Sabtu, 31 Mei 2025

KAJIAN ILMIAH

Makna dan Kedudukan Kurban dalam Islam: Kajian Sejarah, Syariat, dan Spiritualitas Hidup

Drs. H. M. Sakti Rangkuti, M.A.
Disampaikan dalam Taushiyah Subuh di Masjid Al Hidayah, Jalan Pembangunan I, Desa Sekip, Lubuk Pakam

Abstrak

Ibadah kurban dalam Islam bukan hanya perintah syariat, tetapi juga sarat makna spiritual, sosial, dan sejarah. Dari kisah anak Nabi Adam, Habil dan Qabil, hingga pengorbanan agung Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail ‘alaihimassalam, kurban mengajarkan ketulusan, keikhlasan, dan nilai-nilai kemanusiaan. Artikel ini mengulas kurban sebagai wujud ketaatan, ketakwaan, dan juga manifestasi kesyukuran atas nikmat Allah SWT, dilengkapi dengan panduan etika penyembelihan yang penuh adab dan kasih sayang terhadap makhluk Allah.

1. Pendahuluan: Kurban sebagai Ibadah Kesyukuran

Kurban bukan semata kewajiban atau sunah, tetapi juga wujud kesyukuran atas limpahan nikmat dari Allah SWT. Hal ini dapat dipahami dari ayat Al-Qur’an berikut:

فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَٱنۡحَرْ
“Maka dirikanlah salat karena Tuhanmu, dan berkurbanlah.”
(QS. Al-Kautsar: 2)

Ibnu Katsir menafsirkan bahwa ayat ini adalah perintah untuk menyembelih hewan sebagai bentuk syukur atas nikmat yang banyak, sebagaimana yang disebut dalam ayat sebelumnya:

إِنَّا أَعۡطَيۡنَـٰكَ ٱلۡكَوْثَرَ
"Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu nikmat yang banyak."
(QS. Al-Kautsar: 1)

2. Kurban dalam Sejarah Habil dan Qabil

Kisah kurban pertama dalam sejarah manusia disebut dalam Al-Qur’an ketika anak-anak Nabi Adam—Habil dan Qabil—melakukan persembahan kepada Allah.

إِذۡ قَرَّبَا قُرۡبَانٗا فَتُقُبِّلَ مِنۡ أَحَدِهِمَا وَلَمۡ يُتَقَبَّلۡ مِنَ ٱلۡآخَرِ
“Ketika keduanya mempersembahkan kurban, maka diterima dari salah seorang dari mereka dan tidak diterima dari yang lain.”
(QS. Al-Mā’idah: 27)

Kurban Habil diterima karena ia memilih hewan yang terbaik, sedang kurban Qabil ditolak karena tidak ikhlas dan memilih hasil pertanian yang buruk. Ini menjadi pelajaran bahwa kurban harus yang terbaik dan dilakukan dengan keikhlasan.

3. Keteladanan Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail

Ibadah kurban mencapai puncak penghayatannya dalam kisah Nabi Ibrahim ‘alaihissalam saat diperintahkan menyembelih putranya, Nabi Ismail. Peristiwa ini diabadikan dalam Al-Qur’an:

يَـٰبُنَيَّ إِنِّيٓ أَرَىٰ فِي ٱلۡمَنَامِ أَنِّيٓ أَذۡبَحُكَ فَٱنظُرۡ مَاذَا تَرَىٰ
“Wahai anakku, sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah bagaimana pendapatmu.”
(QS. As-Saffāt: 102)

Jawaban Nabi Ismail menunjukkan ketaatan dan keikhlasan yang luar biasa:

يَـٰٓأَبَتِ ٱفۡعَلۡ مَا تُؤۡمَرُۖ سَتَجِدُنِيٓ إِن شَآءَ ٱللَّهُ مِنَ ٱلصَّـٰبِرِينَ
“Wahai ayahku, kerjakanlah apa yang diperintahkan (Allah) kepadamu; insyaAllah engkau akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar.”
(QS. As-Saffāt: 102)

4. Kurban sebagai Manifestasi Takwa

Allah SWT menegaskan bahwa tujuan utama kurban adalah takwa, bukan sekadar penyembelihan atau distribusi daging:

لَن يَنَالَ ٱللَّهَ لُحُومُهَا وَلَا دِمَآؤُهَا وَلَـٰكِن يَنَالُهُ ٱلتَّقۡوَىٰ مِنكُمۡ
“Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridhaan) Allah, tetapi ketakwaan dari kamulah yang dapat mencapainya.”
(QS. Al-Ḥajj: 37)

5. Kurban dan Etika Perlakuan terhadap Hewan

Nabi Muhammad ﷺ mengajarkan ihsan (berbuat baik) bahkan kepada hewan yang disembelih. Dalam hadis sahih disebutkan:

إِنَّ ٱللَّهَ كَتَبَ ٱلْإِحْسَانَ عَلَىٰ كُلِّ شَيْءٍ، فَإِذَا قَتَلْتُمْ فَأَحْسِنُوا ٱلْقِتْلَةَ، وَإِذَا ذَبَحْتُمْ فَأَحْسِنُوا ٱلذِّبْحَةَ، وَلْيُحِدَّ أَحَدُكُمْ شَفْرَتَهُ، وَلْيُرِحْ ذَبِيحَتَهُ
“Sesungguhnya Allah mewajibkan berbuat baik (ihsan) dalam segala hal. Maka jika kalian membunuh, berbuat baiklah dalam membunuh. Jika kalian menyembelih, berbuat baiklah dalam menyembelih. Hendaklah salah satu dari kalian menajamkan pisaunya dan membuat hewan sembelihan itu nyaman.”
(HR. Muslim, no. 1955)

Termasuk tidak menyembelih hewan di hadapan hewan lain, karena hal ini menyakiti secara psikologis hewan tersebut.

6. Kesiapan Penyembelih: Bukan Sekadar Bisa Memotong

Penyembelih hewan kurban tidak cukup hanya bisa menyembelih, tetapi juga harus memiliki pengetahuan dan adab dalam penyembelihan. Termasuk memastikan alat tajam, niat karena Allah, membaca basmalah, dan tidak menyakiti hewan sebelum disembelih.

7. Kurban dan Perencanaan Keuangan

Kurban dianjurkan dilakukan dengan perencanaan yang matang, tidak tergesa-gesa apalagi berutang. Kurban dilakukan atas dasar kemampuan.

8. Kurban dan Dimensi Sosial

Daging kurban diperuntukkan untuk diri sendiri, keluarga, dan dibagikan kepada fakir miskin, sesuai sabda Rasulullah ﷺ:

كُلُوا وَأَطْعِمُوا وَادَّخِرُوا
“Makanlah darinya, berilah makan orang lain, dan simpanlah sebagian.”
(HR. Bukhari dan Muslim)

Ini menegaskan bahwa kurban juga memiliki fungsi sosial, memperkuat solidaritas, dan menumbuhkan kepedulian.

Simpulan

Kurban adalah ibadah yang multidimensi: spiritual, sosial, historis, dan moral. Ia merupakan:

  • Bentuk ketaatan kepada Allah,

  • Wujud kesyukuran atas nikmat,

  • Pengamalan takwa yang nyata,

  • Cermin dari nilai ihsan dan adab dalam perlakuan terhadap makhluk Allah.

Pelaksanaan kurban hendaknya dilakukan dengan kesadaran penuh, kemampuan yang wajar, niat yang ikhlas, dan adab yang tinggi. Semoga setiap tetesan darah kurban menjadi bukti penghambaan kita kepada Allah dan sumber keberkahan bagi seluruh umat.

Rabu, 28 Mei 2025

OPINI

Polemik Lahan dan Politik Simbol: Menakar Realitas Konflik Pemkab Deli Serdang dan Al Jam‘iyatul Washliyah


Oleh: Ahmad Abrar Rangkuti


Polemik yang berkembang antara Pemerintah Kabupaten Deli Serdang dan organisasi kemasyarakatan Islam Al Jam‘iyatul Washliyah terkait lahan tempat berdirinya SMP Negeri 2 Galang bukan sekadar konflik administratif atau sekadar tarik-menarik kepentingan kelembagaan. Di dalamnya terdapat muatan simbolik yang merefleksikan bagaimana dua pihak memaknai realitas sosial melalui lensa dan tabir yang berbeda—baik dari sisi sejarah, identitas, maupun makna kebudayaan.


Yang menjadi inti permasalahan adalah lahan wakaf milik umat, yang telah sejak lama dikelola oleh Al Washliyah sebagai bagian dari misi dakwah dan pendidikan Islam di wilayah Galang. Lahan tersebut telah berkekuatan hukum tetap (inkrah) berdasarkan putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia yang menegaskan status wakafnya. Dengan kata lain, dari sisi hukum keagamaan maupun hukum negara, status lahan itu telah selesai. Namun demikian, konflik tetap muncul karena adanya klaim administratif dan kepentingan pemerintah untuk mempertahankan bangunan sekolah di atasnya sebagai aset negara.


Dalam kerangka sosiologi pengetahuan, realitas sosial tidak dihadirkan kepada manusia secara telanjang atau objektif. Ia selalu dimediasi oleh tabir: bahasa, simbol, konsep, dan persetujuan masyarakat. Seperti Amerika yang melihat Soviet lewat citra "tirai besi", dan dunia Barat yang memandang Islam melalui stereotip poligami atau radikalisme, maka konflik ini pun terbentuk dari tabir pemaknaan yang berbeda. Pemerintah daerah memandang realitas lahan sebagai bagian dari sistem tata kelola aset negara. Sementara Al Washliyah memaknai lahan tersebut sebagai simbol perjuangan, warisan wakaf, dan amanah umat yang harus dijaga hingga akhir hayat.


Ketegangan kultural ini makin terasa ketika Wakil Bupati Deli Serdang mengeluarkan pernyataan bahwa daerah ini adalah "Kabupaten Nahdliyyin." Di tengah dinamika keberagaman organisasi Islam di Deli Serdang, ucapan ini bisa dimaknai secara eksklusif dan mengesampingkan kontribusi besar dari ormas lain, seperti Al Washliyah. Sebab, tidak dapat dipungkiri bahwa organisasi ini telah menjadi bagian integral dari sejarah pendidikan dan dakwah di Sumatera Utara, khususnya di Deli Serdang, jauh sebelum institusi-institusi negara mengakar kuat di daerah ini.


Karena itu, konflik ini tidak dapat diselesaikan hanya dengan pendekatan hukum positif atau administratif, sebab di dalamnya tersimpan makna identitas, sejarah perjuangan, dan simbol sosial yang sangat penting bagi komunitas. Apalagi jika yang disengketakan adalah tanah wakaf—sebuah entitas sakral dalam hukum Islam yang keberadaannya menyangkut dimensi spiritual, sosial, dan kultural sekaligus.


Solusi tidak datang dari menang-menangan. Ia datang dari dialog terbuka, saling memahami perspektif masing-masing, dan berani melampaui simbol demi kemaslahatan bersama. Pemerintah daerah sebaiknya melihat organisasi Islam bukan sebagai pesaing ideologis, tetapi sebagai mitra strategis dalam membangun karakter masyarakat.


Deli Serdang bukan milik satu golongan. Ia adalah rumah besar, yang dinding-dindingnya dibangun oleh banyak tangan: tangan-tangan ulama, guru, relawan, dan para pejuang pendidikan yang datang dari berbagai organisasi dan latar belakang.


Menghormati keputusan inkrah Mahkamah Agung atas lahan wakaf dan membuka ruang kompromi terhadap keberadaan bangunan pendidikan yang telah berdiri di atasnya adalah bentuk kedewasaan bernegara. Ini bukan soal kalah atau menang, tapi soal bagaimana simbol-simbol kita dimaknai dengan akal sehat, empati sosial, dan semangat gotong royong.




**Ahmad Abrar Rangkuti**

Anggota Al Washliyah Debating Club Provinsi Sumatera Utara