Rabu, 28 Mei 2025

OPINI

Polemik Lahan dan Politik Simbol: Menakar Realitas Konflik Pemkab Deli Serdang dan Al Jam‘iyatul Washliyah


Oleh: Ahmad Abrar Rangkuti


Polemik yang berkembang antara Pemerintah Kabupaten Deli Serdang dan organisasi kemasyarakatan Islam Al Jam‘iyatul Washliyah terkait lahan tempat berdirinya SMP Negeri 2 Galang bukan sekadar konflik administratif atau sekadar tarik-menarik kepentingan kelembagaan. Di dalamnya terdapat muatan simbolik yang merefleksikan bagaimana dua pihak memaknai realitas sosial melalui lensa dan tabir yang berbeda—baik dari sisi sejarah, identitas, maupun makna kebudayaan.


Yang menjadi inti permasalahan adalah lahan wakaf milik umat, yang telah sejak lama dikelola oleh Al Washliyah sebagai bagian dari misi dakwah dan pendidikan Islam di wilayah Galang. Lahan tersebut telah berkekuatan hukum tetap (inkrah) berdasarkan putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia yang menegaskan status wakafnya. Dengan kata lain, dari sisi hukum keagamaan maupun hukum negara, status lahan itu telah selesai. Namun demikian, konflik tetap muncul karena adanya klaim administratif dan kepentingan pemerintah untuk mempertahankan bangunan sekolah di atasnya sebagai aset negara.


Dalam kerangka sosiologi pengetahuan, realitas sosial tidak dihadirkan kepada manusia secara telanjang atau objektif. Ia selalu dimediasi oleh tabir: bahasa, simbol, konsep, dan persetujuan masyarakat. Seperti Amerika yang melihat Soviet lewat citra "tirai besi", dan dunia Barat yang memandang Islam melalui stereotip poligami atau radikalisme, maka konflik ini pun terbentuk dari tabir pemaknaan yang berbeda. Pemerintah daerah memandang realitas lahan sebagai bagian dari sistem tata kelola aset negara. Sementara Al Washliyah memaknai lahan tersebut sebagai simbol perjuangan, warisan wakaf, dan amanah umat yang harus dijaga hingga akhir hayat.


Ketegangan kultural ini makin terasa ketika Wakil Bupati Deli Serdang mengeluarkan pernyataan bahwa daerah ini adalah "Kabupaten Nahdliyyin." Di tengah dinamika keberagaman organisasi Islam di Deli Serdang, ucapan ini bisa dimaknai secara eksklusif dan mengesampingkan kontribusi besar dari ormas lain, seperti Al Washliyah. Sebab, tidak dapat dipungkiri bahwa organisasi ini telah menjadi bagian integral dari sejarah pendidikan dan dakwah di Sumatera Utara, khususnya di Deli Serdang, jauh sebelum institusi-institusi negara mengakar kuat di daerah ini.


Karena itu, konflik ini tidak dapat diselesaikan hanya dengan pendekatan hukum positif atau administratif, sebab di dalamnya tersimpan makna identitas, sejarah perjuangan, dan simbol sosial yang sangat penting bagi komunitas. Apalagi jika yang disengketakan adalah tanah wakaf—sebuah entitas sakral dalam hukum Islam yang keberadaannya menyangkut dimensi spiritual, sosial, dan kultural sekaligus.


Solusi tidak datang dari menang-menangan. Ia datang dari dialog terbuka, saling memahami perspektif masing-masing, dan berani melampaui simbol demi kemaslahatan bersama. Pemerintah daerah sebaiknya melihat organisasi Islam bukan sebagai pesaing ideologis, tetapi sebagai mitra strategis dalam membangun karakter masyarakat.


Deli Serdang bukan milik satu golongan. Ia adalah rumah besar, yang dinding-dindingnya dibangun oleh banyak tangan: tangan-tangan ulama, guru, relawan, dan para pejuang pendidikan yang datang dari berbagai organisasi dan latar belakang.


Menghormati keputusan inkrah Mahkamah Agung atas lahan wakaf dan membuka ruang kompromi terhadap keberadaan bangunan pendidikan yang telah berdiri di atasnya adalah bentuk kedewasaan bernegara. Ini bukan soal kalah atau menang, tapi soal bagaimana simbol-simbol kita dimaknai dengan akal sehat, empati sosial, dan semangat gotong royong.




**Ahmad Abrar Rangkuti**

Anggota Al Washliyah Debating Club Provinsi Sumatera Utara

Tidak ada komentar:

Posting Komentar