MENDIDIKKAN NILAI-NILAI TOLERANSI DALAM
PEMBELAJARAN
Oleh: Ahmad Abrar Rangkuti
Matakuliah: Pendidikan
Nilai
Dosen Pembimbing: Dr. Al RASYIDIN,
M.Ag
A. Pendahuluan
Dalam
kehidupan sosial kemasyarakatan di Indonesia diperlukan sikap toleransi, sebagai salah satu sikap hidup untuk
mewujudkan kehidupan
sosial kemasyarakatan
yang tentram. Upaya untuk mewujudkan sikap toleransi itu dilatarbelakangi oleh keberagaman bangsa Indonesia, antara lain, dalam hal suku, bangsa, agama, dll. Sikap toleransi
tersebut merupakan cerminan pola kehidupan sosial
kemasyarakatan yang
bermoral. Untuk mewujudkan sikap toleransi tersebut,
salah satu usaha yang dapat
dilakukan adalah
pembelajaran
mendidikkan nilai-nilai toleransi, yang dilaksanakan di lembaga pendidikan formal dengan
menggunakan pendekatan dan strategi pembelajaran yang didesain agar
pembelajaran dapat berlangsung secara efektif.
Banyak
masalah yang akan terjadi bila sikap toleransi dalam kehidupan tidak
diterapkan. Sikap-sikap nir toleransi seperti scapegoating, bullying, stereotyping,
dll dapat terjadi. Sikap-sikap nir toleransi tersebut akan
melahirkan tindakan
kekerasan sehingga akhirnya melahirkan ketidaktentraman dalam kehidupan.
Misalnya saja di dalam suatu kelompok masyarakat, golongan tua menganggap
golongan muda tidak dapat melakukan sesuatu sebaik apa yang pernah dilakukan oleh
golongan tua, sebagai contoh dapat diketahui dalam hal kepemimpinan. Bahkan,
dalam pengamalan ibadah Islam yang menjadi
bagian ajaran internal agama Islam sekalipun dapat terjadi sikap nir toleransi,
misalnya, shalat dengan memakai doa qunut atau tidak memakai doa qunut. Kondisi di atas menggambarkan
bahwa sikap nir toleransi tersebut sesungguhnya telah terjadi dalam kehidupan
sosial kemasyarakatan di sekitar kita, baik dalam lingkungan yang paling kecil
(keluarga) hingga lingkungan yang paling besar (negara). Meskipun tidak
menggambarkan kondisi secara keseluruhan kehidupan sosial kemasyarakatan, fenomena
sikap-sikap nir toleransi tersebut di atas menggambarkan bahwa toleransi dengan
nilai-nilai instrumental yang dimiliki tidak tampak dalam pengejawentahan di
kehidupan sosial kemasyarakatan.
Ketika nilai-nilai toleransi dididikkan kepada para peserta
didik melalui pembelajaran di lembaga pendidikan formal, para peserta didik
diharapkan mampu memahami, menginternalisasikan dan menerapkan sikap hidup
toleransi sekaligus nilai-nilai instrumentalnya dalam kehidupan sosial
kemasyarakatan mereka. Dimulai dari pelajar di lembaga pendidikan formal, usaha
untuk mewariskan nilai-nilai
toleransi dapat menjadi bekal positif bagi para pelajar dalam
menjalani kehidupan sosial kemasyarakatan mereka pada saat ini dan pada masa
mendatang.
B. Mendidikkan Nilai
Toleransi Dalam Pembelajaran
1.
Pengertian Toleransi
Toleransi dalam bahasa Indonesia
pada bentuk nomina berarti: (1) sifat atau sikap toleransi; (2) batas ukur
untuk penambahan atau pengurangan yang masih diperbolehkan, dan; (3)
penyimpangan yang masih dapat diterima dalam pengukuran kerja. Toleransi dalam
bentuk verba berarti mendiamkan atau membiarkan.[1]
Toleransi bermakna sebagai suatu
bentuk sikap atau kondisi kemasyarakatan. Toleransi
sebagai suatu kondisi kemasyarakatan berhubungan erat dengan sikap yang dianut
secara luas di kalangan masyarakat.
Sebagai bagian dari penilaian yang dilakukan oleh masyarakat, sikap
toleransi akan dinilai sama sebagai suatu sifat yang diinginkan oleh masyarakat
dalam kehidupannya. Oleh karena itu, masyarakat akan mendidik warganya untuk
menilai dan melatihkan sikap toleransi.[2]
Dalam bahasa
Arab toleransi disebut tasamuh.
Toleransi dalam hal ini berarti suatu sikap menerima pihak lain dan menghargai
perbedaan. Dalam makna yang sederhana pada beberapa kandungan arti kata, makna
toleransi dalam bahasa Arab terintegrasi dalam kata-kata seperti, cinta, damai, persahabatan, kerja sama,
tanggung jawab, tulus, dan berhasil. Dengan kata lain wujud toleransi dapat
dilihat dari sikap-sikap tersebut di atas. Dalam bahasa Inggris toleransi
disebut tolerance yang berarti suatu
sikap menerima pihak lain, yaitu menerima perbedaan, apakah perbedaan budaya,
agama, tradisi, bahasa, kebiasaan, dll. Toleransi
juga bermakna Acknowledgment
of others’ rights to
live and to be (pengakuan terhadap hak hidup dan hak menjadi
pada diri orang lain)[3]
UNESCO
memberikan pengertian toleransi salah satunya sebagai: “Tolerance is not an end but a means; it is the minimal essential
quality of social relations that eschew
violence and coercion. Without tolerance, peace is not possible. With
tolerance, a panoply of positive human and social possibilities can be pursued,
including the evolution of a culture of peace.”[4]
(Toleransi bukanlah sebagai sebuah jalan akhir tetapi toleransi merupakan jalan
tengah; toleransi merupakan ukuran esensial yang minimal dari bentuk hubungan
sosial yang mampu menolak terjadinya kekerasan. Tanpa toleransi, kedamaian
tidak mungkin terwujud. Dengan toleransi kekuatan hubungan antara manusia dapat
dicapai, di antaranya meliputi evolusi dalam menciptakan budaya hidup yang
damai)
Parameter yang dapat digunakan untuk mengukur terlaksananya
toleransi dalam kehidupan adalah ajaran yang terdapat di dalam kitab suci,
budaya dan politik. Di dalam Islam, misalnya, terdapat prinsip-prinsip tentang
pelaksanaan toleransi yang termuat di dalam Alquran. Alquran dengan tegas
memberi panduan bahwa dalam hal melaksanakan hubungan dengan penganut agama
selain Islam perlu memperhatikan:
a) Prinsip tentang tidak boleh memaksakan ajaran agama
kepada orang yang beragama lain (la
ikraha fi al-din)
b) Prinsip tentang tidak boleh menghina Tuhan agama lain,
karena mereka yang diejek akan lebih menghina Tuhan orang yang mengejek agama
mereka.
c) Prinsip tentang lakum
dinukum wa liyadin yaitu prinsip tentang keharusan menjaga nilai-nilai
keislaman untuk tidak dicampuradukkan dengan nilai-nilai agama lain.[5]
Dari pendapat
di atas dapat diketahui bahwa toleransi merupakan suatu sikap pengakuan yang
menunjukkan batas ukur yang masih diperbolehkan yang memiliki nilai-nilai yang
dianut oleh sekelompok masyarakat. Meskipun pada pengertian verba toleransi
bermakna mendiamkan atau membiarkan, toleransi tidak berarti menggambarkan
sikap pasif apalagi permisif. Pembiaran yang dimaksud dalam hal ini adalah
sikap yang dimaklumi karena tidak melebihi atau berkurang dari batas ukur yang
sudah diakui oleh suatu kelompok masyarakat.
Sikap
toleransi berlawanan dengan sikap nir toleransi. Nir toleransi
dalam perwujudannya melahirkan sikap-sikap dan perilaku negatif. Gejala
sikap-sikap dan perilaku negatif tersebut antara lain sebagai berikut.
a.
Scapegoating : yaitu menyalahkan pada kelompok tertentu atas
kejadian-kejadian yang traumatis atau hal-hal yang berhubungan dengan masalah
sosial.
b.
Bullying : yaitu menggunakan kapasitas fisik yang
superior untuk menghina orang lain atau
’mencabut’ hak atau status orang lain.
c.
Stereotyping : yaitu menggambarkan karakteristik suatu kelompok
dengan sifat yang sama-biasanya negatif.
Toleransi
sesungguhnya tidak hanya mencakup aspek pelaksanaan kehidupan beragama saja,
bahkan toleransi sesungguhnya memiliki aspek yang sangat luas dalam
pelaksanaannya. Di dalam kehidupan rumah tangga, sebagai level pelaksanaan
pendidikan yang paling kecil, diperlukan adanya nilai-nilai toleransi. Dalam
kehidupan masyarakat juga diperlukan nilai-nilai toleransi. Bahkan dalam
kehidupan bernegara juga sangat diperlukan toleransi. Dan tidak kalah
pentingnya adalah toleransi yang terjalin antara pemeluk agama yang sama.
Pada level
Pendidikan Nilai, toleransi yang dikaji adalah toleransi dalam tataran fakta
historis. Untuk dapat mendidikkan nilai-nilai toleransi dalam pembelajaran
diperlukan strategi pembelajaran yang mampu mengangkat realita kehidupan, salah
satunya melalui studi kasus, yang terjadi tentang pelaksanaan kehidupan
toleransi dan tindakan-tindakan nir toleransi.
2.
Values Clarification Approach Dalam Pembelajaran Toleransi
Dalam
tataran praktikal, mendidikkan nilai toleransi dapat dilakukan dengan dua
bentuk. Pertama, mendidikkan nilai
toleransi pada suatu mata pelajaran tertentu (subject matter), dan kedua,
mendidikkan nilai toleransi pada seluruh program dan proses pembelajaran.
Salah satu
pendekatan yang digunakan dalam mendidikkan nilai toleransi adalah pendekatan
klarifikasi nilai. Pendekatan ini muncul dari psikologi humanistik dan gerakan
humanisme dalam pendidikan sebagai upaya untuk mengimplementasikan ide-ide dan
teori Gordon Alport, Abraham Maslow, Carl Rogers, dan lain-lain. Fokus utama
pendekatan ini adalah untuk membantu peserta didik menggunakan penalaran
rasional dan kesadaran emosional untuk menguji pola-pola perilaku personal dan
mengklarifikasi serta mengaktualisasikan nilai-nilai mereka sendiri.
Pendekatan
ini berangkat dari asumsi bahwa generasi muda dewas ini hidup dalam satu dunia
baru dan complicated, yang sering
kali dibingungkan oleh berbagai perspektif nilai, sehingga sering kali
mengakibatkan terjadinya krisis moral dan kepribadian. Untuk menyelamatkan
generasi muda dari krisis tersebut, maka klarifikasi nilai memusatkan
pendidikannya pada valuing proses
yang menstimulasi anak didik
untuk berfikir dan mengklarifikasi nilai yang dianutnya.[6]
Penekanan
dalam klarifikasi nilai adalah pengajaran sebagai sebuah proses yang
dipengaruhi oleh dua model, yaitu: (1) model ’terapi’ yang melihat anak didik
sebagai klien yang akan dibantu melalui terapi untuk mengembangkan sarana dan
kemampuan dalam menghadapi berbagai permasalahan nilai yang mereka temui, dan
(2) model ’disipliner’ yang menempatkan anak didik sebagai sejarawan, ilmuan,
ataupun filosof muda, sehingga pengajaran yang harus diarahkan guru adalah mendidik
mereka bagaimana berfikir secara kesejarahan, keilmuan dan filosofis.[7]
Klarifikasi
nilai mengharapkan munculnya pribadi-pribadi yang ’sehat’ yakni individu
yang dapat mengembangkan
kapasitasnya untuk melakukan
penilaian (valuing), yang meliputi kemampuan
kognitif, afektif, refleksi diri dan bertingkah laku serta siap menjadi
’sasaran penilaian’ bagi dirinya sendiri. Untuk mewujudkan hal itu, para
pendidik harus memainkan peran sebagai fasilitator yang akan memberikan jalan
atau kemudahan bagi peserta didik untuk mengembangkan keterampilan-keterampilan
yang dibutuhkan guna menjernihkan nilai mana yang ideal mereka pilih agar
menjadi pribadi ’sehat’ atau bernilai. Untuk itu metode belajar yang lazim
digunakan guru adalah dialog kreatif antara peserta didik dan peserta didik dan
guru. Tujuannya adalah memberikan kesempatan pada semua peserta didik untuk
menjernihkan berbagai nilai yang mereka anut tanpa memaksakannya kepada orang
lain.[8]
Mendidikkan
nilai-nilai toleransi dalam pembelajaran dengan menggunakan Pendekatan
Klarifikasi Nilai berarti suatu pendekatan yang dilakukan
dengan tujuan mengantarkan peserta didik pada suatu keterampilan untuk menjernihkan
nilai yang harus mereka yakini agar menjadi pribadi yang bernilai.
Tujuan tersebut dapat dicapai dengan asumsi bahwa dalam Pendekatan Klarifikasi
Nilai terdapat proses dimana peserta didik dihadapkan pada permasalahan nilai
toleransi dan peserta didik diajak untuk berfikir menyelesaikan permasalahan
yang berkaitan dengan nilai toleransi.
Sasaran yang
ingin dicapai dari peserta didik setelah mendapat pembelajaran tentang
nilai-nilai toleransi adalah:
a.
Peserta didik
mampu mengendalikan emosi;
b.
Peserra didik
menjadi individu yang penyabar;
c.
Peserta didik
mampu menjalani kehidupan ’di bawah tekanan’ (under stress);
d.
Peserta didik
mampu mengatasi kesulitan yang dihadapi;
e.
Peserta didik
mampu mengakomodasi perbedaan sudut pandang, dan;
f.
Peserta didik
mampu menjadi individu yang mudah memaafkan.[9]
Pemakalah
berpendapat bahwa sasaran pembelajaran toleransi yang terdapat pada penjelasan
di atas merupakan sasaran pembelajaran toleransi yang bersifat umum mengenai
konsep toleransi yang diharapkan ketika toleransi disampaikan dalam
pembelajaran. Ketika pembelajaran toleransi
yang berlangsung di lembaga pendidikan formal disajikan dengan
mengangkat studi kasus yang detail misalnya, sasaran pembelajaran toleransi
yang akan diharapkan muncul dari peserta didik tentunya bersifat detail
daripada sasaran tersebut di atas.
Pada
penjelasan sebelumnya telah disebutkan bahwa toleransi erat kaitannya dengan
nilai-nilai, seperti: cinta, kedamaian, persahabatan, kerja sama, kejujuran,
dll. Ketika pembelajaran nilai-nilai toleransi dilaksanakan, peserta didik
sesungguhnya mempelajari tentang:
a.
Mencintai
satu sama lain;
b.
Bekerja sama;
c.
Menghargai
persahabatan;
d.
Terbuka dan
ramah;
e.
Jujur
terhadap apa yang dikatakan;
f.
Bagaimana
menghargai orang lain;
g.
Bernegosiasi;
h. Menghargai
hidup dalam kondisi kedamaian;
i. Menghindari
kekerasan;
j. Memuji
keberanian, dan;
k. Mengetahui
bahwa setiap manusia memiliki harga diri
Hemat
pemakalah adalah apa yang dipelajari oleh peserta didik sebagaimana tersebut di
atas merupakan bagian dari nilai-nilai instrumental toleransi. Toleransi
sebagai terminal values, memiliki instrumental values seperti: menghargai
orang lain, menghindari kekerasan, mengakui harga diri orang lain, dsb. Ketika
pembelajaran toleransi dilaksanakan, para peserta didik diharapkan mampu
menampilkan sikap sesuai dengan nilai-nilai instrumental toleransi. Misalnya
pada tema pembahasan tentang sikap hidup umat beragama, peserta didik
diharapkan dapat bersikap menghargai orang yang berbeda agama dalam kehidupan,
tidak melakukan tindakan kekerasan kepada orang yang beragama lain, menjalin
hubungan sosial yang penuh dengan kedamaian, dll.
Pendekatan dalam mendidikkan
nilai-nilai toleransi dalam pembelajaran dengan menggunakan Pendekatan
Klarifikasi Nilai diperlukan strategi dalam mendidikkan nilai-nilai tersebut.
Strategi yang digunakan dalam pendekatan tersebut adalah study case yang disajikan kepada peserta didik melalui dialog
kreatif antara guru dengan peserta didik dan peserta didik dengan
peserta didik.
Beberapa ahli
pendidikan nilai dan moral menawarkan hasil karya mereka secara terperinci
tentang kerangka kerja untuk mengajarkan nilai-nilai toleransi. Sejumlah
cerita-cerita yang mengandung dilema moral mampu memperbaiki keterampilan
keputusan moral peserta didik. Pendekatan studi kasus dalam praktik
pembelajaranya bukanlah sesuatu hal yang perlu diperdebatkan akan tetapi
bertujuan untuk menciptakan situasi pembelajaran dimana peserta didik mampu
memperdalam keyakinan mereka.[10]
Efektivitas
penggunaan strategi pembelajaran study
case adalah besar bagi capaian pada domain kognitif. Strategi ini tepat
digunakan untuk ukuran kelas yang kecil dengan ukuran tingkat partisipasi peserta
didik sedang. Karena study case yang dilakukan dalam pembelajaran
toleransi juga melibatkan diskusi,efektifitas strategi pembelajaran ini menjadi
lebih. Diskusi memiliki efektifitas yang tinggi pada domain kognitif dan
afektif. Diskusi juga tepat digunakan untuk kondisi kelas yang besar. Diskusi
memiliki tingkat partisipasi peserta didik tinggi. Keterangan ini didasarkan
atas tabel tentang strategi pembelajaran berdasar domain, ukuran kelas, dan
partisipasi peserta didik.[11]
Berdasarkan keterangan di atas dapat disimpulkan bahwa mendidikkan nilai-nilai
toleransi dalam pembelajaran dengan menggunakan strategi study case dan ditambah dengan metode diskusi dalam penyampaiannya
memiliki efektifitas yang tinggi pada domain kognitif dan afektif, cocok
digunakan untuk ukuran kelas kecil dan besar.
Melalui strategi study case dalam pembelajaran
mendidikkan nilai-nilai toleransi dilakukan dengan beberapa tahapan. Tahapan-tahapan
yang harus dilakukan dalam strategi study
case, yaitu:
(1) narasi kasus (narration of case); (2) identifikasi nilai (identification of value); (3) literasi norma (literacy of norm); (4) afiksasi kesadaran (affixation of consciousness) dan; (5) internalisasi nilai (internalization of value). Konstruk pada
strategi pembelajaran ini dimulai dari menceritakan sebuah cerita dan diakhiri
dengan personalisasi nilai.[12]
Pada penggunaan contoh strategi pembelajaran yang akan disajikan adalah strategi pembelajaran yang digunakan untuk
peserta didik madrasah dengan strategi case
study. Secara lebih terperinci dari penjelasan masing-masing tahapan
disajikan pada bagian di bawah ini.
a.
Narasi Kasus
Narasi kasus merupakan tahapan pertama dalam strategi pembelajaran ini.
Secara praktis, narasi kasus disajikan kepada para peserta didik
dengan mengangkat sejumlah
masalah yang terjadi
di
masyarakat.
Penyajian tersebut disampaikan dalam bentuk cerita. Ada banyak peristiwa yang
dapat diangkat dalam tahapan ini. Seorang guru di lembaga pendidikan Islam
dapat memulai pertemuannya di kelas dengan menceritakan satu atau lebih cerita
yang berhubungan dengan kompetensi
peserta didik atau topik pembelajaran. Cerita yang disampaikan harus
dipilih secara selektif berdasarkan kebutuhan dan tingkat kompleksitas dilema
nilai yang terkandung di dalam cerita. Matriks di bawah ini menggambarkan
deskripsi pembelajaran toleransi di lembaga pendidikan Islam, madrasah
aliyah.
Kompetensi Peserta Didik
|
Contoh Cerita
|
Toleransi
Dalam Kehidupan Sosial
|
Judul
cerita: ”Mereka bisa, mengapa kita tidak?”
(Cerita
ini mengkisahkan seorang guru yang bijak yang bertempat tinggal sebuah daerah
konflik agama. Rumahnya terbakar ketika konflik berlangsung bahkan meskipun
ia sendiri sama sekali tidak terlibat dalam konflik tersebut. Suatu hari ia
menghadiri sebuah seminar tentang Kerukunan Umat Beragama dan di sana ia
menyaksikan sharing antar pemuka agama secara penuh keakraban. Di akhir
pertemuan, ia berkata kepada salah seorang peserta: ”Lihat mereka. Mereka
saja bisa, mengapa kita tidak bisa?”
|
b.
Identifikasi
Nilai
Setelah memperkenalkan kisah dilematik tersebut kepada peserta didik,
seorang guru dapat memberi kesempatan kepada peserta didik untuk mengidentifikasi nilai
yang terkandung pada alur cerita di atas.
Pada tahapan
ini, seorang guru dapat bertanya kepada peserta didik mengenai beberapa
pertanyaan yang berhubungan dengan masalah yang terdapat pada cerita dengan
tujuan untuk membuat peserta didik berani menyampaikan penalaran nilai moral,
afeksi dan aksi moral mereka. Pertanyaan diberikan secara bertahap dari yang
sederhana hingga pertanyaan yang kompleks. Teknik memberikan pertanyaan yang
kompleks mengadopsi cara berpikir teknik klarifikasi nilai (value of clarification technique/VCT)
para peserta didik di antara sesi diskusi mereka mengenai dilema nilai. Berikut
ini merupakan contoh-contohnya.
Kompetensi Peserta Didik
|
Contoh Identifikasi Nilai
|
Toleransi
Dalam Kehidupan Sosial
|
Judul
cerita: ”Mereka bisa, mengapa kita tidak?”
Pertanyaan-pertanyaan:
o
Menurut pendapatmu apakah seorang guru yang bijak pada kisah tadi
memiliki sikap toleransi yang tinggi terhadap keberagaman beragama?
o
Haruskah rumah guru itu terbakar dalam konflik beragama tersebut?
Mengapa?
o
Apakah sikap toleran sang guru bijak tersebut terhadap keberagaman
beragama menggambarkan bahwa ia adalah
seorang yang berfikiran sempit? Mengapa?
o
Bayangkan seandainya guru bijak yang rumahnya terbakar itu adalah ayahmu,
bagaimana perasaanmu?
|
c.
Literasi
Norma
Pada tahapan ini seorang guru memberi kesempatan kepada para peserta didik
untuk lebih banyak mengkaji tentang prinsip-prinsip Islam yang terdapat di
dalam Alqur’an Hadis Nabi saw. Satu atau lebih dari ayat Alqur’an atau hadis
Nabi saw disajikan kepada para peserta didik. Meskipun menghafal ayat maupun
hadis merupakan bagian penting dari tahap ini, seorang guru semestinya dapat
membimbing siswa kepada pemahaman yang lebih mendalam terhadap nilai-nilai
ajaran Islam.
Kompetensi Peserta Didik
|
Contoh Referensi Norma Keislaman
|
Toleransi
Dalam Kehidupan Sosial
|
Judul
cerita: ”Mereka bisa, mengapa kita tidak?”
Surat
Al Baqarah ayat 256
”Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama
Islam; sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat.
Karena itu barang siapa yang ingkar kepada Thaghut dan beriman kepada Allah,
maka sesungguhnya ia telah berpegang pada buhul tali yang sangat kuat yang
tidak akan putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.”
|
d.
Afiksasi
Kesadaran
Istilah afiksasi memiliki persamaan arti dengan kata pengayaan. Pada
tahapan ini berfungsi untuk memberikan pengayaan kesadaran siswa agar memahami
secara lebih utuh tentang nilai yang terdapat pada topik pembahasan. Banyak
peristiwa sosial biasa lainnya yang dapat disajikan untuk tahapan ini. Proses
afiksasi dikembangkan pada prinsip integrasi antara issu yang disampaikan
dengan kompetensi para peserta didik. Dalam sebuah contoh yang sederhana,
matriks berikut menyajikan
beberapa
kasus alternarif yang diambil dari kejadian-kejadian yang berlangsung di tengah
masyarakat.
Kompetensi Peserta Didik
|
Contoh Topik Sederhana Untuk Pengayaan Kesadaran
|
Toleransi
Dalam Kehidupan Sosial
|
Judul
cerita: ”Mereka bisa, mengapa kita tidak?”
o
Sikap toleransi terhadap agama yang berbeda (Bolehkah kita menghadiri
acara pesta ulang tahun teman yang beragama non Islam?
o
Sikap toleransi terhadap pandang ajaran Islam yang berbeda (Temukan issu
sosial keagamaan di antara muslim-muslim yang merefleksikan sikap tidak
toleransi terhadap pandangan ajaran
Islam yang berbeda dan bandingkan hal
tersebut untuk menemukan kelompok organisasi keislaman yang lebih fanatik!
Mengapa?)
|
e.
Internalisasi
Nilai
Dalam pembicaraan yang luas, internalisasi nilai sebenarnya melibatkan
semua proses pembelajaran nilai pada strategi ini. Idealnya, internalisasi
nilai ditampilkan dalam bentuk perilaku. Tetapi sebagai strategi yang timbul
dari kognisi moral, strategi ini meletakkan asumsinya pada sebuah keyakinan
bahwa kemampuan berfikir pada tingkat yang tinggi dapat mengantarkan kepada
perilaku yang baik. Berdasarkan asumsi ini, internalisasi nilai pada
strategi ini dibatasi pada bentuk yang sederhana. Penyederhanaan ini bermaksud untuk
membantu guru yang
berada di lembaga pendidikan Islam
menyampaikan
materi pembelajarannya di ruang kelas. Penjelasan lebih lanjut dapat
dilihat pada contoh berikut ini.[13]
Kompetensi Peserta Didik
|
Contoh Internalisasi Nilai
|
Toleransi
Dalam Kehidupan Sosial
|
Judul
cerita: ”Mereka bisa, mengapa kita tidak?”
o
Nilai moral dalam bentuk kognitif
- Mengapa kita harus memiliki
sikap toleransi antar umat beragama?
- Yang manakah yang dapat
mendukung semangat toleransi, sikap inklusif atau eksklusif? Mengapa?
o
Nilai moral dalam bentuk afeksi (Pertanyaan yang diberikan pada bagian
ini dikembangkan berdasarkan atas case
story yang disajikan pada tahapan narasi kasus)
- Apakah kamu membenci orang yang
membakar rumah guru bijak pada kisah di atas?
- Bagaimana perasaanmu bila guru
bijak itu adalah dirimu sendiri?
o
Nilai moral dalam prediksi tindakan
- Bisakah kamu mensharingkan
sikap toleransimu ketika kamu tinggal dalam lingkungan yang memiliki
keyakinan beragama yang heterogen?
- Bisakah kamu memberikan uangmu
untuk menolong kelompok agama lain tertentu yang tertimpa bencana alam?
|
Gambaran tentang konsep
mendidikkan nilai-nilai toleransi dalam pembelajaran dapat disederhanakan dalam
bentuk lesson plan berikut ini.
LESSON PLAN
Bidang Studi : Pendidikan Agama Islam
Pokok Bahasan : Toleransi
Subpokok Bahasan : Toleransi Dalam Kehidupan Beragama
Kelas/Semester : XI/I
Waktu : 2 Jam Pelajaran
Kompetensi Dasar:
Dengan pembelajaran toleransi
peserta didik dapat memahami makna toleransi dan menerapkan nilai-nilai yang
terkandung di dalamnya.
Indikator :
1.
Peserta didik
mampu menyebutkan makna toleransi.
2.
Peserta didik
mampu menyebutkan nilai-nilai yang terkandung dalam toleransi.
3.
Peserta didik
mampu menerapkan sikap toleransi dalam kehidupan beragama.
Entering Behavior:
1.
Kemampuan
bersikap peduli terhadap setiap penganut agama dalam kehidupan sehari-hari.
2.
Kemampuan
menciptakan sikap hidup yang damai dalam kehidupan sehari-hari.
3.
Kemampuan
bersikap menghargai orang lain dalam pendapat dan perilaku dalam kehidupan
sehari-hari.
Kegiatan Belajar Mengajar
1.
Guru
menyajikan cerita yang mengandung dilema moral tentang kehidupan umat beragama
sesuai pokok bahasan.
2.
Guru mengadakan
diskusi dengan peserta didik tentang cerita yang disajikan.
3.
Peserta didik
memberi pendapat dalam diskusi tentang kandungan cerita yang disajikan.
4.
Peserta didik
menganalisis masalah yang terjadi pada cerita yang disajikan.
5.
Peserta didik
membuat kesimpulan pembelajaran.
Penilaian :
Menilai 1. Lembar kerja
2. Lembar penilaian
Instrumen : Tes sikap
dan performa
C. Kesimpulan
Mendidikkan nilai-nilai toleransi dalam pembelajaran
merupakan bagian dari usaha untuk menciptakan kedamaian dalam kehidupan.
Nilai-nilai toleransi inklud dalam sikap dan rasa seperti cinta, damai, jujur,
tanggung jawab, dll. Dalam mendidikkan nilai-nilai toleransi dapat dilakukan di
lembaga pendidikan formal, dalam pembahasan pada makalah ini desain
yang disajikan diperuntukkan untuk tingkat madrasah
aliyah. Salah satu pendekatan yang dapat dilakukan dalam
mendidikkan nilai-nilai toleransi dalam pembelajaran adalah Pendekatan
Klarifikasi Nilai. Dari pendekatan yang digunakan ini idealnya para peserta
didik mampu menangkap nilai-nilai toleransi dalam pembelajaran melalui metode
dialog interaktif antara guru dengan murid dan murid dengan guru.
Karakteristik keberhasilan mendidikkan toleransi dalam pembelajaran bagi
seorang pendidik adalah tampilnya nilai-nilai instrumental toleransi yang
ditunjukkan oleh para peserta didik dalam pergaulan mereka. Dengan demikian, tampilnya
nilai-nilai instrumental toleransi menunjukkan bahwa evaluasi pembelajaran
dapat dilakukan oleh seorang pendidik.
DAFTAR PUSTAKA
Al Rasyidin, Percikan Pemikiran
Pendidikan Dari Filsafat Hingga Praktik Pendidikan. Bandung: Citapustaka
Media Perintis, 2009.
Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan, Kamus
Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka, 2001.
Kawsar H. Kouchok. Teaching Tolerace Through Moral & Value
Education (Papers and Resources Materials for the Global Meeting of Experts).
Oslo , 2004.
UNESCO, Tolerance: The Threshold of Peace
(Preliminary version). Paris :
UNESCO, 1994.
Rohmat Mulyana, Case-Based Value Learning: A Challenging
Issue for Teaching Religion. Makalah. Bandung ,
2005.
[1] Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan. Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga. (Jakarta: Balai Pustaka, 2001).
hal. 1204
[2]
UNESCO. Tolerance: The Threshold of Peace
(Preliminary version). (Paris:
UNESCO,1994). hal. 19
[3] Kawsar H. Kouchok. Teaching Tolerance Through Moral & Value Education (Papers and
Resources Materials for the Global Meeting of Experts). (Oslo , 2004). hal. 1
[4]
UNESCO. Op.Cit. hal. 15
[5] Catatan Yang Pemakalah Sarikan Dari Penjelasan
Yang Diberikan Oleh Dr. Al Rasyidin, M.Ag dalam diskusi tentang
Mendidikkan Nilai-Nilai Toleransi Dalam Pembelajaran.
[6] Al
Rasyidin. Percikan Pemikiran Pendidikan
Dari Filsafat Hingga Praktik Pendidikan. (Bandung : Citapustaka Media Perintis, 2009). hal. 120
[7] Ibid. hal. 121
[8] Ibid.
[9] Kawsar H. Kouchok. Op.Cit. hal. 1
[10] Rohmat Mulyana. Case-Based Value Learning: A
Challenging Issue for Teaching Religion in Indonesia . Makalah. (Bandung : 2005). hal. 6
[12] Rohmat Mulyana, Op.Cit.
[13]
Rohmat Mulyana. Op.Cit. hal.
7-10