MASUK DAN BERKEMBANGNYA
ISLAM DI INDONESIA
(Analisis tentang
Teori-Teori yang Ada)
Oleh: Ahmad Abrar
Rangkuti, M.A.
Dosen Pembimbing: Prof.
Dr. Haidar Putra Daulay, M.A.
A. Pendahuluan
Berbicara tentang pendidikan Islam di Indonesia sangatlah erat hubungannya
dengan kedatangan Islam itu sendiri ke Indonesia. Dalam konteks ini Mahmud
Yunus mengatakan bahwa sejarah pendidikan Islam sama tuanya dengan masuknya
agama tersebut ke Indonesia.[1]
Kendatipun pendidikan Islam dimulai sejak pertama Islam itu sendiri menancapkan
dirinya di kepulauan Nusantara, namun secara pasti tidak dapat diketahui
bagaimana cara pendidikan pada masa permulaan Islam di Indonesia, seperti
tentang buku yang dipakai, pengelola dan sistem pendidikan. Ini disebabkan
karena bahan-bahan yang terbatas. Yang dapat dipastikan, pendidikan Islam pada
waktu itu telah ada, tetapi dalam bentuk yang sangat sederhana.
Perjalanan sejarah pendidikan Islam di Indonesia hingga saat sekarang ini telah
melalui tiga periodesasi. Pertama, periode awal sejak kedatangan Islam ke
Indonesia sampai masuknya ide-ide pembaruan pemikiran Islam awal abad kedua
puluh. Periode kedua, periode ini telah dimasuki oleh ide-ide pembaruan
pemikiran Islam pada awal abad kedua puluh. Ketiga, pendidikan Islam telah
terintegrasi ke dalam sistem pendidikan nasional sejak lahirnya Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 1989 dilanjutkan pula dengan Undang-Undang No. 20 Tahun 2003.[2]
Pembahasan pada makalah ini berada pada perjalanan masuk dan berkembangnya
Islam di Indonesia. Hal ini berarti pembahasan berada pada periode pertama dari
perjalanan sejarah pendidikan Islam di Indonesia. Makalah ini akan membahas
proses masuk dan berkembangnya Islam di Indonesia, dan analisis teori-teori
tentang masuknya Islam di Indonesia.
B. Pembahasan
1. Teori-Teori Masuknya
Islam di Indonesia dan Analisisnya
Sejauh menyangkut kedatangan Islam di Nusantara, terdapat diskusi dan
perdebatan panjang di antara para ahli mengenai tiga masalah pokok: tempat asal
kedatangan Islam, para pembawanya, dan waktu kedatangannya. Berbagai teori dan
pembahasan yang berusah menjawab ketiga masalah pokok ini jelas belum tuntas,
tidak hanya kurangnya data yang dapat mendukung suatu teori tertentu, tetapi
juga karena sifat sepihak dari berbagai teori yang ada.
Para ahli sejarah berbeda pendapat tentang di mana dan kapan masuknya Islam ke
Indonesia. Tentang masanya, ada yang mengatakan pada abad pertama Hijriah,
kedua Hijriah, dan sebagainya. Mengenai di mana, para ahli sepakat yaitu di pesisir
Sumatera bagian Utara, hanya perbedaannya, ada yang mengatakan di Perlak atau
Pase; ada yang mengatakan di Aceh Besar atau di Jaya dan ada pula yang
mengatakan di Barus.[3]
Terdapat kecenderungan kuat, suatu teori tertentu menekankan hanya aspek-aspek
khusus dari ketiga masalah pokok, sementara mengabaikan aspek-aspek lainnya.
Karena itu kebanyakan teori yang ada dalam segi-segi tertentu gagal menjelaskan
kedatangan Islam, konversi agama yang terjadi, dan proses-proses Islamisasi
yang terlibat di dalamnya.[4]
Melacak sejarah masuknya Islam ke Indonesia bukanlah urusan yang mudah. Tidak
banyak jejak yang bisa dilacak. Ada beberapa teori yang hingga kini masih
sering dibahas, baik oleh sarjana-sarjana Barat maupun kalangan intelektual
Islam sendiri. Ada tiga teori yang menjelaskan kedatangan Islam ke Indonesia.
Pada umumnya teori-teori itu dikaitkan dengan jalur pelayaran dan perdagangan
antara Dunia Arab dengan Asia Timur. Pulau Sumatera misalnya, karena letak
geografisnya, sejak awal abad pertama Masehi telah menjadi tumpuan perdagangan
antarbangsa dan pedagang-pedagang yang datang ke Sumatera.[5]
Pada awalnya para pedagang yang datang ke Nusantara merangkap tugas
sebagai mubaligh. Tapi karena berdagang bukan merupakan tugas pokok mereka,
lalu kemudian datanglah ornag-orang dari Hadramawt, Yaman, sebagai ustad, yang
menetap di Nusantara. Berdagang bukanlah pekerjaan terus menerus pada masa itu.[6]
a)
Teori Anak Benua India
Sejumlah sarjana, kebanyakan asal Belanda, memegang teori bahwa asal mula Islam
di Nusantara adalah Anak Benua India, bukannya Persia atau Arab. Teori ini
salah satunya diusung oleh Snouck Hurgronje yang mengatakan Islam masuk ke
Indonesia dari wilayah-wilayah anak benua India. Dalam L’arabie et les Indes
Neerlandaises, Snouck mengatakan teori tersebut didasarkan pada pengamatan
tidak terlihatnya peran dan nilai-nilai Arab yang ada dalam Islam pada
masa-masa awal, yakni pada abad ke-12 atau 13. Snouck juga mengatakan teorinya
didukung dengan hubungan yang sudah terjalin lama antara wilayah Nusantara
dengan daratan India.[7]
Sebetulnya, teori ini dimunculkan pertama kali oleh Pijnappel, seorang sarjana
dari Universitas Leiden. Dia mengatakan bahwa asal mula Islam di Nusantara
adalah dari wilayah Gujarat dan Malabar. Menurut dia, adalah orang-orang Arab
bermazhab Syafi’i yang bermigrasi dan menetap di wilayah India tersebut yang
kemudian membawa Islam ke Nusantara.[8]
Namun, nama Snouck Hurgronje yang paling besar memasarkan teori Gujarat ini.
Salah satu alasannya adalah karena Snouck dipandang sebagai sosok yang
mendalami Islam. Teori ini diikuti dan dikembangkan oleh banyak sarjana Barat
lainnya.[9]
Alasan lain adalah bahwa Snouck Hurgronje yang berhujjah bahwa begitu Islam
berpijak kokoh di beberapa kota pelabuhan Anak Benua India, Muslim
Deccan–banyak di antara mereka tinggal di sana sebagai pedagang perantara dalam
perdagangan Timur Tengah dan Nusantara–datang ke dunia Melayu–Indonesia sebagai
para penyebar Islam pertama. Baru kemudian mereka disusul orang-orang
Arab–kebanyakan keturunan Nabi Muhammad saw. karena menggunakan gelar sayyid
atau syarif–yang menyelesaikan penyebaran Islam di Nusantara.
Orang-orang Arab ini muncul di Nusantara baik sebagai “pendeta” (priests)
maupun sebagai “pendeta-penguasa” (priest-princes) atau sultan. Snouck
Hurgronje tidak menyebut secara eksplisit dari wilayah mana di India Selatan
yang dia pandang sebagai asal Islam di Nusantara. Tetapi ia menyebut abad ke-12
sebagai periode paling mungkin dari permulaan penyebaran Islam di Nusantara. [10]
Moquette, seorang sarjana Belanda lainnya, berkesimpulan bahwa tempat asal
Islam di Nusantara adalah Gujarat. Ia mendasarkan kesimpulan ini setelah
mengamati bentuk batu nisan di Pasai, kawasan utara Sumatera, khususnya yang
bertanggal 17 Zulhijjah 831 H/27 September 1428. Batu nisan yang kelihatannya
mirip dengan batu nisan lain ditemukan di makam Maulana Malik Ibrahim (w.
822/1419) di Gresik, Jawa Timur ternyata sama bentuknya dengan batu nisan yang
terdapat di Cambay, Gujarat. Berdasarkan contoh-contoh batu nisan ini ia
berkesimpulan bahwa batu nisan di Gujarat bukan hanya dihasilkan untuk pasar
lokal, tetapi juga untuk diimpor ke kawasan lain, termasuk Sumatera dan Jawa.
Selanjutnya dengan mengimpor batu nisan dari Gujarat, orang-orang Nusantara
juga mengambil Islam dari sana.[11]
Analisa teori Islam berasal dari India dipahami bahwa para pedagang yang
berasal dari Arab berhenti di India. India sebagai jalur perdagangan yang
menghubungkan Arab dan Nusantara merupakan jalur yang logis dilalui sebagai lintasan
perdagangan. Pada awalnya orang-orang Arab yang singgah di India bertujuan
untuk mempersiapkan perbekalan untuk melakukan perjalanan ke tujuan berikutnya.
Akan tetapi, mereka menetap di India untuk beberapa waktu yang relatif lama.
Selain karena menetap, di India dikenal sebagai tempat yang memiliki barang
dagang untuk dibawa ke berbagai tempat.
Orang-orang Arab di India melakukan pengislaman hingga akhirnya Islam menjadi
kuat di India. Dan orang-orang India yang telah diislamkan oleh orang-orang
Arab inilah yang kemudian datang ke Nusantara untuk berdagang dan menyebarkan
misi atau dakwah Islam. Bukan orang-orang Arab yang sudah menetap di India yang
datang ke Nusantara membawa misi atau dakwah Islam.
b)
Teori Benggali
Kesimpulan-kesimpulan Moquette tersebut di atas ditentang keras oleh Fatimi
yang berargumen bahwa keliru mengaitkan seluruh batu nisan di Pasai, termasuk
batu nisan Malik as-Saleh, dengan batu nisan di Gujarat. Menurut penelitiannya,
bentuk dan gaya batu nisan Malik as-Saleh berbeda sepenuhnya dengan batu nisan
yang terdapat di Gujarat dan batu-batu nisan lain yang ditemukan di Nusantara.
Fatimi berpendapat, bentuk dan gaya batu nisan itu justru mirip dengan batu
nisan yang terdapat di Bengal. Karena itu, seluruh batu nisan itu pastilah
didatangkan dari daerah ini. Ini menjadi alasan utamanya untuk
menyimpulkan bahwa Islam datang ke Nusantara adalah dari wilayah Bengal. Dalam
kaitannya dengan “teori batu nisan” ini, Fatimi mengritik para ahli yang
kelihatannya mengabaikan batu nisan Siti Fatimah (bertanggal 475/1082) yang
ditemukan di Leran, Jawa Timur.[12]
Teori bahwa Islam berasal dari Benggali tentu saja bisa dipersoalkan lebih
lanjut termasuk, misalnya, berkenaan dengan adanya perbedaan mazhab yang dianut
kaum Muslim Nusantara (mazhab Syafi’i) dan mazhab yang dianut oleh kaum Muslim
Benggali (mazhab Hanafi). Tetapi terlepas dari masalah ini, teori Fatimi yang
dikemukakannya dengan begitu bersemangat gagal meruntuhkan teori Moquette,
karena sejumlah sarjan lain telah mengambil alih kesimpulannya; dan yang paling
terkenal di antara mereka ini adalah R.A. Kern, R.O. Winstedt, G.H. Bousquet,
B.H.M. Vlekke, J. Gonda, B.J.O Schrieke, dan D.G.E. Hall.[13]
Para sarjana di atas memberikan argumen tambahan untuk mendukung kesimpulan
Moquette. Winstedt misalnya mengemukakan tentang penemuan batu nisan yang mirip
bentuk dan gayanya di Bruas, pusat sebuah kerajaan kuno Melayu di Perak,
Semenanjung Malaya. Ia berhujjah, karena seluruh batu nisan di Bruas, Pasai,
dan Gresik didatangkan dari Gujarat, maka Islam juga pastilah diimpor dari
sana. Ia juga mencatat, Sejarah Melayu mengandung beberapa bukti yang
membenarkan hal ini; antara lain disebutkan kebiasaan di beberapa wilayah di
Nusantara mengimpor batu nisan di Gujarat. Schrieke juga menyokong teori ini
dengan menekankan peran penting yang dimainkan para pedagang Muslim di Gujarat
dalam perdagangan di Nusantara dan kemungkinan andil besar mereka dalam
penyebaran Islam.
Jika dianalisis, teori Islam berasal dari Benggali merupakan suatu teori yang
tidak logis. Hal ini didasarkan dari jalur pelayaran yang tidak mainstream
ditempuh oleh para pedagang. Selain itu juga, daerah Benggali dikenal sebagai
daerah yang tidak banyak barang dagang di sana.
c)
Teori Arab
Dalam kaitan ini, menarik disinggung bahwa kitab ‘Ajaib al-Hind, salah
satu sumber Timur Tengah (aslinya berbahasa Persia) paling awal tentang
Nusantara, mengisyaratkan tentang eksistensi komunitas Muslim lokal di wilayah
kerajaan Hindu-Budha Zabaj (Sriwijaya). Kitab yang ditulis oleh Buzurg bin
Shahriyar ar-Ramahurmuzi sekitar tahun 390/1000 ini meriwayatkan tentang
kunjungan para pedagang Muslim ke kerajaan Zabaj. Para pedagang Muslim ini
menyaksikan kebiasaan di kerajaan itu, bahwa setiap orang Muslim—baik pendatang
maupun penduduk lokal—yang ingin menghadap raja harus “bersila” (برسيلا). Kata “bersila” yang digunakan kitab ‘Ajaib al-Hind
pastilah salah satu di antara sedikit kata Melayu yang pernah digunakan dalam
teks Timur Tengah. Terlepas dari soal bahasa ini, kewajiban bersila yang
disebutkan juga berlaku bagi penduduk Muslim lokal, mengisyaratkan telah
terdapatnya sejumlah penganut Islam dari kalangan penduduk asli kerajaan Zabaj.
Sayang teks ini tidak memberi informasi tentang apakah penduduk asli ini
diislamkan oleh para pedagang Arab tersebut. Yang jelas, kebiasaan bersila
tersebut kemudian dihapuskan oleh raja Sriwijaya setelah pedagang Oman memprotes
bahwa tradisi itu tidak sesuai dengan kerajaan Islam.[14]
Teori bahwa Islam juga dibawa langsung dari Arabia dipegang pula oleh Crawfurd,
walaupun ia menyarankan bahwa interaksi penduduk Nusantara dengan kaum Muslim
yang berasal dari pantai timur India juga merupakan faktor penting dalam
penyebaran Islam di Nusantara. Sementara itu, Keijer memandang Islam di
Nusantara berasal dari Mesir atas dasar petimbangan kesamaan kepemelukan
penduduk Muslim di kedua wilayah kepada mazhab Syafi’i. Teori Arab ini juga
dipegang oleh Niemann dan de Hollander dengan sedikit revisi; mereka memandang
bukan Mesir sebagai sumber Islam di Nusantara, melainkan Hadhramawt. Sebagian
ahli Indonesia setuju dengan “teori Arab” ini. Dalam seminar yang
diselenggarakan pada 1969 dan 1978 tentang kedatangan Islam ke Indonesia mereka
menyimpulkan, Islam datang langsung dari Arabia, tidak dari India, tidak pada
abad ke-12 atau ke-13 melainkan dalam abad pertama Hijriah atau abad ke-7
Masehi.[15]
Seminar Sejarah Masuknya Islam ke Indonesia yang berlangsung di Medan mulai
tanggal 17 s/d 20 Maret 1963, antara lain menyimpulkan:
a.
Bahwa menurut sumber-sumber yang kita ketahui, Islam untuk pertama kalinya
masuk ke Indonesia pada abad pertama Hijriah (abad ketujuh – kedelapan Masehi)
dan langsung dari Arab.
b.
Bahwa daerah yang pertama didatangi oleh Islam adalah pesisir Sumatera dan
bahwa setelah terbentuknya masyarakat Islam, maka Raja Islam yang pertama
berada di Aceh.
c.
Bahwa dalam proses pengislaman selanjutnya, orang-orang Indonesia ikut aktif
mengambil bagian.
d.
Bahwa mubaligh-mubaligh Islam yang lama itu selain sebagai penyiar agama, juga
sebagai saudagar.
e.
Bahwa penyiaran itu di Indonesia dilakukan dengan cara damai.
f.
Bahwa kedatangan Islam itu ke Indonesia membawa kecerdasan dan peradaban yang
tinggi dalam membentuk kepribadian bangsa Indonesia.[16]
Seminar Medan tersebut dilanjutkan dengan seminar di Banda Aceh tahun 1978,
menegaskan bahwa kerajaan Islam pertama adalah Perlak, Lamuri, Pasai. Munculnya
tesis baru ini, yakni Islam telah masuk ke Indonesia pada abad pertama Hijriah
sekitar abad ke-7 dan 8 Masehi merupakan pembetulan dari pendapat yang
berkembang sebelumnya yang dipelopori oleh para orientalis tentang
masuknya Islam ke Indonesia.[17]
Gerini, seorang sejarawan, menyatakan bahwa orang Islam yang pertama kali
mengunjungi Indonesia amat boleh jadi adalah saudagar Arab dalam
abad ke-7 yang singgah di Sumatera ketika mengadakan
perjalanan menuju Cina. Juned Parinduri berpendapat bahwa di Barus Tapanuli
didapatkan sebuah makam yang berangka tahun Haa-Miim yang berarti tahun 48 H
atau 670 M, dengan demikian agama Islam sudah masuk di Barus Tapanuli Sumatera
Utara pada tahun 670 M.[18]
Pendapat Juned Parinduri ini masih membutuhkan interpretasi lebih lanjut
mengenai pembacaan Haa-Miim yang diterjemahkan menjadi tahun 48 H. Sampai saat
ini belum ditemukan dasar yang kuat dari alasan penterjemahan Haa-Miim menjadi
tahun 48 H.
Salah satu pembela tergigih “teori Arab”, Naqiub al-Attas, berpendapat
bahwa batu-batu nisan itu dibawa dari India semata-mata karena jaraknya yang
paling dekat dibandingkan dengan Arabia. Ia memandang bukti paling penting yang
perlu dikaji ketika membahas kedatangan Islam ke Nusantara adalah karakteristik
internal Islam di Dunia Melayu-Indonesia itu sendiri. Ia mengajukan apa yang
disebutnya “teori umum tentang Islamisasi Nusantara”, yang harus didasarkan
pada sejarah literatur Islam Melayu-Indonesia dan sejarah pandangan-dunia
Melayu seperti terlihat dalam perubahan konsep-konsep dan istilah-istilah kunci
dalam literatur Melayu-Indonesia pada abad ke-10-11/16-17.[19]
Setelah mempertimbangkan perubahan-perubahan utama dalam pandangan dunia rakyat
di Nusantara yang disebabkan kedatangan Islam, al-Attas menyimpulkan, sebelum
abad ke-17 seluruh literatur keagamaan Islam yang relevan tidak mencatat satu
pengarang Muslim India, atau karya yang berasal dari India. Pengarang-pengarang
yang dipandang kebanyakan sarjana Barat sebagai berasal dari “India” atau
menghasilkan “karya Muslim India” terbukti berasal dari Arab atau Persia, dan
bahkan apa yang disebut sebagai berasal dari Persia pada akhirnya berasal dari
Arab, baik secara etnis maupun kultural. Nama-nama dan gelar-gelar para pembawa
pertama Islam ke Nusantara menunjukkan bahwa mereka adalah orang-orang Arab
atau Arab-Persia.[20]
Argumen Naquib al-Attas ini selaras dengan apa yang diceritakan oleh
historiografi lokal tentang Islamisasi di dunia Nusantara. Mempertimbangkan
riwayat-riwayat yang dikemukakan historiografi Nusantara ini, diambil empat
tema pokok. Pertama, Islam dibawa langsung dari Arabia. Kedua, Islam
diperkenalkan oleh para guru dan penyiar “profesional” – yakni mereka yang
memang khusus bermaksud menyebarkan Islam. Ketiga, yang mula-mula masuk Islam
adalah para penguasa. Keempat, kebanyakan para penyebar Islam “profesional” ini
datang ke Nusantara pada abad ke-12 dan ke-13. Mempertimbangkan tema terakhir
ini, mungkin benar bahwa Islam sudah diperkenalkan ke dan ada di Nusantara pada
abad-abad pertama Hijriah, sebagaimana dikemukakan Arnold[21]
dan dipegangi banyak sarjana Indonesia-Malaysia, tetapi hanyalah setelah abad
ke-12 pengaruh Islam kelihatan lebih nyata. Karena itu, proses Islamisasi
nampaknya mengalami akselerasi antara abad ke-12 dan ke-16.[22]
d)
Teori Persia
Tanah Persia disebut-sebut sebagai tempat awal Islam datang di Nusantara. Teori
ini berdasarkan kesamaan budaya yang dimiliki oleh beberapa kelompok masyarakat
Islam dengan penduduk Persia. Misalnya saja tentang peringatan 10 Muharram yang
dijadikan sebagai hari peringatan wafatnya Hasan dan Husein, cucu Rasulullah.
Selain itu, di beberapa tempat di Sumatera Barat ada pula tradisi Tabut, yang
berarti keranda, juga untuk memperingati Hasan dan Husein. Ada pula pendukung
lain dari teori ini yakni beberapa serapa bahasa yang diyakini datang dari
Iran. Misalnya jabar dari zabar, jer dari ze-er dan beberapa yang lainnya.
Teori ini meyakini Islam masuk ke wilayah Nusantara pada abad ke-13. Adapun
wilayah pertama yang dijamah adalah Samudera Pasai.[23]
Teori Parsi merupakan teori yang logis dari segi jalur, tetapi yang perlu
digarisbawahi adalah adakah kontak dagang Nusantara dengan orang Parsi.
Kemungkinannya adalah adanya ornag-orang Syiah yang lari hingga ke Nusantara
dikarenakan adanya pertentangan di negeri mereka. Tetapi interpretasi ini
masih butuh argumen yang kuat. Mazhab Syiah tidak berkembang di
Nusantara. kecuali di Pariaman, Bengkulu.
2. Proses Masuk dan
Berkembangnya Islam di Indonesia
Masuknya Islam ke Indonesia agak unik bila dibandingkan dengan masuknya Islam
ke daerah-daerah lain. Keunikan terlihat pada proses masuknya Islam ke
Indonesia yang relatif berbeda dengan daerah lain. Islam masuk ke Indonesia
secara damai dibawa oleh para pedagang dan mubaligh. Sedangkan Islam yang masuk
ke daerah lain pada umumnya banyak lewat penaklukan, seperti masuknya Islam ke
Irak, Iran (Parsi), Mesir, Afrika Utara sampai ke Andalusia.[24]
Muhammad Naimar, ilmuwan asal India mengatakan dalam salah satu ceramahnya
bahwa bukti-bukti tangan pertama tentang bagaimana sesungguhnya Islam di pulau-pulau
ini tidak mungkin diperoleh, tetapi bukti-bukti yang berasal dari luar cukup
menunjukkan bahwa pengislaman di daerah ini telah terjadi sejak waktu permulaan
Islam, malahan mungkin ketika Nabi saw. masih hidup, sebagaimana halnya di
India Selatan.[25]
Dari sekian perkiraan mengenai waktu masuknya Islam ke Indonesia, kebanyakan
menetapkan bahwa kontak Indonesia dengan Islam sudah terjadi sejak abad ke-7
Masehi. Ada yang mengatakan bahwa Islam pertama kali masuk ke Indonesia di
Jawa, dan ada yang mengatakan di Barus. Ada yang berpendapat bahwa Islam masuk
ke Indonesia melalui pesisir Sumatera. Para saudagar muslim asal Arab, Persia,
dan India ada yang sampai di kepulauan Indonesia untuk berdagang sejak abad
ke-7 Masehi yang berlayar ke Asia Timur melalui Selat Malaka[26]
singgah di pantai Sumatera Utara untuk mempersiapkan air minum, makanan, dan
perbekalan lainnya. Mereka yang singgah di pesisir Sumatera Utara membentuk
masyarakat muslim dan mereka menyebarkan Islam sambil berdagang. Pada
perkembangan berikutnya terjalinlah hubungan perkawinan dengan penduduk pribumi
atau menyebarkan Islam sambil berdagang.[27]
Untuk selanjutnya kontak Islam juga terjadi di berbagai pulau di Indonesia.
Islam mulai menyentuh daerah-daerah lainnya seiring dengan tujuan perdagangan
atau semata-mata karena pengajaran agama Islam. Pengenalan Islam di berbagai
daerah Indonesia tidak terjadi dalam waktu serentak dan berdekatan tetapi dalam
waktu yang berbeda-beda dan mencapai masa yang panjang.[28]
Keadaan ini terjadi karena keadaan politik dan sosial budaya daerah-daerah
ketika didatangi Islam juga berlainan.[29]
Kontak Islam dengan Aceh pada abad ke-7 Masehi begitu pula dengan Palembang. Di
Jawa Islam hadir sekitar abad ke-11 Masehi. Itu pun baru dikenal di daerah Jawa
bagian utara Jawa Timur, yang selanjutnya disebarkan ke Jawa Barat sekitar abad
ke-16 Masehi, yaitu berkaitan dengan pengiriman tentara kerajaan Demak ke
Cirebon, Jayakarta, dan beberapa wilayah kerajaan Pajajaran yang berkaitan
dengan perluasan wilayah perdangangan dan perluasan pengaruh kekuasaan.[30]
Menurut beberapa sumber sejarah dijelaskan bahwa Selat Malaka sebagai rute
perdagangan yang telah lama dikenal, sebagai salah satu jalur perdagangan dari
dunia Timur ke dunia Barat di samping jalan darat. Pada sekitar abad ke-7 dan
ke-8 saat Kerajaan Sriwijaya mengembangkan kekuasaannya, selat Malaka sudah
mulai dilalui oleh pedagang-pedagang Muslim dalam pelayarannya ke negeri-negeri
di Asia Tenggara dan Asia Timur. Berdasarkan berita Cina zaman Tang, pada
abad-abad tersebut diduga bahwa masyarakat Muslim telah ada, baik di Kanfu
(Kanton) maupun di Sumatera.
Di saat Umar bin Khattab memegang pemerintahan sebagai khalifah kedua, Islam
sudah mampu menembus dan masuk secara potensial di Syam Palestina, Mesir dan
Irak. Pada zaman Usman bin Affan, Islam telah menyebar lebih jauh lagi, bahkan
hanya dalam waktu kurang dari 30 tahun atau tepatnya tahun 29 Hijriah, Islam
sudah sampai di Tiongkok Cina, yaitu dengan adanya utusan Arab ke Cina pada
tahun 651 M. Jelasnya bahwa dalam kurun waktu kurang dari satu abad dari
kelahirannya, Islam telah tersebar jauh sampai ke Tiongkok, ke Afrika bagian
Utara, ke Asia Kecil, dan ke Asia bagian Utara.[31]
Kenyataan tersebut apalagi kita hubungkan dengan sejarah masuknya Islam di
Tiongkok-Cina yaitu pada masa khalifah Usman bin Affan yang pada waktu itu di
Cina sedang berkuasa Dinasti Tang dan pedagang Islam bangsa Cina sendiri sudah
dominan di daerah Kanton pada abad ke-2 Hijriah atau 8 Masehi serta para ulama
Islam bangsa Tiongkok pada waktu itu sudah ada yang menjadi khatib dan Imam
Jumat, maka tidak mustahil jika pada abad ke-7 sudah ada orang Islam yang masuk
ke Indonesia, mengingat letak geografis Indonesia sangat strategis, berada di
tengah perjalanan antara Timur Tengah dengan Tiongkok sudah berjalan ramai
sejak berabad-abad sebelum datangnya agama Islam.[32]
Mengenai siapa yang memperkenalkan Islam di Indonesia terdapat dua pendapat.
Ada yang mengatakan bahwa Islam dibawa ke Indonesia oleh para pedagang, dan ada
yang mengatakan bahwa kekuasaan (konversi) keraton sangat berpengaruh
bagi pengislaman di Indonesia. Masuknya Islam penguasa akan diikuti oleh
rakyatnya secara cepat. Dapat dikatakan bahwa Islam pada mulanya diperkenalkan
oleh para pedagang muslim yang melakukan kontak dagang dengan penduduk setempat
untuk memluk Islam. Pada masa awal, saudagar-saudagar muslim dikenal cukup
mendominasi perdagangan di Indonesia. Saudagar muslim itu mampu memperkenalkan
nilai-nilai Islam terutama ketentuan-ketentuan hukum Islam mengenai perdagangan
yang memberikan keuntungan ekonomi secara maksimal, sekaligus mereka membatasi
adanya pilihan terhadap agama-agama lain. Ada yang mengatakan bahwa ulama
memiliki peranan yang dasar bagi penyebaran Islam di Indonesia. Para pedagang
muslim datang ke Indonesia untuk berdagang dan mengumpulkan kekayaan, setelah
mereka menetap maka datanglah guru-guru (ulama) yang bertujuan menyebarkan dan
mengajarkan Islam.[33]
Kehadiran pedagang-pedagang muslim melahirkan fenomena kota-kota perdagangan
sebagai pusat ekonomi, yang pada akhirnya mendukung kegiatan perdagangan yang
maju memungkinkan terselenggaranya pengajaran Islam dan pembangunan
lembaga-lembaga pendidikan Islam sehingga menciptakan kehidupan agama yang
dinamis. Dengan adanya dinamika umat Islam di perkotaan akhirnya mampu memperkuat
penetrasi Islam sampai ke pelosok tanah air.[34]
Sejalan dengan penjelasan di atas bahwa di Medan pada tahun 1963, dan di
Kuala Simpang Aceh pada tahun 1980, telah dilaksanakan seminar tentang masuknya
Islam ke Indonesia. Kedua seminar tersebut sepakat menyatakan bahwa Islam telah
masuk ke Indonesia pada abad pertama Hijriah langsung dari Arab. Ini adalah
inti pokok dari hasil seminar Medan yang terpenting. Daerah yang pertama kali
dimasuki oleh Islam adalah pesisir Sumatera, sedangkan kerajaan Islam yang
pertama berdiri adalah di Aceh. Penyiaran Islam dilakukan secara damai oleh
pedagang. Kedatangan Islam ke Indonesia adalah membawa kecerdasan dan peradaban
yang tinggi. Seminar Medan tersebut dilanjutkan dengan seminar di Banda Aceh
tahun 1978, menegaskan bahwa kerajaan Islam pertama adalah Perlak, Lamuri,
Pasai.[35]
Munculnya tesis baru ini, yakni Islam telah masuk ke Indonesia pada abad
pertama Hijriah sekitab abad ke-7 dan 8 Masehi adalah merupakan pembetulan dari
pendapat yang berkembang sebelumnya yang dipelopori oleh para orientalis
tentang masuknya Islam ke Indonesia. Satu hal yang dapat dikemukakan bahwa
masuknya Islam ke Indonesia tidak bersamaan, ada daerah-daerah yang sejak dini
telah dimasuki oleh Islam, disamping ada daerah yang terbelakang dimasuki
Islam. Berkenaan dengan ini telah disepakati bahwa Islam pertama kali masuk ke
Indonesia adalah di Sumatera. Sedangkan Islam masuk ke Jawa diduga kuat
berdasarkan batu nisan kubur Fatimah binti Maimun di Leran (Gresik) yang
berangka tahun 475 H (1082 M). Situasi politik mempercepat penyebaran
Islam di Jawa, pada saat melemahnya Majapahit karena perpecahan. Bupati-bupati
pesisir merasa bebas dari pengaruh kekuasaan Raja Majapahit. Melalui
bupati-bupati pesisir yang memeluk Islam, agama menjadi kekuatan baru dalam
proses perkembangan masyarakat.[36]
Kedatangan Islam di belahan Indonesia bagian Timur ke Maluku juga tidak dapat
dipisahkan dari kegiatan perdagangan. Islam masuk ke daerah ini diperkirakan
pada abad ke-14 Masehi. Di Kalimantan khususnya di daerah Banjarmasin proses
Islamisasi di daerah ini terjadi kira-kira tahun 1550. Adapun di Sulawesi
terutama di bagian selatan telah didatangi oleh pedagang Muslim pada abad ke-15
M. Menurut Tome Pires pada abad ke-16 di daerah Gowa telah terdapat pedagang
Muslim dan orang Portugis, yang telah melakukan hubungan dagang dengan Gowa.[37]
Terbentuknya masyarakat Muslim di suatu tempat adalah melalui proses yang
panjang, yang dimulai dari terbentuknya pribadi-pribadi Muslim sebagai hasil
dari upaya para da’i. Masyarakat Muslim tersebut selanjutnya menumbuhkan
kerajaan Islam. Tercatatlah sejumlah kerajaan Islam di Nusantara, seperti
Kerajaan Perlak, Pasai, Aceh Darussalam, Banten, Demak, Mataram, dan lain
sebagainya.
Dengan terbentuknya komunitas Muslim pada beberapa daerah di Indonesia ini,
mendorong untuk membentuk kerajaan Islam. Berdirilah Kerajaan Islam, Pasai,
Perlak di Aceh. Di Jawa berdiri Kerajaan Demak, Pajang, Mataram. Di
Sulawesi berdiri Kerajaan Gowa, Tallo dan Bone. Sedangkan di Maluku berdiri
Kerajaan Ternate dan Tidore. Dengan berdirinya kerajaan Islam di Nusantara ini,
maka fase perkembangan Islam berikutnya adalah fase perkembangan Islam dan
politik. Pengertiannya, perkembangan Islam di Indonesia tidak bisa dilepaskan
dari perkembangan politik.[38]
Hasjmy, sebagaimana dikutip oleh Daulay, menjelaskan bahwa kerajaan Islam
tertua adalah Perlak yang berdiri pada 1 Muharram 225 (840 M) dengan rajanya
yang pertama adalah Sultan Alaiddin Saiyid Maulana Abdul Aziz Syah. Hasjmy
melandasi pendapatnya itu berdasarkan naskah-naskah kuno, yakni kitab Idharul
Haqq karangan Abu Ishak Makarani al-Fasy, dan kitab Tazkirah Jumu
Sulthan as-Salathin karangan Syekh Syamsul Bahri al-Asyi dan kitab silsilah
raja-raja Perlak dan Pasai.[39]
Di bagian lain, yakni di Malaka, muncul pula kekuasaan kerajaan Islam Malaka.
Malaka pada masa itu tidak hanya sebagai pusat perdagangan Muslim dan pusat
kekuatan politik di Selat Malaka, tetapi juga sebagai pusat penyiaran Islam.
Para mubaligh berdatangan ke Malaka dan dari Malaka pula tersebar Mubaligh ke
berbagai penjuru di Nusantara ini.
Tumbuhnya pusat-pusat Islam di Nusantara ini jelas sangat berpengaruh sekali
bagi proses Islamisasi di Indonesia. Kekuatan politik[40]
digabungkan dengan semangat para mubaligh untuk mengajarkan Islam merupakan dua
sayap kembar yang mempercepat tersebarnya Islam ke berbagai wilayah di
Indonesia.[41]
Penyebaran Islam melalui metode kekuasaan mempunyai peranan penting bagi
perluasan Islam di Indonesia. Beralihnya agama penguasa menjadi muslim akan
diikuti oleh rakyat dan pendukungnya secara cepat. Islamnya penguasa dapat
mempengaruhi penguasa-penguasa lainnya untuk memeluk Islam sehingga Islam
berkembang dengan cepat. Setelah berdirinya kerajaan Islam, biasanya sang
penguasa mempelopori berbagai kegiatan keagamaan, mulai dari dakwah Islam,
pembangunan masjid, sampai penyelengaraan pendidikan Islam. Perhatian raja-raja
muslim terhadap pendidikan Islam menjadikan pendidikan Islam berkembang maju
yang dapat menawarkan pelayanan pengajaran bagi keagamaan maupun kemajuan
intelektual Islam di Indonesia.[42]
Ulama-ulama yang dipilih oleh penguasa sebagai pengajar dan pemuka agama
berhasil mendidik murid-muridnya yang datang dari berbagai daerah di
Indonesia. Murid-murid tersebut terus menyebarkan Islam dan mengajarkan
ilmu mereka setelah pulang ke daerah masing-masing. Jadi kegiatan perluasan
Islam sejak awal telah memiliki hubungan timbal balik dengan lembaga-lembaga
pendidikan Islam. Dapat dikatakan bahwa jalan yang ditempuh oleh pedagang
muslim dalam menyebarkan Islam di Indonesia antara lain melalui jalur atau saluran
perdagangan, perkawinan, tasawuf, pendidikan, kesenian, dan politik.
Sampai berdirinya kerajaan-kerajaan Islam itu, perkembangan agama Islam di
Indonesia dapat dibagi menjadi tiga fase. Fase pertama, singgahnya
pedagang-pedagang Islam di pelabuhan-pelabuhan Nusantara. Sumbernya adalah
berita luar negeri, terutama Cina. Fase kedua, adanya komunitas-komunitas Islam
di beberapa daerah kepulauan Indonesia. Sumbernya di samping berita-berita
asing, juga makam-makam Islam. Fase ketiga, berdirinya kerajaan-kerajaan Islam.[43]
Kegiatan yang dilakukan oleh para pedagang dan/atau mubligh dalam menyebarkan
Islam di Nusantara dapat disebut sebagai kegiatan melaksanakan tugas-tugas
kependidikan. Dikatakan demikian karena kegiatan yang dilakukan oleh para
pedagangdan/atau mubaligh memenuhi lima unsur dasar hakikat pendidikan, yaitu:
(1) pemberi; (2) penerima; (3) tujuan baik; (4) cara atau jalan yang baik; dan
(5) konteks yang positif.
Pola pendidikan yang berlangsung pada awal datangnya Islam ke Indonesia adalah
informal. Hal ini terjadi karena pedagang muslim/mubaligh awal datang
menyebarkan Islam pada waktu tertentu saja, yaitu ketika datang ke Nusantara
untuk melakukan transaksi perdagangan. Akan tetapi ketika mubaligh tetap, yaitu
ulama Arab melakukan dakwah intensif kemudian menetap dan mendirikan rumah
ibadah, pola pendidikan yang terjadi adalah nonformal.[44]
Perkembangan Islam di Indonesia dapat dilihat dari jalur yang ditempuh,
kemudian pendekatan (politik, sosial, dll). Jalur itu adalah suatu upaya yang
dilakukan para mubaligh. Para ulama mengajar di tempat utamanya, yaitu
kota-kota pantai, baru kemudian ke desa. Dari jalur yang ditempuh tersebut,
dapat dipahami bahwa keberadaan dan perkembangan Islam di daerah pantai berbeda
dengan yang ada di pedalaman. Islam pantai lebih puritan dibandingkan dengan
Islam di desa. Kita bisa mengamati di Jawa misalnya, Islam di Jawa
bercampur dengan kejawen, walaupun muhammadiyah lahir di Jawa tapi sampai
sekarang masih ada tradisi yang bercampur kejawen. Di Jawa saat ini misalnya,
masih dapat dijumpai ada tradisi rebutan nasi untuk mendapat berkah.
Jalur intensif yang digunakan dalam perkembangan Islam di Nusantara adalah
pendidikan. Dari jalur ini baru ditemukan argumen bahwa Islam berasal dari
Arab. Banyak guru-guru yang datang untuk mengajar ke Nusantara berasal dari
jazirah Arab. Mereka datang dari Hadramawt, Yaman, tidak ada dari India.
Selain itu, perkawinan merupakan upaya mempercepat islamisasi di Nusantara.
Para mubaligh yang datang dengan keturunannya membentuk komunitas. Akan tetapi,
jalur yang paling intensif adalah lewat pendidikan dan dakwah.
Pendekatan adalah melakukan suatu kegiatan dimana dakwah, yaitu proses
islamisasi mendapat dukungan kuat. Pendekatan yang digunakan dalam proses
perkembangan Islam di Nusantara ada dua.
1.
Pendekatan Politik
Pendekatan dengan jalur
politik yang dilakukan misalnya dengan berdirinya kerajaan Islam. Ada dua teori
tentng berdirinya kerajaan Islam. Ada teori buttom–up (terbentuk
masyarakat muslim terlebih dahulu, kemudian membentuk kerajaan), atau teori top-down
(rajanya sudah ada, kemudian diislamkan, sedangkat rakyat mengikut menjadi
pemeluk Islam juga). Hal ini terjadi pada beberapa kerajaan, seperti Kerajaan
Malaka, dan beberapa tempat lainny. Proses terbentuknya kerajaan Islam di
Nusantara lebih banyak terjadi melalui buttom-up.[45]
Islam berkembang dengan
besar, ketika Islam berada di bawah kekuasaan. Hal tersebut dikarenakan sifat
masyarakat Nusantara adalah fathernalistik (mengikut apa yang dilakukan
oleh raja atau penguasa).
2.
Pendekatan Sosial
Pendekatan Sosial perlu dikaji,
yaitu peran mubaligh dalam menghadapi masyarakat, memberikan bantuan,
perlindungan, dan sebagainya. Masyarakat Nusantara awal belum kenal kemajuan
zaman, sementara masyarakat yang datang, pedagang, sudah kenal modernitas, atau
berbudaya dan berperadaban tinggi. Pedagang menunjukkan sikap yang tidak pernah
dilihat masyarakat sekitar, misalnya bersih (ada wuduk dalam ajaran Islam),
kaya (karena pedagang). Kekayaan merupakan hal yang paling diminati penduduk
lokal Nusantara.
Selain itu, sesuatu yang
menjadi penguat bagi perkembangan Islam di Nusantara adalah bahwa dalam agama
Hindu mengenal sistem kelas dalam masyarakat. Islam tidak mengenal adanya
sistem kelas dalam masyarakat. Hal ini menjadi sebuah peluang bagi Islam untuk
masuk dan diterima oleh masyarakat lokal dengan mengajarkan adanya persamaan
dan persaudaraan, bukan kasta atau kelas.[46]
C. Penutup
Dari uraian di atas pemakalah menyimpulkan bahwa proses masuknya Islam ke
Nusantara telah terjadi pada abad ke-1 H/7 M. Hal ini dikarenakan adanya bukti
yang menunjukkan bahwa telah terjadi kontak dagang antara penduduk Nusantara
dengan para pedagang/saudagar Arab. Selat Malaka sebagai jalur perdagangan
internasional juga merupakan penunjuk adanya kontak dagang yang pernah terjadi
di Nusantara.
Dari segi jalur penyebaran Islam, tampak bahwa Islam berasal dari Arab. Banyak
guru-guru yang datang dari Jazirah Arab untuk mengajar dan membentuk keturunan
di Nusantara.
Selanjutnya, apa yang diklaim oleh sarjana Barat mengenai adanya literatur yang
berasal dari India ternyata literatur tersebut adalah berasal dari Arab atau
Persia. Tambah lagi, adalah sangat mungkin Islam sudah diperkenalkan sejak masa
kekhalifahan Islam. Dengan demikian, Islam di Nusantara telah dikenal pada abad
ke-7 dan dibawa oleh orang-orang Arab yang berdagang sekaligus berperan sebagai
mubaligh.
Pada awalnya, motif masuk dan berkembangnya Islam di Nusantara adalah melalui
jalur perdagangan. Pada masa selanjutnya Islam berkembang di Nusantara dengan
dukungan kekuatan politik kerajaan. Hal ini bermakna bahwa kerajaan-kerajaan
Islam di Nusantara berperan dalam penyebarluasan ajaran Islam. Hal ini
dibuktikan dengan adanya ulama-ulama yang diperintahkan oleh raja untuk
mengajar murid-murid yang datang dari berbagai daerah.
DAFTAR
PUSTAKA
Azra, Azyumardi. Jaringan
Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII. Bandung:
Mizan, 1998.
Daulay, Haidar Putra. Sejarah
Pertumbuhan dan Pembaruan Pendidikan Islam di Indonesia. Jakarta: Kencana,
2007.
Departemen Agama. Rekonstruksi
Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia. Jakarta: Direktorat Jenderal
Kelembagaan Agama Islam, 2005.
Hasjmy, A. Sejarah
Kebudayaan Islam di Indonesia. Jakarta: Bulan Bintang, 1990.
Majalah Sabili. Sejarah
Emas Muslim Indonesia. Jakarta: PT. Dian Rakyat, Edisi Khusus No. 9 Tahun X
2003.
Mansur. Peradaban Islam
dalam Lintasan Sejarah. Yogyakarta: Global Pustaka Utama, 2004.
Yatim, Badri. Sejarah Peradaban Islam. Jakarta:
Rajawali Press, 2001.
Yunus, Mahmud. Sejarah
Pendidikan Islam di Indonesia. Jakarta: Hidakarya Agung, 1985.
[1]Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia (Jakarta:
Hidakarya Agung, 1985), h. 6.
[2]Pada periode pertama ditandai dengan
pendidikan Islam yang terkonsentrasi di pesantren, dayah, surau atau masjid
dengan titik fokus adalah ilmu-ilmu agama yang bersumber dari kitab-kitab
klasik. Periode kedua ditandai dengan lahirnya madrasah. Sebagian
lembaga-lembaga pendidikan Islam yang telah memasukkan mata pelajaran
umum ke dalam program kurikulum mereka, dan juga telah mengadopsi sistem
pendidikan modern, seperti metode, manajerial, klasikal, dan lain sebagainya.
Lihat Haidar Putra Daulay, Sejarah Pertumbuhan dan Pembaruan Pendidikan
Islam di Indonesia (Jakarta: Kencana, 2007), h. 7.
[3]A. Hasjmy, Sejarah Kebudayaan Islam di Indonesia (Jakarta: Bulan
Bintang, 1990), h. 3.
[4]Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad
XVII dan XVIII (Bandung: Mizan, 1998), h. 24.
[5] Departemen Agama, Rekonstruksi Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia
(Jakarta: Direktorat Jenderal Kelembagaan Agama Islam, 2005), h.41.
[6]Penjelasan Prof. Dr. Haidar Putra Daulay, M.A dalam seminar kelas mata
kuliah Pendidikan Islam di Indonesia.
[7]Majalah Sabili, Sejarah Emas Muslim Indonesia (Jakarta: PT. Dian
Rakyat, Edisi Khusus No. 9 Tahun X 2003), h. 9.
[8]Azra, Jaringan Ulama, h. 24.
[9]Majalah Sabili, Sejarah Emas, h. 9.
[10]Azra, Jaringan Ulama, h. 24.
[11]Ibid.
[12]Ibid., h. 25.
[13]Ibid.
[14]Ibid., h. 27.
[15]Ibid., h. 28.
[16]A. Hasjmy, Sejarah Kebudayaan, h. 3.
[17] Daulay, Sejarah Pertumbuhan dan Pembaruan, h. 12.
[18] Hasbullah, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia (Jakarta: PT.
RajaGrafindo Persada, 1995), h. 5.
[19]Azra, Jaringan Ulama, h. 28.
[20]Ibid.
[21]Thomas W. Arnold dalam bukunya The Preaching of Islam menyatakan
bahwa pada abad ke-7 Masehi di pantai Barat pulau Sumatera sudah didapati suatu
kelompok perkampungan orang-orang Arab. Hasbullah, Sejarah Pendidikan
Islam, h. 5.
[22]Azra, Jaringan Ulama, h. 31.
[23]Sabili, Sejarah Emas Muslim, h.10.
[24]Azra, Jaringan Ulama, h. 11.
[25] Hasbullah, Sejarah Pendidikan Islam, h. 4.
[26]Malaka, jauh sebelum ditaklukkan Portugis (1511), merupakan pusat utama
lalu lintas perdagangan dan pelayaran. Melalui Malaka, hasil hutan dan seluruh
rempah-rempah dari seluruh pelosok Nusantara dibawa ke Cina dan India,
terutama Gujarat, yang melakukan hubungan dangan langsung dengan Malaka pada
waktu itu. Lihat Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam (Jakarta:
Rajawali Press, 2001), h. 192.
[27]Departemen Agama, Rekonstruksi Sejarah, h. 41.
[28]Ibid., h. 42.
[29]Yatim, Sejarah Peradaban Islam, h. 194.
[30]Departemen Agama, Rekonstruksi Sejarah., h. 42.
[31]Hasbullah, Sejarah Pendidikan Islam., h. 5.
[32]Ibid., h. 6.
[33]Departemen Agama, Rekonstruksi Sejarah, h. 42.
[34]Ibid., h. 43
[35]Daulay, Sejarah Pertumbuhan dan Pembaruan ., h. 12.
[36]Ibid.
[37]Ibid., h. 13.
[38]Ibid.
[39]Ibid., h. 14.
[40]Di Maluku, Sulawesi Selatan, rakyat masuk Islam setelah rajanya masuk
Islam, maka kerajaan Islam berusaha menguasai kerajaan non-Islam, sehingga
secara politis banyak menarik penduduk kerajaan non-Islam untuk masuk
Islam. Lihat Departemen Agama, Rekonstruksi Sejarah, h. 45.
[41]Ibid.
[42]Mansur, Peradaban Islam dalam Lintasan Sejarah (Yogyakarta: Global
Pustaka Utama, 2004), h. 112.
[43]Yatim, Sejarah Peradaban Islam, h. 193.
[44]Penjelasan Prof. Dr. Haidar Putra Daulay, dalam kuliah perdana mata kuliah
Pendidikan Islam di Indonesia, pada 9 Maret 2011. Lebih lanjut beliau
mengatakan bahwa dalam konteks pendidikan, adanya hubungan yang intensif yang
membawa nilai dapat disebut sebagai pola pendidikan informal. Sedangkan
pendidikan nonformal adalah proses pendidikan yang tidak diatur sedemikian
rigitnya seperti pengaturan lama belajar, tingkatan, umur, sertifikat, materi
pelajaran, dll. Lihat Daulay, Sejarah Pertumbuhan , h. 15.
[45]Daulay, Sejarah Pertumbuhan, h. 20.
[46]Penjelasan Prof. Dr. Haidar Putra Daulay, M.A dalam seminar kelas
mata kuliah Pendidikan Islam di Indonesia.