Sabtu, 05 Juli 2025

Kajian Ilmiah

Ceramah Subuh Buya Drs. H. M. Sakti Rangkuti, M.A



Masjid Al-Hidayah, Jalan Pembangunan I, Desa Sekip, Lubuk Pakam



Ahad, 10 Muharram 1447 H


بسم الله الرحمن الرحيم 

السّلام عليكم ورحمة الله وبركاته


Segala puji dan syukur kita panjatkan ke hadirat Allah Subhanahu wa Ta’ala yang senantiasa melimpahkan nikmat-Nya kepada kita semua, terutama di bulan Muharram ini, bulan pertama tahun 1447 Hijriah. Alhamdulillah, Allah masih memberikan kita kesehatan, keselamatan, dan kesempatan sehingga kita dapat hadir di masjid ini untuk melaksanakan salat Subuh berjamaah.


Shalawat dan salam kita haturkan kepada junjungan kita, Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam.


Bapak dan Ibu, tahun 1446 Hijriah baru saja kita lewati, dan kini kita memasuki tahun baru, 1447 Hijriah. Maka sudah selayaknya kita melakukan muhasabah—introspeksi diri terhadap amal ibadah kita di tahun sebelumnya—dan bertekad untuk meningkatkan amal kita di tahun yang baru ini. Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala senantiasa memberikan keberkahan dalam hidup kita dan menjadikan kita hamba-hamba-Nya yang semakin taat kepada-Nya.


Pagi ini, kita akan mengkaji Surah An-Nisa ayat 150–152, yang menjelaskan tentang dua golongan manusia: yang pertama adalah golongan orang-orang kafir, dan yang kedua adalah golongan orang-orang yang beriman.


Golongan pertama adalah mereka yang mengingkari Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Rasul-Nya. Mereka hanya percaya kepada sebagian rasul dan mengingkari sebagian lainnya. 


Golongan kedua adalah mereka yang beriman kepada Allah dan kepada seluruh rasul tanpa membeda-bedakan antara satu dengan yang lainnya.


Dalam ayat-ayat ini, Allah menyebutkan bahwa orang-orang Yahudi dan Nasrani adalah contoh dari golongan pertama. Mereka mempercayai sebagian rasul saja, seperti Nabi Musa dan Nabi Isa, tetapi mengingkari Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam. Bahkan mereka membedakan antara satu rasul dan rasul lainnya, padahal Allah telah berfirman bahwa seluruh rasul adalah utusan-Nya, dan tidak boleh ada perbedaan dalam keimanan terhadap mereka.


Rasul itu jumlahnya sangat banyak. Menurut sebagian riwayat, ada sekitar 315 rasul dan lebih dari 124.000 nabi. Namun yang wajib kita ketahui hanya 25 rasul yang disebutkan dalam Al-Qur’an. Baik nabi maupun rasul, semua mereka adalah pilihan Allah, dan wajib kita imani.


Ada sedikit perbedaan antara nabi dan rasul:


* Rasul menerima wahyu dan diwajibkan untuk menyampaikannya kepada umat manusia.

* Nabi juga menerima wahyu, namun tidak wajib menyampaikannya; wahyu itu hanya untuk dirinya sendiri.


Orang-orang kafir, terutama dari golongan Yahudi dan Nasrani, mereka menolak Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam sebagai rasul terakhir. Orang Yahudi berhenti pada Nabi Musa, dan orang Nasrani pada Nabi Isa. Bahkan, dalam kesesatan mereka, ada yang menyatakan bahwa Nabi Uzair adalah anak Allah (seperti tercantum dalam Surah At-Taubah ayat 30). Sementara orang Nasrani menyatakan bahwa Nabi Isa adalah anak Allah, dan sebagian bahkan menyatakan bahwa Allah adalah bagian dari trinitas: Bapa, Anak, dan Roh Kudus.


Ini adalah bentuk penyimpangan akidah yang sangat jelas. Karena itulah, dalam ayat yang kita bahas, Allah Subhanahu wa Ta’ala menegaskan bahwa mereka yang membeda-bedakan antara rasul dan tidak beriman secara total kepada semua rasul, akan mendapatkan azab yang menghinakan.


Sebaliknya, Allah berfirman dalam Surah An-Nisa ayat 152:


Dan orang-orang yang beriman kepada Allah dan rasul-rasul-Nya dan tidak membeda-bedakan seorang pun di antara mereka, kelak Allah akan memberikan pahala kepada mereka. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.


Inilah prinsip keimanan yang benar: tidak membeda-bedakan antara rasul, dan menerima semua ajaran yang dibawa oleh para nabi sebagai satu kesatuan ajaran tauhid dari Allah Subhanahu wa Ta’ala.


Bapak dan Ibu,

Alhamdulillah kita umat Islam, tidak seperti kaum sebelumnya yang menyimpang dari ajaran tauhid. Kita tidak mengatakan bahwa Allah punya anak. Kita tidak mengatakan bahwa Allah itu tiga dalam satu. Sebaliknya, kita menegaskan dalam kalimat Laa ilaaha illallah—Tiada tuhan selain Allah. Keyakinan tauhid inilah yang membuat banyak orang di Barat, setelah mempelajari agama-agama mereka dan membandingkannya dengan Al-Qur’an, akhirnya masuk Islam.


Ada kisah-kisah nyata tentang orang-orang di Eropa dan Amerika yang memeluk Islam setelah mendalami Al-Qur’an. Bahkan sebagian dari mereka sebelumnya adalah pendeta. Tapi sebaliknya, ada pula yang sudah memeluk Islam namun berpaling darinya. Seperti kasus seorang mantan pendeta yang bernama Saifuddin Ibrahim, yang menyimpang dari ajaran Islam dan kini menjadi pembenci Islam. Na‘ūdzu billāh.


Bapak dan ibu,

Orang Yahudi dan Nasrani itu membangun keyakinan yang keliru. Mereka menciptakan doktrin tentang Tuhan yang tidak sesuai dengan wahyu yang sesungguhnya. Bahkan ada yang mengatakan Uzair adalah anak Allah, sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur’an.


Kita sebagai umat Islam harus teguh dalam keimanan. Kita harus yakin dan percaya kepada Allah dan semua rasul-Nya, tanpa membeda-bedakan. Kita harus meneladani Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam yang menyampaikan risalah dengan tabligh, amanah, fathanah, dan siddiq.


Penutup:


Semoga kita semua dimasukkan ke dalam golongan orang-orang yang benar-benar beriman, yang diterima amal ibadahnya, dan dijauhkan dari azab Allah Subhanahu wa Ta’ala.


وَآخِرُ دَعْوَانَا أَنِ الْـحَمْدُ لِلّٰهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ

والسّلام عليكم ورحمة الله وبركاته

Jumat, 04 Juli 2025

JOURNAL REVIEW: Islamic Educational Philosophy And Its Relevance To Global Educational Discourse

Tinjauan Kritis terhadap Artikel “Islamic Educational Philosophy and Its Relevance to Global Educational Discourse” oleh Nur Asiah dan Harjoni Desky: Telaah Berdasarkan Kerangka Berpikir Kritis


Oleh: Dr. H. Ahmad Abrar Rangkuti, M.A. -- Universitas Islam Sumatera Utara

 

Abstrak

Artikel “Islamic Educational Philosophy and Its Relevance to Global Educational Discourse” oleh Nur Asiah dan Harjoni Desky menawarkan pendekatan sintesis konseptual yang menempatkan filsafat pendidikan Islam sebagai alternatif dan pelengkap bagi wacana pendidikan global kontemporer. Artikel ini memuat nilai-nilai seperti ta’dib, tazkiyah, insan kamil, dan fitrah sebagai fondasi pendidikan yang holistik dan etis. Melalui kerangka berpikir kritis yang terdiri dari interpretasi, analisis, evaluasi, inferensi, dan eksplanasi, tulisan ini memberikan tinjauan terhadap kekuatan dan keterbatasan artikel tersebut. Secara konseptual, artikel ini memiliki nilai kontribusi tinggi, namun dari segi implementasi dan inferensial, masih memerlukan penguatan melalui analisis kontekstual dan validasi empiris. Review ini merekomendasikan agar artikel ini dijadikan dasar awal yang potensial, namun perlu pengembangan lebih lanjut dalam bentuk penelitian lapangan dan operasionalisasi konsep-konsep kunci dalam praktik pendidikan kontemporer yang plural.

Kata Kunci: pendidikan Islam, filsafat pendidikan, berpikir sistemik, globalisasi, adab, pendidikan holistik


Pendahuluan

Dalam konteks krisis global dalam dunia pendidikan—ditandai oleh kekosongan makna, dominasi teknokrasi, dan kemerosotan etika—artikel ini hadir menawarkan filsafat pendidikan Islam sebagai solusi alternatif. Penulis artikel mengklaim bahwa pendekatan pendidikan Islam yang berbasis nilai spiritual, etika, dan keseimbangan akal-jiwa-ruh dapat menjadi kontribusi signifikan terhadap diskursus pendidikan global. Artikel ini layak untuk ditelaah secara kritis mengingat posisinya yang ambisius sebagai jembatan antara tradisi Islam dan wacana pendidikan modern.


1. Interpretasi

Penulis artikel menempatkan filsafat pendidikan Islam sebagai sistem pemikiran yang tak hanya bersumber dari teks-teks klasik seperti Al-Ghazali, Ibn Sina, dan Al-Attas, tetapi juga relevan dengan pendekatan mutakhir seperti critical pedagogy, constructivism, dan whole-child education. Secara umum, artikel ini menafsirkan pendidikan sebagai proses spiritual dan moral, bukan hanya proses transmisi informasi atau pencapaian kompetensi akademik.

Penekanan pada konsep adab (etika), tazkiyah (penyucian jiwa), dan fitrah (potensi bawaan manusia) menegaskan perbedaan paradigma antara pendidikan Islam dan model sekuler-modern yang dominan. Interpretasi penulis terhadap situasi krisis global (mengacu pada laporan UNESCO dan OECD) memberikan dasar kontekstual yang kuat untuk mengusulkan filsafat Islam sebagai alternatif pendidikan yang bermakna.


2. Analisis

Struktur artikel dibangun secara sistematis: dari latar belakang konseptual, pendekatan metodologi filosofis, hingga hasil tematik dan diskusi perbandingan. Namun, terdapat ketimpangan antara paparan konseptual dan analisis kritis. Artikel ini belum secara menyeluruh menganalisis titik ketegangan antara paradigma pendidikan Islam dan epistemologi Barat. Misalnya, dikotomi antara ‘ilm (ilmu) dan constructivism belum dijelaskan secara metodologis, hanya disebut sebagai “perbedaan pandangan”.

Selain itu, perbandingan yang dilakukan cenderung bersifat deskriptif—tidak menjelaskan secara mendalam bagaimana konsep murabbi dapat diterapkan dalam lingkungan sekolah umum, atau bagaimana hikmah dapat masuk ke dalam kurikulum nasional. Di sisi lain, penggunaan Table 1 dan Table 2 cukup membantu dalam memetakan posisi artikel dalam ranah studi yang lebih luas.


3. Evaluasi

Dari sisi kredibilitas, penulis menggunakan sumber yang relevan dan valid, baik klasik maupun kontemporer. Referensi ke laporan UNESCO, OECD, serta pemikir seperti Freire menunjukkan upaya integrasi lintas paradigma. Namun, argumentasi bahwa pendidikan Islam adalah solusi terhadap “krisis global” terlihat berlebihan, mengingat tidak disertai dengan bukti empiris yang mendukung keunggulan klaim tersebut.

Asumsi bahwa model pendidikan Islam dapat langsung diterapkan atau diterima dalam sistem pendidikan global yang sekuler dan pluralis belum dievaluasi secara kritis. Hal ini penting mengingat tantangan sosial, ideologis, dan politik yang menyertai upaya integrasi nilai-nilai keagamaan ke dalam kurikulum publik di berbagai negara.


4. Inferensi

Kesimpulan artikel bahwa pendidikan Islam dapat menjadi “kekuatan korektif dan pelengkap” terhadap sistem global memang menarik, namun inferensinya belum didukung secara sistematis. Penulis tidak mengelaborasi kemungkinan resistensi terhadap wacana keislaman di negara-negara non-Muslim, atau tantangan penerapannya di masyarakat yang majemuk secara agama dan budaya.

Inferensi ini juga tidak mempertimbangkan secara serius kemungkinan bahwa pendekatan berbasis spiritualitas dan nilai dapat berasal dari sumber lain di luar Islam (misalnya dari tradisi lokal, Buddhisme, atau model indigenous). Dengan kata lain, artikel ini kurang membuka ruang dialog antarperadaban dan terlalu yakin bahwa Islam adalah satu-satunya jawaban atas krisis pendidikan global.


5. Eksplanasi

Penjelasan tentang konsep kunci seperti ta’dib, tazkiyah, dan fitrah disajikan dengan baik, namun belum dijelaskan bagaimana hal-hal tersebut dapat dioperasionalkan dalam praktik pendidikan yang nyata: kurikulum, asesmen, pelatihan guru, dan tata kelola sekolah. Sebuah artikel yang mengusung tema global seharusnya juga menjawab: Bagaimana penerapannya? Di mana sudah diterapkan? Apa hasilnya?

Meskipun penulis mencantumkan model Malaysia (IHES) dan reformasi pesantren di Indonesia, penjelasan ini bersifat permukaan dan tidak mengandung evaluasi terhadap keberhasilan, tantangan, atau keterbatasannya. Oleh karena itu, eksplanasi dalam artikel ini bersifat filosofis dan normatif, belum sampai ke level praktikal dan aplikatif.


Kesimpulan dan Rekomendasi

Artikel ini merupakan upaya serius dan bermakna untuk mengangkat kembali filsafat pendidikan Islam ke dalam ruang dialog global. Nilai-nilai yang diusungnya—etika, spiritualitas, integrasi ilmu—merupakan kebutuhan nyata dalam sistem pendidikan modern. Namun, agar artikel ini berdampak secara akademik dan kebijakan, diperlukan penguatan pada:

Pendalaman epistemologis dan metodologis, bukan hanya perbandingan deskriptif.

Validasi empiris melalui studi kasus, survei, atau praktik pendidikan berbasis Islam kontemporer.

Keterbukaan dialog terhadap alternatif lain dalam pendidikan berbasis nilai, tidak hanya dari Islam.

Operasionalisasi konsep-konsep kunci, agar dapat dipahami oleh pembuat kebijakan, guru, dan praktisi pendidikan secara luas.

Secara umum, artikel ini memiliki potensi kontribusi besar, namun masih memerlukan pengembangan serius dalam ranah empiris dan kontekstual agar dapat menjembatani wacana filosofis dengan dunia nyata pendidikan global.

 

 

Daftar Pustaka

Al-Attas, S. M. N. (1991). The Concept of Education in Islam: A Framework for an Islamic Philosophy of Education. Kuala Lumpur: ISTAC.

Al-Faruqi, I. R. (1982). Islamization of Knowledge: General Principles and Work Plan. Herndon, VA: IIIT.

Al-Ghazali. (n.d.). Ihya’ ‘Ulum al-Din. Cairo: Dar al-Ma’arif.

Al-Ghazali. (2005). Ihya’ ‘Ulum al-Din. Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah.

Azra, A. (2012). Education, Islam, and the Public Sphere: Indonesia and Malaysia Compared. In R. W. Hefner (Ed.), Making Modern Muslims: The Politics of Islamic Education in Southeast Asia (pp. 55–78). Honolulu: University of Hawai‘i Press.

Creswell, J. W., & Poth, C. N. (2018). Qualitative Inquiry and Research Design: Choosing Among Five Approaches (4th ed.). Thousand Oaks, CA: Sage Publications.

Dewey, J. (1938). Experience and Education. New York: Macmillan.

Elias, M. J., White, G., & Stepney, C. (2015). The Integration of Social-Emotional Learning, Character Education, and Student Engagement. In J. A. Durlak, C. E. Domitrovich, R. P. Weissberg, & T. P. Gullotta (Eds.), Handbook of Social and Emotional Learning: Research and Practice (pp. 29–42). New York: Guilford Press.

Faith and Education Forum. (2022). Interfaith Dialogue and Ethical Education in a Globalized World. Geneva: Faith and Education Forum Publications.

Freire, P. (2000). Pedagogy of the Oppressed. New York: Continuum.

Halstead, J. M. (2004). An Islamic Concept of Education. Comparative Education, 40(4), 517–529.

Hashim, R., & Langgulung, H. (2008). Islamic Religious Curriculum in Muslim Countries: The Experiences of Indonesia and Malaysia. Bulletin of Education & Research, 30(1), 1–19.

Ibn Sina. (n.d.). Al-Risalah fi al-Tarbiyah (Treatise on Education). Beirut: Dar al-Fikr.

Kincheloe, J. L. (2005). Critical Constructivism Primer. New York: Peter Lang Publishing.

Maslow, A. H. (1987). Motivation and Personality (3rd ed.). New York: Harper & Row.

Nasr, S. H. (2006). The Essential Seyyed Hossein Nasr (W. C. Chittick, Ed.). Bloomington: World Wisdom.

Noddings, N. (2013). Education and Democracy in the 21st Century. New York: Teachers College Press.

Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD). (2022). Future of Education and Skills 2030: OECD Learning Compass 2030. Paris: OECD Publishing.

Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD). (2022). OECD Future of Education and Skills 2030: Student Agency for 2030. Paris: OECD Publishing.

Schleicher, A. (2022). The Case for Values-Based Education. OECD Education and Skills Today. Retrieved April 30, 2025, from https://oecdedutoday.com/values-based-education/

Rogers, C. R. (1969). Freedom to Learn. Columbus, OH: Merrill.

UNESCO. (2021). Global Education Monitoring Report 2021: Non-State Actors in Education—Who Chooses? Who Loses? Paris: UNESCO Publishing.

UNESCO. (2023). Global Education Monitoring Report 2023: Technology in Education—A Tool on Whose Terms? Paris: UNESCO Publishing.


Kunjungi:

https://www.academia.edu/130342286/Tinjauan_Kritis_terhadap_Artikel_Islamic_Educational_Philosophy_and_Its_Relevance_to_Global_Educational_Discourse_oleh_Nur_Asiah_dan_Harjoni_Desky_Telaah_Berdasarkan_Kerangka_Berpikir_Kritis

Selasa, 01 Juli 2025

Masāʾil Fiqhiyyah: Qadha Salat Orang yang Murtad

Pertanyaan:

Apakah Orang Murtad Wajib Mengqadha Salatnya? Penjelasan dari Imam Nawawi dalam Majmū‘ Syarḥ al-Muhadzdzab.


Oleh: Dr. H. Ahmad Abrar Rangkuti, M.A.


Pendahuluan

Masalah fikih tentang orang yang keluar dari Islam (murtad) lalu kembali masuk Islam kembali menjadi perbincangan penting di kalangan ulama. Salah satu pertanyaan yang muncul adalah: Apakah orang murtad wajib mengganti (mengqadha) salat yang ia tinggalkan selama murtad?

Imam an-Nawawi dalam kitab monumental Majmū‘ Syarḥ al-Muhadzdzab menjelaskan secara rinci pandangan mazhab Syafi’i dan membandingkannya dengan pandangan ulama dari mazhab lain.

أَمَّا الْكَافِرُ الْمُرْتَدُّ فَيَلْزَمُهُ الصَّلَاةُ فِي الْحَالِ، وَإِذَا أَسْلَمَ لَزِمَهُ قَضَاءُ مَا فَاتَ فِي الرِّدَّةِ لِمَا ذَكَرَهُ الْمُصَنِّفُ، هَذَا مَذْهَبُنَا، لَا خِلَافَ فِيهِ عِنْدَنَا.

> وَقَالَ مَالِكٌ وَأَبُو حَنِيفَةَ وَأَحْمَدُ فِي رِوَايَةٍ عَنْهُ وَدَاوُدُ: لَا يَلْزَمُ الْمُرْتَدَّ إِذَا أَسْلَمَ قَضَاءُ مَا فَاتَ فِي الرِّدَّةِ، وَلَا فِي الْإِسْلَامِ قَبْلَهَا، وَجَعَلُوهُ كَالْكَافِرِ الْأَصْلِيِّ، يَسْقُطُ عَنْهُ بِالْإِسْلَامِ مَا قَدْ سَلَفَ، وَاللَّهُ أَعْلَمُ.


Adapun orang kafir murtad, maka ia tetap terkena kewajiban salat pada saat itu (saat ia murtad). Dan apabila ia masuk Islam kembali, maka wajib baginya mengganti (qadha) salat-salat yang telah ditinggalkannya selama masa riddah (kemurtadan), sebagaimana yang telah disebutkan oleh pengarang kitab. Ini adalah mazhab kami (yakni mazhab Syafi’i), tidak ada perbedaan pendapat dalam hal ini di kalangan kami.


Adapun Imam Malik, Abu Hanifah, Ahmad (dalam salah satu riwayat darinya), dan Daud (az-Zhahiri) berpendapat bahwa orang murtad tidak wajib mengqadha salat yang ditinggalkannya selama masa riddah, dan juga tidak wajib mengqadha salat yang ditinggalkannya saat masih Islam sebelum murtad. Mereka memposisikannya seperti orang kafir asli, di mana dengan masuk Islam maka gugur darinya (kewajiban) yang telah lampau. Dan Allah lebih mengetahui.


Analisis dan Pemahaman Fikih

1. Pandangan Mazhab Syafi’i:

Orang murtad masih terbebani kewajiban salat.

Jika ia kembali masuk Islam, ia wajib mengqadha seluruh salat yang ditinggalkan selama ia murtad.

Kemurtadan tidak menggugurkan kewajiban ibadah yang ditinggalkan.

2. Pandangan Mazhab Lain:

Imam Malik, Abu Hanifah, sebagian riwayat dari Ahmad bin Hanbal, dan Daud az-Zhahiri menyatakan bahwa:

Orang murtad tidak wajib qadha salat saat murtad maupun salat sebelum murtad.

Ia disamakan dengan kafir asli, yaitu gugur darinya dosa dan kewajiban ibadah yang ditinggalkan saat belum Islam.


Kesimpulan Hukum

Menurut mazhab Syafi’i, orang yang murtad lalu masuk Islam kembali wajib mengganti salat-salat yang ditinggalkannya selama masa kemurtadan.

Sementara dalam mazhab Hanafi, Maliki, Hanbali (sebagian riwayat), dan Zahiri, salat yang ditinggalkan saat murtad tidak perlu diganti, karena dianggap gugur dengan keislaman kembali.

Penutup

Perbedaan pendapat ini mencerminkan kedalaman ijtihad para ulama dalam menimbang status hukum antara murtad dan kafir asli. Meski mazhab Syafi’i mewajibkan qadha, ulama lain memberikan dispensasi dengan dalil penghapusan dosa melalui taubat dan keislaman kembali.