَّ الْكُفْرَ وَالْكَافِرِينَ، وَدَمِّرْ أَعْدَاءَ الدِّينِ
اللَّهُمَّ اجْعَلْ هٰذَا الْبَلَدَ آمِنًا مُطْمَئِنًّا، وَسَائِرَ بِلَادِ الْمُسْلِمِينَ
اللَّهُمَّ اجْعَلْنَا مِمَّنْ يُطِيعُكَ كَمَا أَطَاعَكَ إِبْرَاهِيمُ، وَيُسْلِمُ لَكَ كَمَا أَسْلَمَ إِسْمَاعِيلُ، وَيُضَحِّي ابْتِغَاءَ وَجْهِكَ كَمَا ضَحَّوْا، بِرَحْمَتِكَ يَا أَرْحَمَ الرَّاحِمِينَ
عبادَ الله، ﴿إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْإِحْسَانِ وَإِيتَاءِ ذِي الْقُرْبَىٰ، وَيَنْهَىٰ عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنكَرِ وَالْبَغْيِ، يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ﴾ [النحل: 90]
فَٱذْكُرُوا ٱللَّهَ يَذْكُرْكُمْ، وَٱشْكُرُوهُ عَلَىٰ نِعَمِهِ يَزِدْكُمْ، وَلَذِكْرُ ٱللَّهِ أَكْبَرُ، وَٱللَّهُ يَعْلَمُ مَا تَصْنَعُونَ